Oleh: Yuliyati, S.Pd
Pengesahan rancangan undang-undang (RUU) Omnibus cipta kerja pada 5 Oktober silam telah memicu lahirnya gelombang demosntrasi diberbagai wilayah di indonesia. Bagaimana tidak dari banyaknya temuan maupun kajian akademik dan hasil penelitian berbagai lembaga independen telah mengupas pokok-pokok persoalan dari setiap kluster topik undang-undang tersebut. Namun, pemerintah dengan gigih dan membantah berbagai kritik terhadap UU Cipta kerja sebagai hoaks dan disinformasi. Bahkan Badan Pembina Idiologi Pancasila (BPIP) menekankan omnibus law undang-undang cipta kerja sudah sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. (republika co.id 11/12/2020)
Pemerintah terus saja bernarasi bahwa omnibus law dibuat semata untuk kepentingan rakyat, oleh karena itu patut diapresiasi. Namun faktanya gelombang demokrasi dari berbagai kalangan beserta suara para pakar mengenai buruknya uu omnibus law adalah bukti rakyat menjadi korban.
Pemerintah dan DPR berkelit dengan mengklaim bahwa mereka telah melibatkan wakil buruh dan akademisi dalam proses penyusunan UU. Tetapi, disaat bersamaan pemerintah dan DPR menolak usulan dan kritik dari banyak wakil buruh, akademisi, gerakan sosial dan publik yang luas yang menyatakan oposisi dan kritik komprehensifnya atas UU tersebut.
Lalu, dimanakah kedudukan rakyat yang sebenarnya? Bukankan landasan dari demokrasi berdasarkan suara rakyat? Dan bahkan penguasapun dipilih oleh rakyat? Masih berlakukah demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?
Strategi memanipulasi kesadaran publik
Banyak cara yang dilakukan oleh penguasa untuk memanipulasi kesadaran publik salah satunya ialah dengan menciptakan diisformasi. Hal ini dilakukan agar membuat publik kebingungan ketika berhadapan dengan banyak ragam kebenaran sehingga rakyat hanya mengakui kebenaran versi penguasa. Hal demikian dapat dilakukan karena pemerintah memiliki instrumen informasi yang canggih dibandingkan masyarakat.
Dalam waktu yang bersaaman pula Presiden Joko Widodo memobilisasi kepala daerah untuk mendukung UU cipta kerja, terutama setelah beberapa diantara mereka sempat menyampaikan penolakan terhadap undang-undang ini.(Indoprogress.com 11/12/2020)
Omnibus law, inilah “Rule of the game” Demokrasi
Pengesahan omnibus law telah membuka mata hati bahwa kebohongan masih saja dilestarikan, persekongkolan secara masif dan sistematispun sangat jelas dilakukan oleh pengusaha dan penguasa yang masih saja mengatas namakan kepentingan rakyat.
Inilah “rule of the game” melemahkan rakyat hanya untuk mengejar kepentingan dari berbagai belah pihak. Bahkan penguasa masih saja menanamkan benih penghianatan kepada rakyat, menjajikan keamanan dan kemakmuran tetapi pada kenyataanya rakyat semakin tertindas dan tercekik dengan peraturan yang ada.
Demokrasi sudah mulai mununjukan kelemahan dalam mengatur urusan rakyat, bagaimana tidak demokrasi yang selama ini diagung-agungkan tidak pernah sukses menjadi alat untuk memilih wakil rakyat. Karena wakil rakyat yang terpilih bukan representasi yang sesungguhnya dari rakyat, namun berkat money politiklah yang berhasil memalingkan wajah asli rakyat. Di satu sisi awamnya masyarakat terhadap politik sehingga menjadikan manuver rendahan politik pencitraan sebagai strategi jitu yang diambil untuk mendulang suara.
Mahalnya biaya demokrasi ternyata tidak menjamin kesejahteraan rakyat, karena aturan demi aturan yang dikeluarkan berdasarkan urusan kepentingan yang berimbas pada urusan daya jual beli kebijakan. Akhirnya, rakyat hanya bisa gigit jari dan menerima dengan lapang dada. Bahkan kesejahteraan dan keadilan adalah mimpi disiang bolong yang terlalu lama dinantikan oleh rakyat.
Seharusnya kita semakin menyadari omnibus law hanyalah produk demokrasi. Tidak menutup kemungkinan akan lahir undang-undang yang serupa dari sistem ini. Maka Masihkah menaru harapan pada sistem demokrasi? Tentu tidak, Sistem yang mati yang sama sekali tidak bergerak dan membawa perubahan seharusnya tidak lagi diperjuangkan melainkan mungubur dalam-dalam.
Peran wakil rakyat dalam islam
Sistem demokrasi menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Sehingga yang berkuasa penuh terhadap lahirnya sejumlah aturan adalah rakyat. Berbeda dengan wakil rakyat yang terdapat dalam sistem islam (khilafah).
Dalam islam, wakil rakyat yang terwadahi dalam majelis umat sama sekali tidak berfungsi sebagai lembaga legislatif, karena yang melegalisa hukum hanyalah Allah SWT, bukan manusia. Adapun yang berhak mengadopsi hukum-hukum yang berkaitan dengan pengaturan urusan rakyat dan pemerintah, maka itu adalah khalifah, bukan majelis umat.
Bukan berarti khalifah adalah badan legislatif, karena khalifah tidak membuat hukum sendiri, akan tetapi khalifah mengambil hukum-hukum syariah yang terkandung dalam Al-Quran an as-sunnah melalui metode ijtihad. Adapun tugas utama majelis umat hanyalah mewakili aspirasi kaum muslimin agar menjadi pertimbangan khalifah dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan kaum muslim. karenanya Khalifah tidak akan memberi celah sedikitpun kepada pihak korporasi yang ingin mengendailikan tata kelola pemerintahan. Bahkan proses pemilihan wakil rakyapunt tidak membutuhkan dana yang besar, karena sebelumnya sudah dipahamkan terkait qiyadah fikriyah islam.
Omnibus law merupakan pertanda Kematian demorasi, artinya tidak lama lagi aturan yang tidak memanusiakan-manusia ini akan dikubur dalam-dalam.
Maka, sebagai agent of change kita harus memaksimalkan ikhtiar dan berada di garda terdepan untuk menyuarakan kebenaran sehingga dapat mengembalikan syariat Allah SWT ke muka bumi ini, dan rakyatpun bisa merasakan nikmatnya hidup dalam kesejahteraan, itu semua hanya ada dalam sistem islam yang bernama khilafah.
Post a Comment