Kesejahteraan yang Hakiki Hanya dalam Islam


Oleh: Ummu Syafiq 
Pendidik Generasi

Sebagai pusat pemerintahan dan ibu kota provinsi, Bandung dengan ruang lingkupnya baik kotamadya maupun kabupaten tak pelak menjadi pusat perhatian dan tolok ukur keberhasilan pengelolaan  daerah. Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah daerah untuk terus membuat program kerja dalam rangka melaksanakan pemerataan pembangunan. Terlebih mengupayakan bagaimana membentuk desa maju sebagaimana peraturan yang tertuang dalam Perpres No 63/2020. Terbukti,  dengan luas wilayah yang cukup luas, mencakup 31 kecamatan dan 270 desa serta jumlah penduduk mencapai 3,7 juta jiwa,   tidak lagi ditemukan desa  yang terkategori tertinggal di kabupaten Bandung. (Tribunjabar.id).

Merujuk pada peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 terdapat sejumlah kriteria tentang status daerah tertinggal, seperti dilihat dari perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah. Hanya saja kriteria ini tentu masih perlu dianalisa lebih dalam, terlebih pelaturan tersebut ada dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sistem yang hanya mengukur kesejahteraan masyarakat bedasarkan angka-angka kapitalistik saja demi meraup untung dan manfaat.

Dalam sistem tersebut, pemberian  status mandiri, maju dan berkembang atau tertinggal terhadap suatu wilayah, desa kabupaten, disinyalir sebagai upaya meninabobokan daerah agar tidak tergantung dan tidak merepotkan pusat (pemerintah atau negara). Padahal sudah menjadi tugas dan kewajiban negara untuk menjadikan setiap wilayahnya  mandiri dan sejahtera dengan sokongan dan dukungannya. Sayangnya,  demokrasi tak memiliki semangat seperti itu bahkan menjadi  hal yang mustahil terealisasi.

Sudah menjadi tabiat dari demokrasi kapitalisme jika negara sering abai terhadap urusan publik. Masyarakat dipaksa untuk mandiri dan mencari jalan keluar  masing-masing saat berhadapan dengan masalah,  terlebih birokrasi serta prosedur yang harus ditempuh menuju pusat pemerintahan begitu rumit sementara untuk kebutuhan perut tak bisa ditunda.

Islam memandang maju dan mundurnya suatu wilayah bukan ditentukan dari kriteria berbasis kapitalistik melainkan tiga pilar utama yaitu individu, masyarakat dan negara. Dalam sistem pemerintahan Islam tahu persis bagaimana mengkondisikan wilayahnya agar berada dalam riayah pusat. Dibantu wali dan amil, kepala negara (khalifah) mampu mendistribusikan keperluan daerah sebagai bagian dari tanggung jawabnya mengurusi dan melayani kepentingan umat (riayah suunil ummah).

Kriteria daerah tertinggal, maju dan  berkembang atau mandiri tidak akan dikenal dalam institusi Islam. Pasalnya, aturan yang diterapkan Daulah Islam bersifat menyeluruh bukan parsial sebagaimana sistem saat ini.  

Jadi hanya kembali kepada sistem Islam sajalah masyarakat akan benar-benar merasakan kesejahteraan yang hakiki karena seorang pemimpin dalam Islam memposisikan dirinya sebagai pelayan umat. Ia bekerja sesuai dengan hukum syara serta takut kepada Allah Swt. sebab suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya yakni di yaumil akhir kelak.
Rasulullah saw. bersabda, "Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinanya ..." (HR. Muslim).
Wallahu a'lam bi ashawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post