Oleh: Syifa Nailah Muazarah
Alumni Astronomi ITB
Investigasi yang dilakukan oleh Greenpeace International dan
Forensic Architecture (penelitian kolektif yang berbasis di Goldsmiths
University of London) merilis bukti visual pada Kamis, 12 November 2020 lalu
terkait dengan adanya bukti berupa video udara yang menunjukkan kesengajaan penggunaan
api untuk membuka hutan Papua yang dilakukan PT Dongin Prabhawa anak perusahaan
asal Korea Selatan bernama Korindo. Korindo masih memegang sertifikasi Forest
Stewardship Council (FSC) untuk operasi perusahaannya meskipun ditemukan
pelanggaran hukum akibat penebangan hutan yang ekstensif.
Dilansir dalam rilis resmi Greenpeace International bahwa
Korindo memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Papua dan telah
menghancurkan 57.000 hektar hutan hujan di provinsi tersebut sejak 2001 (hampir
seluas Seoul). Greepeace dan Forensic Architecture menggunakan analisis spasial
untuk merekonstruksi kasus pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan
lingkungan apakah penyebab kebakaran dapat diidentifikasi di konsesi kelapa
sawit Korindo di Papua.
Ditemukan adanya pola kebakaran yang
terjadi ialah kesengajaan, seperti yang katakan peneliti
Forensic Architecture, Samaneh Moafi bahwa,
“Jika kebakaran di konsesi Korindo terjadi
secara alami, kebakaran tidak akan teratur. Namun, pelacakan pergerakan
deforestasi dan kebakaran dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa hal itu jelas
terjadi secara berurutan dengan mengikuti pembukaan dari arah barat ke timur
dan sebagian besar terjadi di dalam batas konsesi Korindo.”
Sekali pun pihak Korindo menepis kebenaran tuduhan pembakaran hutan dalam periode
2011-2016 di hutan Papua dalam keterangan yang tertulis nama Public
Relations Manager of Korindo Group Yulian Mohammad Riza. Korindo juga mengklaim
bahwa pemerintah setempat pun menyatakan demikian dari hasil investigasi yang
dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Merauke dengan Nomor
Surat 522.2/0983 bahwa pembukaan lahan dilakukan tanpa pembakaran.
Bahkan Direktur Jenderal Penegakan
Hukum Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, kepada CNN Indonesia malah
mempertanyakan data tahun berapa yang digunakan pihak Greenpeace dan kenapa
baru dilaporkan saat ini.
Tetapi sepertinya Indonesia harus
menelan kenyataan pahit bahwa pemerintah
daerah ataupun pusat akan menunjukkan sikap tegas penegakkan hukum. Seperti
yang dikatakan Kiki Taufik, kepala Greenpeace Southeast Asia Forest campaign,
bahwa rekam jejak pemerintah justru menunjukkan kelemahan dan
ketidakkonsistenannya jika berhadapan dengan kepentingan-kepentingan bisnis
terlebih asing.
Ditambah kebijakan omnibus law yang belum lama ini disahkan
pemerintah semakin menunjukkan sikap pro pembisnis yang diberikan kepada
pemerintah. Jadi menjadi sebuah harapan kosong apabila masyarakat adat Papua
dan masyarakat Indonesia masih berharap sikap tegas pemerintah Indonesia yang
memperjuangkan hak-hak rakyatnya.
Kasus Korindo ini seharusnya menegaskan
kembali bahwa masalah pembakaran lahan yang dilakukan perusahaan asing bukan
sekadar masalah kerugian ekonomi dan
perusakan lingkungan saja. Tetapi justru merupakan satu bukti dan simbol
Indonesia hari ini semakin tercengkeram
oleh berbagai kepentingan asing. Ekonomi, lingkungan dan tentu saja ditegaskan
dengan hukum yang jelas-jelas memihak kepada siapa yang memberikan modal dan
investasi di negeri ini.
Investasi dan perusahaan asing di
Indonesia bukan diperjuangkan atas nama ekonomi Indonesia seperti yang
dinarasikan pemerintah. Akan tetapi justru sekadar kepentingan asing semata dengan
keuntungan sebesar-besarnya yang dapat dikeruk dari sumber daya alam Indonesia
sekalipun hal tersebut akan melanggar hukum yang ada. Tetapi kembali sikap
lemah dan inkonsisten pemerintah terhadap asing menegaskan cengkeraman kuat para pemodal ini mendominasi
di Indonesia.
Sehingga situasi polemik yang terjadi
di Papua tidaklah lepas dari keleluasaan asing dalam mendominasi dan menentukan
hukum dan kepentingan mereka. Slogan untuk kepentingan rakyat sekali lagi harus
mengalah dengan kepentingan asing. Menunjukkan bahwa hukum dan politik negeri
ini bukan sama sekali dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Melainkan
semata-mata untuk kepentingan asing dan para pemodal besar yang boleh
menentukan arah politik dan hukum seperti apa yang dilaksanakan penguasa.
Berbeda dengan politik dalam Islam yang
jelas-jelas ditegaskan oleh hukum syara’ bahwa tujuannya untuk mengurusi urusan
rakyat dengan menjadikan syariat Allah ta’ala sebagai sumber hukum. Syariat
yang jelas-jelas datang dari Zat yang menciptakan manusia dan mengetahui
kebutuhan dan benarnya manusia di atur dengan apa. Politik dalam Islam tidak
akan pernah berpihak kepada satu kelompok atau kepentingan tertentu, baik asing maupun pemodal besar karena hukum-hukum dalam Islam menjaga
agar politik dilaksanakan atas dasar ketakwaan kepada Allah, ekonomi ditegakkan
atas dasar bagaimana syariat mengatur dan lingkungan juga dilindungi dengan
hukum-hukum khusus terkait dengannya.
Maka sudah seharusnya kaum Muslimin merindukan sistem kehidupan
Islam yang menjadikan segala aspeknya termasuk politik, ekonomi dan lingkungan
diatur oleh hukum Allah yang jelas-jelas mendatangkan rahmat dan berkah dari
Sang Pemilik Semesta. Bukan saatnya kaum Muslimin
menolak konsep pemerintahan dan politik dalam Islam yang sumbernya berlandaskan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. []
Post a Comment