Dinasti Politik Bukan Sekadar Anomali Demokrasi


Oleh : Jasli La Jate 
Member Akademi Menulis Kreatif

Bagai dua sisi mata uang antara dinasti politik dan demokrasi. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Seiring sejalan terus bergandengan. Ketiadaan regulasi membuatnya semakin lengket bagai perangko. Tak heran, setiap pemilihan politik dinasti terus merebak. 

Tak terkecuali pemilihan tahun 2020, dinasti politik semakin menguat. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan pengamat politik UIN Jakarta, Adi Prayitno. 

"Jika dilihat semuanya, kandidat berafiliasi dinasti politik pilkada 2020 yakni keluarga inti (anak, adik, dan lainnya)." (katadata.co.id, 12/12/2020)

Hal ini juga dikuatkan dengan riset yang dilakukan oleh kandidat doktor ilmu politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C. Kenawas. Fenomena dinasti politik meningkat drastis di Pilkada 2020 dibanding tahun 2015. Pilkada 2015, hanya ada 52 peserta yang terafiliasi dengan pejabat. Pilkada 2020, ada 158 calon yang memiliki hubungan dengan elit politik. Dan sebanyak 67 diantaranya berpotensi menang. (cnnindonesia.com, 16/12/2020)

Berdasarkan hasil quick count berbagai lembaga Survei dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU) juga menunjukkan hal yang serupa. Kemenangan sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat maupun mantan pejabat mendominasi kemenangan pemilihan tahun ini. 

Apa yang menyebabkan dinasti politik terus tinggi? Apakah dinasti politik keniscayaan dalam demokrasi? Apa dampak dari dinasti politik? Benarkah dinasti politik membuat korupsi semakin lebar?  Bagaimana keluar dari dinasti politik?

Dinasti Politik Keniscayaan dalam Demokrasi 

Tingginya dinasti politik tentu tak lahir begitu saja. Ada akar penyebab tumbuh suburnya. Lemahnya regulasi menyebabkan dinasti politik terus merebak di alam demokrasi. Hal ini sebagaimana diungkapkan Martien Herna Susanti, dosen Fisip UNS dalam penelitiannya yang berjudul dinasti politik dalam Pilkada di Indonesia,

"Dinasti politik terus bercokol dari Pilkada ke Pilkada karena regulasi yang lemah. Dibatalkannya pasal 7 poin (q) UU nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada yang mengatur tentang larangan dinasti politik oleh MK melalui putusan nomor 34/PUU-XIII/2015." (katadata.co.id, 12/12/2020)

Jika ditilik lebih dalam, dinasti politik sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari demokrasi itu sendiri. Ketiadaan payung hukum membuat petahana semakin melebarkan sayap melakukan regenerasi jabatan. Kesempatan emas menggunakan jabatan tak disia-siakan. Aji mumpung menjadi jurus andalan. Tak peduli menabrak etika politik, terkesan dipaksakan atau bahkan karbitan. 

Imbasnya, kesewenang-wenangan menggunakan jabatan tak bisa dielakkan. Kontrol pemerintah semakin lemah dan tak terkendali. Praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) menjadi pemandangan yang lumrah terjadi. Jargon demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat hanyalah ilusi belaka.

Kesempatan masyarakat untuk berjuang maju dalam kontestasi politik pun semakin sedikit dan peluang untuk menang semakin sempit. Para calon sudah ditentukan oleh elit politik. Rakyat tidak diberikan pilihan untuk memilih calon yang dikehendaki. Para kapitalis berperan penting dalam pengusungan calon ini. Yang kebanyakan adalah dari klan keluarga elit politik itu sendiri. Maka oligarki politik menjadi semakin kentara.

Berharap perubahan di alam demokrasi hanyalah mimpi yang tak berkesudahan. Yang ada kekecewaan yang tiada henti. Seharusnya dengan pemandangan seperti ini, membuka mata masyarakat bahwa mengharapkan pemimpin yang bersih dan kredibel adalah muskil didapat. Apalagi kekuasaan didapatkan dengan cara-cara kotor.

Islam Tidak Mengenal Politik Dinasti

Islam adalah agama langit. Diturunkan oleh pencipta alam semesta yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam hal kepemimpinan, Islam memandang bahwa pemimpin dipilih untuk melaksanakan hukum syariat. Kepemimpinan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban.

Rasulullah saw. bersabda,

سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya.” (Muttafaq 'alaih)

Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda,

"Seorang Imam adalah pengurus rakyat dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari sini jelas pemimpin Islam akan berusaha sekuat tenaga menegakkan hukum Allah. Ia akan berusaha untuk meriayah, berbuat adil, dan memenuhi segala kebutuhan rakyatnya. 

Dalam Islam, kepemimpinan bukan sesuatu yang diperlombakan. Sebaliknya malah ditakuti dan dihindari. Sebab besarnya amanah yang akan diminta pertanggungjawaban. Sangat berbeda dengan hari ini. Dimana mereka berlomba untuk menjadi pemimpin. Berbagai cara dilakukan. Bahkan cara haram pun dilabrak. 

Selain kepemimpinan adalah amanah, pemilihan pemimpin dalam Islam juga tidak seribet pemilihan pemimpin hari ini. Pemilihan pemimpin (khalifah) Islam, telah ditetapkan bahwa waktu pemilihan tidak lebih dari tiga hari. Calon pemimpin dipilih oleh rakyat. Tentu dengan syarat yang harus dipenuhi seperti muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu.

Selain syarat di atas, ada juga syarat afdal atau lebih utama di antaranya mujtahid dan hafiz Al-Qur'an. Dari persyaratan ini jelas, politik dinasti tidak akan dijumpai dalam Islam. 

Lembaga khusus yang akan mengurus pemilihan juga tidak begitu banyak seperti politik demokrasi. Para calon pun ditetapkan cukup enam orang saja kemudian di seleksi lagi menjadi dua calon. Semua ini setelah melewati penggodokan yang ketat. 

Untuk kepala daerah semacam wali (gubernur), amil (bupati) dan mu'awin, pemilihannya ditunjuk dan dipilih langsung oleh khalifah. Tentu penunjukan ini melihat integritas dan profesionalitas. Di samping mempunyai syakhsiyah Islam atau kepribadian Islam.

Jalan untuk memutus rantai dinasti politik hanya dengan menerapkan Islam secara total. Kepemimpinan Islam (khilafah) tidak akan bisa tegak tanpa adanya institusi sebagai wadah untuk menegakkan syariat. Maka merupakan keniscayaan untuk memperjuangan tegaknya khilafah.

Wallaahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post