Oleh: Miranthi Dhaifina Sabila, S.E.
Alumni Institut Pertanian Bogor
Utang luar negeri Indonesia tahun 2020
telah mencapai 413,4 miliar dolar AS atau sekitar 5.866 triliun rupiah. Hal ini
didasarkan pada laporan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) Oktober
2020 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Ini menempatkan Indonesia dalam
posisi ke-7 sebagai negara dengan utang luar negeri terbesar di dunia.
Dikutip dari kompas.com, Menteri Keungan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali
menegaskan peran penting utang dalam menjaga keseimbangan APBN. Anggaran negara
memang sering kali dibuat defisit agar ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi. Namun,
lanjutnya negara tak sembarangan dalam mengajukan utang. Selama tujuannya
positif dan rasionya tak melebihi produk domestik bruto (PDB), utang dianggap
masih terkendali. “Kalau ternyata tetap kurang (defisit), ya utang. Agar tidak
menyusahkan, cari utang yang baik,” kata Sri Mulyani seperti dikutip pada
Selasa (1/12/2020) oleh kompas.
Dalam sistem kapitalisme, utang luar
negeri adalah hal yang lumrah dilakukan oleh negara yang tergolong
miskin-menengah, tak terkecuali negara maju. Namun sebagai umat Islam, dalam
menyikapi masalah utang luar negeri kita tidak boleh terlalu ‘polos’, berasumsi
bahwa setiap bentuk utang yang dipinjamkan oleh negara-negara asing ini
merupakan bantuan sosial semata tanpa mengharap keuntungan. Kita harus memahami
bahwa setiap gerak dan keputusan yang diambil oleh negara asing terhadap
Indonesia adalah bentuk strategi politik untuk memuluskan proses pengambilalihan
kekuasaan Indonesia, sekalipun secara kasat mata, ia terlihat seperti bantuan
sosial biasa.
Contoh nyata dapat kita lihat dari
kasus Cina dengan Laos. Cina menjalankan strategi diplomasi utang kepada Laos.
Laos yang saat itu tengah mengalami krisis utang publik akhirnya menerima
‘bantuan’ utang dari Cina dengan menggadaikan sumber daya alamnya. Laos
memberikan saham utama dalam ‘Baterai Rencana Asia Tenggara’, dengan kata lain
mengizinkan perusahaan Cina Southern Power Grid untuk mengelola jaringan
listrik negara Laos. Ini merupakan keputusan fatal bagi Laos, melihat rekam
jejak Cina dalam pengelolaan SDA di Mekong sudah buruk. Awal 2020, 11 bendungan
di Sungai Mekong Cina memerangkap hampir semua aliran sungai yang mengakibatkan
masyarakat di Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam mengalami kekeringan yang
memecahkan rekor tahun 2019.
Dalam buku Ekonomi Pasar Syariah karya
Dwi Condro Triono, dipaparkan bahwa kapitalisme memiliki beberapa jurus dalam
menjalankan hegemoninya di tingkat dunia. Jurus yang kedelapan dan kesembilan
adalah dengan membuka perusahaan di negara-negara yang menjadi objek ekspornya
serta menguasai sumber-sumber bahan baku yang terdapat di negara jajahannya
tersebut. Sampai akhirnya menempatkan penguasa boneka untuk memuluskan geraknya
di negara jajahannya.
Berbeda dengan sistem Islam, Islam
sangat rinci dalam pengaturan SDA negaranya. Islam membagi kepemilikkan ke
dalam 3 jenis yaitu kepemilikkan umum, negara dan individu. Pengaturan SDA
masuk ke dalam jenis pengaturan kepemilikkan umum dalam Islam.
“Dari Ibnu Abbas RA berkata
sesungguhnya Nabi SAW bersabda; orang Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu;
air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata:
maksudnya: air yang mengalir.”
(HR Ibnu Majah).
“Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah SAW dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia(Abyadh bin Hamal)” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).
Dari dua hadits ini ulama mengatakan bahwa pengaturan SDA dalam Islam harus dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada asing. Negara mengelola SDA tersebut semata-mata agar rakyatnya dapat memperoleh manfaat dari SDA tersebut dan haram hukumnya bagi negara menetapkan harga untuk SDA yang telah dikelola kecuali dengan harga yang murah (harga murni dari biaya pengelolaan).
Untuk utang luar negeri sendiri Islam membolehkan dengan syarat tidak boleh ada riba (manfaat atau keuntungan) yang diperoleh oleh negara pemberi utang. Karena utang dalam Islam adalah bentuk tolong menolong dan haram hukumnya mendapat manfaat dalam bentuk apapun dari utang tersebut.
Dari sini dapat kita simpulkan negara
yang berutang selamanya tidak akan pernah bisa menjadi negara yang independen, karena setiap keputusan
pemerintahnya mau tidak mau akan diatur oleh pihak yang memberikan utang. Islam
dengan kesempurnaannya punya aturan di segala aspek kehidupan mulai dari
pengaturan kehidupan sosial hingga kehidupan bernegara/berpolitik.
Aturan Islam datang dari Pencipta
manusia, yang mengetahui sperpat
manusia dengan baik, maka tidak mungkin ada kecacatan di dalamnya. Manusia
selaku makhluk harusnya paham bahwa aturan yang paling tepat untuk diadopsi
adalah aturan yang dibuat oleh penciptanya yaitu Allah SAW bukan malah memilih
aturan yang dibuat oleh makhluk. []
Post a Comment