Oleh: Denok Pramita A
Aktivis Dakwah di Kota
Depok
Pengabaian suara rakyat dalam demo omnibus law, kriminalisasi ulama di berbagai daerah hingga penembakan enam laskar Habib Rizieq Shihab menjadi latar belakang diskusi Muslimah dengan tema ‘Saatnya Umat Kembali kepada Islam Kaffah’ yang dilaksanakan pada Ahad (20/12/20) lalu via zoom meeting di Depok.
Diskusi dibuka dengan pembahasan buku karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) yang berjudul “How Democracy Die” oleh ustadzah Mila. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai indikator matinya demokrasi, di antaranya lemahnya komitmen terhadap undang-undang, penolakan legitimasi oposisi, toleransi yang mendorong aksi kekerasan menggunakan militer, serta pembungkaman kebebasan sipil.
Peserta diskusi pun mulai menyampaikan pemahaman mereka tentang makna demokrasi. Slogan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat merupakan hal yang dipahami mengenai makna demokrasi. Munculnya paham sekularisme atau paham yang memisahkan agama dari kehidupan menjadi sejarah terbentuknya pemerintahan demokrasi. Paham ini merupakan wujud penolakan masyarakat Eropa pada masa itu yang tidak memiliki kebebasan sipil apapun, baik hak intelektual apalagi hak politik.
Bahkan berabad lamanya, kezaliman penguasa (para raja) terjadi di bawah legitimasi agama (para gerejawan). Sehingga muncul pula demokrasi sebagai solusi konsep pemerintahan yang memberikan hak mutlak kepada rakyat untuk menentukan apa yang diinginkan. Iming-iming ini tentang gambaran kesejahteraan rakyat dengan penerapan demokrasi menjadi salah satu alasan kenapa banyak negara di dunia masih menganut demokrasi yang telah terbukti menimbulkan ketidakadilan serta kesengsaraan kaum lemah. Ditambah lagi dengan penguasa yang memihak kaum kapitalis semakin menambah kesengsaraan rakyat.
Ibu Siti Ulfiah berpendapat bahwa demokrasi bukan merupakan sistem terbaik baik kehidupan manusia. Hal ini didasarkan atas demokrasi yang begitu menjunjung tinggi kebebasan manusia dalam menentukan benar atau salah, baik atau buruk yang padahal setiap manusia pasti memiliki ukuran yang berbeda mengenai hal tersebut. Padahal, baik dan buruk sepatutnya disandarkan pada pencipta manusia yaitu Allah SWT, yang Maha Tahu mana yang baik dan buruk.
Ustadzah Mila kembali menegaskan pentingnya khilafah sebagai sebuah sistem yang secara sempurna mampu menyejahterakan rakyat karena khalifah dalam sistem ini merupakan seorang pengurus umat yang semua keputusannya disandarkan atas hukum syara’ yang berasal dari Allah SWT.
Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak memahami atau bahkan abai akan kondisi umat ketika berada di bawah sistem demokrasi. Ustadzah Widiani Suryaningsih berpendapat bahwa alasan kondisi kaum Muslim saat ini sangat bodoh/jumud (baik karena dikondisikan penguasa atau memang karena ketidaktahuan) sehingga terlena dengan kekurangannya.
Di sisi lain, kaum kafir terus berusaha membuat strategi agar kaum Muslim dapat berpaling dari keyakinannya dan mengikuti keyakinan kaum kafir setelah runtuhnya kekhilafahan sehingga perlu adanya para pengemban dakwah memahamkan umat tentang kondisi umat dan menyadarkan mereka tentang pentingnya sistem yang benar yaitu khilafah.
Sementara itu, para pengemban dakwah pasti akan mengalami hambatan berupa penyebutan radikal, anti NKRI dan sebagainya. Sehingga penting bagi pengemban dakwah untuk terus menggali keyakinan mereka tentang kebobrokan sistem yang ada dan menambah keyakinan mereka tentang sistem Islam yang sempurna.
Akhirnya, Ustadzah Dian menegaskan kembali bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang meniadakan atau menduakan Allah SWT. karena kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat yang artinya menafikan Allah SWT. sebagai pencipta serta pengatur karena sejatinya kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah SWT. Wallahu a’lam bisshawab. []
Post a Comment