Setiap akhir tahun, kaum Muslim disuguhi perayaan Natal dan Tahun Baru yang merupakan hari besar bagi umat Nasrani. Di Indonesia yang negaranya prular dan terkenal dengan tingginya toleransi dalam kehidupan bermasyarakat pun tak lupur dari hal ini. Pusat-pusat belanjaan dari kota kecil hingga kota besar akan ramai dengan pernak pernik Natal dan lampu warna warni yang menghiasi setiap sudut perbelanjaan. Lagu-lagu gereja diperdengarkan.
Dilansir dari Liputan6.com, seorang warga Nahdlatul Ulama (NU) bernama Ustadz Nur Kholis Saleh memberikan nuansa berbeda dalam perayaan Natal kali ini. Dirinya yang beragama Islam, mencoba merajut tali kerukunan antarumat beragama dengan membantu merangkai pohon natal di Gereja Katolik Kristus Raja, Surabaya. Pohon Natal tersebut memang unik, karena tersusun dari ribuan masker dan hand sanitizer. Memiliki tinggi 3,5 meter dengan diameter sekitar 180 cm.
Ustadz yang juga Pengurus PW ISNU Jawa Timur Bidang Pengkaderan ini mengatakan, Hari Raya Natal merupakan perayaan untuk semua umat, sebagaimana Hari Raya Idul Fitri. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sebagai warga negara yang berazaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, saling menghargai dan membantu kesuksesan perayaan keagaamaan tersebut (20/12/2020).
Hal serupa juga penah terjadi di Desa Suwawal Timur, Pakisaji, Jepara beberapa tahun yang lalu. Seperti yang dilansir dari JawaPos.com, umat Nasrani di desa tersebut mendapat kejutan dari umat Islam beberapa hari jelang Natal, serombongan umat Islam di desa tersebut datang ke gereja. Mereka menghadiahi pohon Natal. Umat Islam membuat sendiri dari bahan daur ulang. Dan mereka pun ikut hadir dalam perayaan Natal tersebut (25/12/2017).
Semarak perayaan Natal dan tahun Baru ini pun didukung sepenuhnya oleh para pebisnis. Banyak para pebisnis yang sebenarnya Muslim pun ikut-ikutan latah merayakannya dengan memasang berbagai aksesoris di ruang usaha mereka. Selain itu mereka menarik pengunjung dengan memberikan potongan/rabat terhadap barang-barang dagangannya dengan dalih Hari Raya Natal. Sebagian pebisnis mengharuskan para karyawannya berbusana Sinterklas, meski hanya mengenakan topi Sinterklasnya saja. Bahkan ada seorang karyawati yang berkerudung, tapi juga mengenakan topi tersebut.
Motif di Balik Perayaan Natal
Banyak motif yang menyertai maraknya perayaan Natal di Indonesia. Motif terbesar adalah menyebarkan ajaran Kristen ke tengah masyarakat Muslim. Bagaimana pun ini adalah momentum yang pas bagi mereka. Buktinya mereka mendorong kaum Muslim untuk hadir di acara mereka dengan berbagai acara pemikat baik seni budaya atau lainnya.
Selain itu ada motif ekonomi. Di negara-negara Barat, momentum Natal menjadi ajang bagi penjualan ritel. Peningkatannya sangat signifikan. Para pebisnis mencoba meraup untung pula di hari Natal seperti halnya mereka meraih untung besar ketika Hari Raya Idul Fitri.
Lebih jauh lagi, motif politik ada di balik semaraknya perayaan Natal. Ada upaya sistematis untuk melemahkan akidah kaum Muslim dengan sinkristisme dan pluralisme. Selain itu, dengan momentum perayaan Natal yang besar dan semarak, mereka berusaha menanamkan budaya Barat secara dekat kepada kaum Muslim. Itulah budaya yang ditampakkan dalam momentum Natal dan Tahun Baru yakni hura-hura, pergaulan bebas, dan menghambur-hamburkan harta. Kaum Muslim didorong sedemikian rupa agar mengambil budaya Barat dan meninggalkan budaya Islam.
Lemahnya kondisi umat Islam ini nantinya bisa dimanfaatkan bagi kepentingan mereka. Patut diingat bahwa misi Kristen tidak lepas dari misi penjajahan. Yang membawa Kristen ke Indonesia adalah penjajah Barat. Itu adalah bagian dari trilogi penjajahan yakni gold, glory, dan gospel (kekayaan alam, kejayaan dan kristenisasi). Maka hai ini tidak bisa dipisahkan dari upaya menggiring umat Islam keluar dari agamanya.
Jika kaum Muslim sepakat dengan budaya Barat, orang Kristen berharap kaum Muslim pun bisa menerima apa yang dilakukan oleh Barat dengan ideologi kapitalismenya. Ini menjadi jalan bagi Barat untuk terus menjajah kaum Muslim dan menjarah kekayaan alamnya.
Jadi, seruan berpartisipasi dalam perayaan Natal, tidak lain adalah kampanye ide pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Menurut paham pluralisme, tidak ada kebenaran mutlak, semua agama dianggap benar. Seruan ini juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan.
Pandangan Islam tentang Toleransi dan Budaya Natal
Dalam Islam memang diajarkan sikap toleransi. Yang dimaksud toleransi dalam Islam adalah membiarkan umat lain menjalankan ritual keagamaannya termasuk dalam perayaan agama mereka. Toleransi juga bermakna tidak memaksakan umat lain untuk memeluk Islam.
Toleransi dalam Islam bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Kafirun pada ayat terakhir jelas mengatakan “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Rasulullah SAW pun tegas menyatakan tidak mau berkompromi untuk melakukan toleransi dalam bentuk terlibat, memfasilitasi apalagi mengamalkan ajaran agama lain. Hal ini dapat dibuktikan melalui sirah yang diceritakan oleh Imam al-Qurthubi di dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (20/225) mengungkapkan bahwa ketika masih di Mekkah, suatu ketika beberapa tokoh kafir Quraisy mendatangi Rasulullah SAW dan menawarkan toleransi kepada beliau dengan mengajak Rasulullah dan pengikutnya menyembah berhala tuhan mereka lalu kemudian bergantian mereka pula menyembah Allah SWT. Kemudian turunlah Surah al-Kafirun [109] ayat 1-6 yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa bagi kaum Muslim, sikap terhadap perayaan Natal dan Tahun Baru sangat jelas dan tegas. Tidak ada alasan toleransi kemudian diperkenankan untuk mengikuti acara Natal. Larangan itu termasuk memberikan ucapan selamat kepada kaum Kristen.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1981 telah mengeluarkan fatwa pengharaman kaum Muslim mengikuti kegiatan Natal bersama. Fatwa MUI ini mengingatkan kembali pada pendapat para fuqaha yang telah terlebih dahulu mengharamkannya.
Imam Ahmad berkata: ”Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Imam Baihaqi menyatakan: “ Jika kaum Muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata: “ Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik.”
Dalam pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah kaum Muslim tidak diperbolehkan menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar mereka serta hadir bersama mereka.
Walhasil, perayaan Natal bersama tidak boleh diikuti oleh kaum Muslim. Dan kaum Muslim harus tetap berpegang pada teguh Islam dan syariahnya. Jangan mudah terpengaruh dengan propaganda, seruan bahkan tipudaya dari pihak manapun yang menginginkan kaum Muslim menjauhi dan menangkalkan ajaran Islam secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit.
Kaum Muslim harus semakin kuat mengentalkan keislamannya, makin bersungguh-sungguh dalam menjalankan syariah yang telah Allah SWT tetapkan. Inilah yang harus dilakukan oleh kaum Muslim dalam menjalani kehidupan ini sehingga benar-benar akan memberikan kebaikan, keadilan, toleransi serta ketentraman bagi semua pihak. Telebih lagi jika negara ini betul-betul mengambil hukum syara’ sebagai sumber hukum dalam tatanan kehidupan dan bernegara.
Wallahu a’lam bishawab
Post a Comment