Gurita Korupsi di Balik Wajah Demokrasi


Oleh : Nur Fitriyah Asri
Aktivis Dakwah, Pegiat Literasi

Biadab! Kata yang menunjukkan kemarahan besar netizen di jagad maya maupun di dunia nyata. Menteri Sosial Juliari Batubara yang merangkap bendahara PDI-P dan jajarannya, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga melakukan korupsi di wilayah Jabodetabek. Menyunat dana bantuan sosial (bansos) Rp10 ribu per paket yang seharusnya senilai Rp300 ribu per paket. Sehingga bisa meraup uang haram senilai Rp17 miliar. Inilah yang membuat publik murka, karena dana itu untuk warga miskin terdampak Covid-19. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, terkategori melakukan kejahatan luar biasa dengan ancaman hukuman terpidana mati.

Ironisnya lagi, dana bansos itu sumbernya dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020. Karena defisit  hingga sebesar Rp1.039 triliun, maka pemerintah utang. Padahal defisit anggaran ini akan membebani keuangan negara hingga sepuluh tahun mendatang. Dilansir Eramuslim.com. (6/12/2020).

Sebelumnya KPK menetapkan lima orang dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) dalam kasus yang sama, pada tanggal 5 Desember 2020.
Dalam hal ini, sebagai penerima suap adalah Juliari Peter Batubara (Mensos), Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso, selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial, sekaligus Matheus sebagai pemilik PT Rajawali Parama Indonesia (RPI). Dua tersangka lainnya, sebagai pemberi suap yakni Ardian IM (swasta) dan Harri Sabukke (swasta).

Sementara pengamat politik, Rocky Gerung mengomentari bahwa kasus dugaan korupsi oleh Juliari Batubara bukanlah hal aneh. Lantaran jabatan di PDI-P sebagai bendahara partai. Wajar kalau tugasnya mengumpulkan uang, karena pemilu dan pilkada menghabiskan banyak dana partai. Disampaikan melalui kanal You Tube pribadinya (6/12/2020).

Bukan rahasia lagi. Bahwa ongkos untuk menduduki sebuah kursi jabatan, butuh biaya miliaran hingga triliunan. Dana tersebut antara lain untuk mahar kendaraan politik, pasang baliho, fee untuk tim sukses. Bahkan serangan fajar bagi-bagi uang, membeli suara agar menang.

Di sinilah terjalinnya  simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara penguasa dan pengusaha dalam proses pemilu. Calon penguasa butuh dana untuk memenangkan pemilu. Sedangkan pengusaha butuh penguasa untuk kepentingan bisnis.
Jadi, sistem demokrasi sekuler inilah yang mendorong mengguritanya korupsi.

Demokrasi lahir dari sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Agama dilarang turut campur dalam urusan publik, baik bermasyarakat maupun bernegara. Dalam sistem ini, kedaulatan berada di tangan rakyat, artinya manusia yang membuat aturan sendiri. Inilah salah satu cacat sistem demokrasi, sehingga bertentangan dengan Islam. Allah berfirman: "Sesungguhnya yang menetapkan hukum itu haknya Allah." (QS. al-An'am [6]: 57)

Wajar, jika aturan yang dibuat berdasarkan hawa nafsunya dan manfaat untuk kepentingan diri sendiri serta kelompoknya. Celah ini pula yang digunakan untuk deal-deal politik alias kongkalikong.
Tidak heran, jika korupsi sudah menggurita masuk ke pilar-pilar pemerintahan: Eksekutif (instansi pemerintah); Legislatif (parlemen/DPR); Yudikatif (peradilan) dan juga swasta.

Semua itu bukti bahwa korupsi tumbuh subur dalam sistem demokrasi. Tidak lagi bersifat individual, tapi sistemik dan dilakukan secara berjamaah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mencatat 300 kepala daerah tersandung kasus korupsi sejak diberlakukan pilkada secara langsung. (Kompas.com.7/8/2020)

Adapun semua partai politik, tidak terkecuali parpol Islam (PPP) personelnya juga terjerat korupsi. Namun, yang  menjadi rekor korupsi terbesar adalah PDI-P. Begitu pula di periode kepemimpinan Presiden Jokowi ada empat menteri yang terjerat kasus korupsi. 

Hal tersebut menunjukkan betapa bobroknya sistem demokrasi, yang tidak bisa melahirkan pemimpin yang amanah, melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Oleh sebab itu, saatnya sistem demokrasi kufur diganti dengan sistem Islam.

Sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam,  melahirkan aturan-aturan berasal dari Allah Yang Maha Pengatur (Al Mudabbir), yang mengatur semua lini kehidupan. Meliputi hablum minallah, mengatur hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah), hablum minannafs, mengatur hubungan manusia dengan diri sendiri (makanan, minuman, pakaian dan akhlak) dan hablum minnannas, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (ukubat dan muamalah). 

Sumbernya adalah Al-Qur'an dan Sunah.
Sudah tentu akan mendatangkan rahmatan lil alamin, jika negara dalam hal ini "khilafah" yang menerapkannya. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)

Oleh sebab itu, dalam Islam fungsi khalifah adalah menerapkan syariat Islam secara kafah. Termasuk di dalamnya cara mengatasi dan menangani masalah korupsi. 

1. Islam mewajibkan setiap muslim
berakidah kuat, bersikap jujur, amanah serta melarang berkhianat. Perintah itu, mencegah adanya korupsi.

2. Rekrutmen aparat negara harus berdasarkan profesional, bukan KKN. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya." (HR. Bukhari)

3. Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak. Rasul saw. bersabda, "Siapa saja yang bekerja untuk kami, jika tidak punya rumah hendaknya mengambil rumah. Jika tidak punya istri, hendaklah menikah. Kalau tidak punya pembantu dan kendaraan, hendaklah mengambil pembantu dan kendaraan." (HR. Ahmad)

4. Rasululah saw. bersabda, "Hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah haram dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran." (HR. Ahmad)

5. Islam memerintahkan perhitungan kekayaan aparat sebelum dan sesudah menjabat.

6. Ada pengawasan baik oleh negara maupun masyarakat.

7. Menindak tegas koruptor sesuai syariat. Hukuman koruptor masuk kategori ta'zir, yakni hukuman dimana jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat ringannya hukuman tergantung dari kejahatannya. Bentuk hukuman yang paling ringan dengan menasihati atau teguran, sampai yang paling tegas yaitu hukuman mati.

Sistem hukum Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) atas tindak kriminalitas karena hukumannya tegas. Sekaligus sebagai penebus dosa (jawabir) atas tindakan jahat yang telah dilakukan oleh si pelaku, artinya besok di akhirat tidak dihisab.
Inilah keadilan dan keagungan hukum Islam yang tidak dimiliki oleh ideologi selain Islam.

Dengan penerapan syariat Islam secara kafah dalam institusi khilafah, korupsi dan kemaksiatan yang lainnya dapat dicegah dan diatasi dengan tuntas.

Allah Swt. berfirman:

اَفَحُكۡمَ الۡجَـاهِلِيَّةِ يَـبۡغُوۡنَ‌ؕ وَمَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكۡمًا لِّـقَوۡمٍ يُّوۡقِنُوۡنَ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. al-Maidah [5]: 50)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post