Oleh : Nurhalidah, A.Md.Keb
Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal, (Sujiwo Tejo, budayawan asal Indonesia). Kutipan di atas kiranya memang menggambarkan keadaan yang terjadi di negeri ini. Dimana korupsi telah menjadi budaya dan hobi para abdi negara.
Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali meringkus abdi negara, yakni Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan. Pada hari Rabu, 25/11/2020 dini hari (Kompas.com, 25/11/2020).
Edhy resmi menyandang status tersangka korupsi. Ia diduga menerima uang mencapai Rp9,8 miliar terkait izin ekspor benur atau benih lobster dari sejumlah perusahaan yang dikumpulkan dari satu rekening, (CNN Indonesia, 27/11/2020).
Padahal, selama Susi Pudjiastuti menjabat di KKP. Beliau secara tegas melarang praktik tersebut. Hal itu tertuang melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster, yang melarang perdagangan benih lobster dan lobster berukuran kurang dari 200 gram ke luar negeri.
Sementara, di era Edhy, aturan larangan ekspor benur dicabut melalui Peraturan Menteri KKP Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Sejatinya sektor terkait perikanan dan kelautan tidak semata-mata hanya tentang lobster. Melainkan ada banyak sektor yang harus diperhatikan oleh seorang Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun, apalah daya sektor lain tidak selezat lobster untuk menjadi santapan korupsinya. Maka demikan, tidak heran lagi ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melakukan perubahan regulasi lobster.
Alhasil, dari regulasi ini juga terbentuk monopoli ekspor benih oleh perusahaan yang melakukan hubungan simbiosis mutualisme dengan Menteri Kelautan dan Perikanan. Sebenarnya kontroversi ekspor lobster ini demi siapa? Sedangkan negara hanya mendapat pajak Rp 9.350 hingga Juni 2020. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh para pejabat negara, dengan dalih untuk kemajuan negara pada dasarnya hanya tipu-tipu belaka.
Karut-marut penanganan kekayaan laut di negeri ini terus berlangsung. Walaupun telah silih berganti wajah baru menduduki kursi singgasana Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dan seiring pergantian Menteri, peraturan pun mengalami perubahan. Namun, hasilnya masih sembrawut. Hal ini tidak lain disebabkan oleh sistem demokrasi yang menjadi kiblat pemerintahan dalam negeri ini.
Maka tidak heran, penguasa yang dilahirkan oleh sistem demokrasi adalah bukan lagi menjadi abdi negara melainkan abdi para pengusaha dan pemilik modal. Karena, pada awal meraih kekuasaan, mereka dimodali oleh para pemilik modal. Sehingga apapun kebijakan yang dikeluarkan harus sejalan dengan pemilik modal. Penguasa dalam demokrasi ketika menduduki kursi kekuasaan yang menjadi prioritasnya bukan rakyat melainkan pemilik modal. Guna meraih kembali modal yang digunakan kala meraih jabatan dalam kontestan demokrasi. Entah itu dengan cara korupsi ataupun dengan cara memuluskan jalannya para pengusaha dalam menjarah kekayaan negara.
Hal ini, sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang mencegah celah korupsi. Karena Islam adalah agama paripurna, yang mengurusi urusan umatnya dari perbagai aspek. Salah satunya termasuk urusan pemerintahan. Di dalam urusan pemerintahan. Pejabat dipilih oleh rakyat, namun aturan yang dijalankan mutlak dari Allah SWT. bukan diobrak-abrik oleh pejabat sesuai hawa nafsunya.
Sebagai sistem yang komprehensif, Islam memiliki sederet langkah-langkah untuk mencegah tindakan korupsi, yaitu:
Pertama, mengangkat individu yang taat akan syariat Islam untuk menjadi pejabat negara.
Kedua, memberikan gaji yang layak agar semua kebutuhan hidup terpenuhi.
Ketiga, negara membentuk badan pengawasan atau pemeriksaan keuangan, yang mengawasi secara ketat keuangan pejabat.
Keempat, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh pejabatnya sehingga ketakwaan dan keimanan mereka akan terpupuk dan terjaga.
Kelima, negara menerapkan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Demikianlah sistem Islam mencegah perilaku korupsi. Namun kebijakan ini hanya ada dalam negara khilafah Islamiyah. Bukan demokrasi.
Wallahu a’lam bishshawaab.
Post a Comment