Oleh: Nuraminah, S.K.M
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang digelar secara virtual pada 21-22 November ini memunculkan kesepakatan dari sejumlah negara yang paling rentan menghadapi dampak pandemi Covid-19 untuk bisa melakukan perpanjangan cicilan utang hingga pertengahan tahun 2021.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pada acara The 5th G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting yang diselenggarakan secara daring pada Jumat, (20/11/2020), disepakati adanya perpanjangan masa cicilan utang. “Ini adalah fasilitas relaksasi bagi pembayaran utang negara-negara miskin […] yang tadinya pada sampai akhir tahun ini, kemudian diperpanjang hingga pertengahan tahun 2021,” jelas Sri Mulyani di Istana Bogor yang ditayangkan secara virtual, dikutip CNBC Indonesia, Minggu (22/11/2020). Tujuannya, kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, agar negara yang berpendapatan rendah bisa memiliki ruang fiskal dalam menangani Covid-19.
Kemudian di dalam KTT G20 2020, kata Sri Mulyani disepakati agar perlakukan terhadap utang bisa disamakan, antara negara-negara yang selama ini tergabung di dalam klub Paris (Paris Club) ataupun yang di luar klub Paris. "Dari 46 negara dari 77 negara yang disetujui untuk bisa berpartisipasi dan mendaftar di dalam inisiatif tersebut," jelas Sri Mulyani.
Adapun, di dalam siaran resmi KTT G20 dari Riyadh, Kerjaan Saudi Arabia, dijelaskan anggota G20 secara kolektif berupaya melindungi negara dan populasi yang membutuhkan, dengan 44 negara mendapatkan manfaat dari DSSI. Jumlah relaksasi utang disepakati melalui DSSI senilai US$ 14 miliar.
DSSI adalah inisiatif untuk memberikan fasilitas relaksasi bagi pembayaran utang negara-negara rentan, yang saat ini dihadapkan pada kondisi ekonomi dan fiskalnya yang sangat sulit. Dalam pembahasan DSSI tersebut kemudian didukung oleh lembaga multilateral seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, menyepakati untuk memberikan relaksasi cicilan utang.
"Dengan 44 negara dan lebih dari satu miliar orang (perwakilan negara) mendapat manfaat dari DSSI. Tersedia US$ 14 miliar untuk negara-negara ini, sehingga mereka bisa memfokuskan semuanya untuk memerangi pandemi, daripada membayar utang mereka," tulis siaran resmi KTT G20 2020.
Terkait dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, sebelumnya mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menegaskan pandangannya.
"Mengenai negara miskin atau tidak, itu tidak perlu menjadi perdebatan. Kalau pendapatan per kapita di bawah US$ 995 itu termasuk negara low income. Per kapita Indonesia itu US$ 3.800 - US$ 4.000, kita [Indonesia, merupakan] upper middle country,".
Total utang baru Indonesia yakni bertambah sebesar lebih dari Rp 24,5 triliun. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral. Rincian utang luar negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp 15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman sebesar Rp 9,1 triliun. Pemerintah mengklaim, penarikan utang baru dari Jerman dan Australia dilakukan untuk mendukung berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19 dan pinjaman tersebut harus dilunasi kembali kepada Pemerintah Australia dalam jangka waktu 15 tahun.
Ledakan utang tak patut dibanggakan
Tak dapat dipungkiri sebelum pandemic kondisi perekonomian Indonesia telah sekarat. Apalagi ditambah resesi akibat pandemic utangpun menjadi jalan terakhir untuk menutup deficit khas Negara yang kian menganga. Data yang dirilis BANK Indonesia posisi utang luar negri Indonesia hingga 22 Agustus tercatat sebesar $ 413.4 Miliar.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Mulai dari emas, nikel, batu bara, minyak, gas alam dan lain-lain yang sangat melimpah. Tapi ternyata semua itu menyisakan berbagai masalah. Kekayaan alam Indonesia, jumlah penduduk dan pasar yang besar tentu sangat menggiurkan bagi negara-negara kapitalis yang rakus. Kekayaan alam Indonesia dirampok asing, sangat rawan mengalami kegoncangan ekonomi dan politik, semakin tingginya angka kemiskinan, semakin tidak aman dan tidak sejahtera, maka akan semakin menumpuk utangnya.
Bukannya merasa malu, sikap pemerintah menyambut diluncurkannya DSSI, seolah menggambarkan perasaan bangga berutang kepada Negara lain. Padahal utang yang menggunung menunjukkan kegagalan penguasa mengurusi Negara, kondisi ini sungguh ironi, bagaimana mungkin negara yang kaya raya akan sumber daya alam baik tambang, hutan dan kekayaan lautnya malah menjadi Negara dengan utang luar negri terbesar ke-7 di dunia.
Inilah akibat dari penerapan ekonomi kapitalis, utang yang membelenggu semakin meningkat. Negeri ini terus menerus berada dalam lilitan utang yang semakin mencengkram. Pemerintah lebih banyak melakukan pengeluaran daripada mengumpulkan pemasukan. Ekonomi terus terguncang, utang masih melambung tinggi. Jika kekurangan uang, akan menaikkan pajak atau mencari utang berbasis ribawi, memasukkan investasi asing ke dalam negeri atas nama mempercepat pertumbuhan ekonomi, sementara penanganan pandemi belum juga berjalan efektif.
Ledakan utang tak patut dibanggakan karena menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola SDA, menjadi ancaman serius yang siap menghilangkan kedaulatan negara lewat utang dan dengan menjadikan ekonomi kapitalis sebagai pondasi ekonomi negara, justru membuat negara makin terpuruk dan ambruk. Kebijakan negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat dan justru semakin mempererat kendali kepentingan asing dan menyebabkan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Sistem utang dalam sistem kapitalis juga menerapkan riba dan menjadi alat penjajahan bagi negara-negara Kapitalis kepada negara-negara berkembang.
Hanya khilafah yang mampu menyelesaikan jebakan utang sesuai pandangan syariat. Ajaran yang bersumber dari Allah Yang Maha Sempurna, ajaran yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah yang akan menyelamatkan umat serta memberikan rahmat bagi seluruh alam. Khilafah akan menjamin kekayaan alam yang merupakan milik rakyat hanya untuk kepentingan rakyat, bukan diberikan kepada individu, swasta, apalagi negara-negara kapitalis liberal. Karena dalam sistem ekonomi Islam membagi kepemilikan dalam tiga bagian yaitu, kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Rasulullah SAW bersabda:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput dan api." (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah) .
Cara islam mengatasi ledakan utang
Berbeda dengan khilafah yang menerapkan hukum-hukum syariat dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam sumber pendapatan Negara. Khilafah jelas tidak akan mengambil utang luar negri sebagai sumber pendapatan Negara. Sebab utang seperti ini pasti akan mengancam kedaulatan Negara dan haram diambil karna mengandung riba. Negara khilafah hanya diperbolehkan berhutang tanpa ribawi saat baitul mal kosong. Dalam rangka melaksanakan perkara-perkara yang diwajibkan kaum muslimin untuk menunaikannya, misalnya nafkah untuk para tentara, dan gaji para pegawai. Apabila dikhawatirkan terjadi kerusakan akibat penudaan pembelanjaan untuk menunaikannya, sebab nafkah untuk pos tersebut termasuk dalam keadaan yang wajib di belanjai baik dalam keadaan ada harta maupun tidak ada harta.
Sejarah gemilang ditorehkan Khalifah di masa Daulah Abbasiyah Harun Arrasyid. Telah tersohor suasana negara di bawah kekuasaan Khalifah Harun Ar-Rasyid begitu aman dan damai. Kesejahteraan rakyatnya begitu terasa, hingga sangat sulit mencari orang yang diberikan zakat, infak, ini hanya akan terjadi ketika kaum muslimin kembali menerapkan Daulah Khilafah Islam secara Kaffah.
Wallahu'allam.
Post a Comment