Oleh: Nabila S,
Mahasiswi Universitas Indonesia
Belakangan ini, warganet sedang
dihebohkan dengan aktivitas personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang
menurunkan baliho atau spanduk bergambar Habib Rizieq Shihab (HRS) di Jakarta
pada Jumat (21/11). Pasukan berseragam dan bunyi sirine yang meraung-raung
tersebut berhenti di depan gang menuju Markas Front Pembela Islam (FPI).
Pengamat militer Fahmi Alfansi Pane
menjelaskan bahwa Koopssus TNI dibentuk untuk menghadapi ancaman nyata NKRI secara
berani, tuntas, tegas dan cepat, seperti terorisme, separatisme dan beragam
ancaman hibrida (campuran). Sehingga, bukan ranah pasukan khusus untuk
menakut-nakuti warga sipil, dalam hal ini anggota FPI.
Namun, hal ini ternyata ditentang oleh
Juru Bicara (Jubir) Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua
Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom yang mengatakan bahwa TNI memiliki kebiasaan
hanya berani melawan sipil. Ia
mengatakan, sebaiknya TNI berhadapan dengan pasukan TPNPB-OPM di Papua.
Pasalnya, TPBNB-OPM adalah pemilik negeri Papua.
Adanya pro kontra yang bergulir setelah
pencopotan baliho dari aksi lintas Koopssus TNI di Petamburan tersebut
sebenarnya menunjukkan bukti bahwa dalam demokrasi, struktur Hankam seringkali
terseret menjadi alat kekuasaan yang bias maknanya. Mengkritik kebijakan
dinilai memprovokasi, merusak persatuan hingga melawan negara. Struktur Hankam bukan
lagi berfungsi sebagai alat mempertahankan kedaulatan dan keamanan negara. Tidak
ada lagi aparat Hankam yang bersikap netral di era demokrasi ini.
Padahal bangsa ini sangat membutuhkan
aparat Hankam yang berfokus untuk melindungi kedaulatan dan mempertahankan
negara dari berbagai ancaman militer, gerakan separatisme, terorisme, pemberontakan
bersenjata dan menangkal setiap bentuk ancaman asing. Bangsa ini butuh aparat Hankam
yang selayaknya lepas dari kepentingan dukung mendukung kekuasaan hingga
kampanye disintegrasi.
Berbeda dengan sistem demokrasi, dalam sistem Islam,
keberadaan militer atau tentara adalah suatu hal yang mutlak adanya. Islam
menempatkan struktur Hankam sebagai bagian penting dalam perlindungan
kedaulatan dan perluasan pengayoman Islam terhadap umat manusia melalui dakwah
dan jihad. Struktur Hankam tersebut hanya bisa berjalan dan terwujud di dalam
sistem kepemimpinan Islam yang disebut dengan istilah khilafah. Struktur Hankam dalam sistem khilafah tercermin dalam politik luar
negeri dan Departemen Keamanan Dalam Negeri.
Departemen Keamanan Dalam Negeri pada
sistem khilafah terdiri dari militer dan
kepolisian sebagai
satu kesatuan yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri serta
melaksanakan tugas yang bersifat operasional. Politik luar negeri khilafah akan fokus pada penyebaran
Islam melalui dakwah dan jihad. Hal ini dilakukan agar rahmat Islam dapat
dirasakan seluruh penduduk negeri. Tujuan jihad sebenarnya untuk menyatukan
negeri-negeri dalam satu kesatuan sistem khilafah.
Loyalitas yang ditanamkan kepada aparat
Hankam bukan lagi mengenai doktrin mematuhi perintah atasan atau penguasa.
Tetapi loyalitas itu hanya diberikan kepada Allah SWT karena telah
tertanamkan pemikiran bahwa hidup kita di dunia ini semata-mata untuk meraih
ridha-Nya. Hal ini akan terceminkan dalam hal pelayan publik, meski ia militer,
tetap akan bersandar pada nash syara’.
Tujuan pertahanan dan keamanan struktur
Hankam akan fokus terhadap penjagaan keamanan dalam negeri dari gangguan serta
menjaga kedaulatan negara dari rongrongan musuh Islam dan ancaman asing. Jika
Jihad dilakukan dengan perang pun akan terdapat batasan, seperti tidak boleh
menyerang anak-anak, kaum wanita, orang tua, warga sipil dan tidak merusak
fasilitas publik. Perang hanya ditujukan pada tentara dan milisi negara musuh.
Demikianlah gambaran singkat mengenai pertahanan
dan keamanan struktur Hankam dalam sistem khilafah.
Hanya dengan sistem ini umat akan terjaga, terwujudnya peradaban yang mulia dan
tercapainya tujuan kemerdekaan, yakni kehidupan yang adil, makmur, sejahtera,
aman dan tenteram, tentu dalam naungan ridha Allah SWT. []
Post a Comment