Ilusi Pelarangan Minol Melalui Legislasi Demokrasi




Oleh : Nurhalidah, A.Md.Keb

Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (Minol) pertama kali diusung oleh DPR pada tahun 2009 tapi tidak disahkan, kemudian dibahas lagi pada tahun 2014 dan 2019 namun mandek di tengah jalan. Hingga saat ini kembali dibahas oleh DPR. Adapun pengusungnya yaitu 21 anggota DPR dari Fraksi PPP, PKS, dan Partai Gerindra. Namun, pembahasan RUU Minol ini  masih menuai pro dan kontra dari berbagai pihak.

Terlansir oleh CNN Indonesia, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom turut mengkritik wacana RUU Minol, menurutnya RUU ini menarik negara kearah kemunduran. Karena negara lain seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman beralkohol. Gultom menyebut yang dibutuhkan saat ini adalah pengendalian, pengaturan, dan pengawasan yang ketat, dan mesti diikuti oleh penegakan hukum yang konsisten. Menurut dia, aturan-aturan berkaitan dengan minuman beralkohol sendiri telah diatur dalam KUHP (pasal 300 dan 492) dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 25/2009, (13/11/2020)

Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI) Stefanus berpendapat, jika RUU ini disahkan dapat membunuh pariwisata Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa minol termasuk produk yang dikenai cukai. Pada awal tahun ini, Kementerian Keuangan mengumumkan minol menyumbangkan sekita Rp 7,3 triliun pada penerimaan cukai negara tahun 2019. Sementara, tahun lalu DKI Jakarta yang memiliki saham perusahaan produsen bir, PT Delta Djakarta, mendapatkan lebih dari Rp 100 miliar dari deviden perusahaan itu (bbc.com, 13/11/2020).

Rancangan UU Minol memang akan sulit disahkan di negeri ini. Mengingat pondasi berpijaknya negeri ini adalah demokrasi sekular dengan sistem ekonomi kapitalisme. Memberikan ruang kebebasan individu dan kelompok tertentu untuk melakukan aktivitas tanpa mengambil standar dari agama. Sehingga, poin penting yang menjadi tolak ukur dalam beraktivitas di negeri ini adalah keuntungan dan kerugian yang bersifat materi. Semua akan distandarkan pada penilaian manusia.

Sehingga RUU Minol akan tetap mandek di tengah jalan, kalaupun disahkan kemungkinan aturan akan hanya sebatas distribusi dan konsumsi minol. Sangat mustahil pemerintah mensahkan aturan yang melarang total pengedaran minol. Mengingat keuntungan yang didapatkan dari minol sangat menggiurkan. Tidak hanya kaum kapital yang meraih keuntungan. Bahkan negara juga turut menikmati dari hasil bisnis minol tersebut. Maka dari itu, mengharapkan pelarangan minol dalam demokrasi sebenarnya hanya ilusi semata. Karena dalam demokrasi para pengusungnya tidak akan melegalkan aturan yang membuatnya rugi sekalipun itu bertentangan dengan agama. 

Hal ini bertolak belakang dengan sistem Islam yang diterapkan dalam negara khilafah. Apapun yang ada dalam syariat Islam, pemimpin dan umat harus menerima dan mentaatinya. Begitupula halnya dengan minol, Islam melarang keras pengedaran dan pengonsumsian minol secara bebas. Maka aturan tentang pelarangan minol pun dilegalkan tanpa menunggu persetujuan dari pihak manapun. Sehingga, industri-industri minol dalam negara khilafah tidak ada kesempatan untuk didirikan. 

Karena, sebagai orang yang mengaku beriman kepada Allah, maka sudah menjadi kewajiban untuk taat pada aturannya tanpa harus berkompromi dengan pihak manapun. Berbeda dengan sistem yang diterapkan di negeri ini yang menempuh jalan kompromi untuk menerapkan aturan. Padahal Allah telah menyebutkannya dalam ayatnya bahwa meminum minol sebagai perilaku setan. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian beruntung. (QS. Al-Maidah : 90).

Dalam Islam tidak hanya pelarangan saja melainkan ada sanksi tegas yang dijatuhkan kepada peminumnya yang nantinya memberikan efek jera terhadap pelaku. Adapun sanksinya yaitu dijilid 40 atau 80 kali dan dilakukan di tempat umum. Sebagaimana sabda Rasul Saw,
“Rasulullah Saw pernah mencambuk (peminum khamar) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai.” (HR. Muslim).

Sedangkan untuk nonmuslim, jika dalam agama mereka diperbolehkan untuk mengkonsumsi minol maka negara khilafah tidak melarangnya. Namun, mereka memilki batasan untuk produksi, pengedaran dan konsumsi hanya terbatas pada kalangan mereka sendiri. Tidak boleh diperjual belikan secara umum. 

Oleh karena itu, sudah saatnya negeri ini melepaskan diri dari kungkungan demokrasi yang menghasilkan aturan yang ilusi. Dan kembali kepada syariat Islam. Karena tidak ada syariat sebaik Islam dan sebaik-baiknya aturan hanya dari syariat Islam.

Wallahu a’lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post