Saat Utang Menggunung, Menkeu Terbaik Tuding Warisan Kolonial



Oleh : Nurhalidah, AMd.Keb

Ketika seseorang meraih suatu prestasi maka sudah sewajarnya memperoleh sebuah penghargaan atas pencapaian prestasinya tersebut. Dan hal itu sudah lumrah terjadi. Akan menjadi suatu keanehan apabila seseorang memperoleh penghargaan namun tidak memiliki prestasi. Seperti penghargaan yang diperoleh oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Indonesia Sri Mulyani Indrawati kembali dinobatkan sebagai Menkeu terbaik. Padahal keadaan negara saat ini utangnya sudah menggunung. Lantas letak prestasinya dimana sehingga memperoleh penghargaan tersebut. Apakah dinamakan sebuah prestasi ketika mampu menumpukan utang negara. Sungguh miris!

Baru-baru ini Menkeu Sri Mulyani baru saja meraih penghargaan sebagai Finance Minister of the Year for East Asia Pacific tahun 2020 dari majalah Global Markets. Ini merupakan penghargaan kedua yang diterima Sri Mulyani dari majalah yang sama, setelah terakhir di tahun 2018 memperoleh penghargaan serupa (tribunpalu.com, 17/10/2020).

Salah satu tokoh yaitu Fadli Zon dalam akun youtube pribadinya menyampaikan banyak pihak mempertanyakan penghargaan tersebut. Pasalnya, penghargaan itu diberikan kepada menteri ekonomi disaat ekonomi negeri ini sedang terpuruk. Realitanya saat ini perekonomian di Indonesia banyak menghadapi masalah ekonomi, seperti nilai tukar rupiah yang melemah dan juga utang negara yang terus menumpuk (tribunpalu.com, 17/10/2020).

Terlansir di Bisnis.com 14 Oktober 2020, laporan Bank Dunia berjudul International Debt Statistics (IDS) 2021 menempatkan Indonesia di daftar 10 negara dengan utang luar negeri terbesar, laporan tersebut yang terbit pada 12 Oktober 2020.

Menanggapi utang negara yang menumpuk Menkeu Sri Mulyani Indrawati beberkan sejumlah warisan dari Belanda untuk Indonesia. Warisan itu dimulai dari utang hingga kondisi perekonomian yang rusak. “Dari sisi ekonomi waktu kita merdeka, kita diberikan warisan Belanda tidak hanya perekonomian yang rusak namun juga utang dari pemerintahan kolonial”. Kata dia dalam pembukaan Ekspo Profesi Keuangan 2020 melalui video conference Senin, 12/10/2020. (detikfinance, 13/10/2020).

Standar menjadi Menkeu terbaik tidak dilihat dari kinerjanya di negara ini melainkan dari kacamata asing. Jika dipikir-pikir standar terbaik bagi kaum kapitalis yaitu ketika mengekor dengan kebijakan mereka dan tukang  ngutang maka akan dinobatkan sebagai yang terbaik. Yang perlu diketahui Global Markets adalah majalah berita terkemuka dibidang pasar ekonomi internasional. Majalah ini diterbitkan pada saat pertemuan sidang tahunan IMF-World Bank Group. Oleh karena itu, mereka menobatkan Indonesia memiliki menteri keuangan terbaik sudah pasti memiliki tujuan yaitu menjerat Indonesia terjerat lebih dalam lagi ke lubang kapitalisme global. Sehingga negara ini ketika ada masalah keuangan akan menyelesaikan sesaui dengan prosedur ekonomi kapitalis. Yaitu ngutang dengan basis ribawi, membuka jalan investasi luar, menaikan pajak, dll. Maka Indonesia akan semakin sulit terlepas dari krisis ekonomi dan kemelaratan.

Oleh karena itu jeratan utang luar negeri tidak akan pernah usai tatkala negeri ini masih berpedoman pada aturan-aturan buatan manusia. Maka dari itu, sudah semestinya negeri ini untuk kembali menerapkan syariat Islam. Sebab Islam memiliki cara penyelesaian yang sangat komprehensif dalam menyelesaikan masalah. Cara yang komprehensif itu akan terlaksana ketika negara khilafah berdiri atau ditegakan.

Adapun cara praktis yang ditempuh oleh khilafah dalam mengatasi utang luar negeri sebelum khilfah tegak. Artinya utang ini terjadi sebelum ditegakannya khilafah yaitu :
Pertama, Khilafah memisahkan antara utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta (baik perorangan maupun perusahaan). Ini menyangkut siapa yang memiliki kewajiban membayar utang tersebut. Jika utang itu utang swasta, merekalah yang harus membayar. Sebaliknya, jika utang itu melibatkan penguasa sebelum munculnya Khilafah, maka Khilafah sebagai penguasa baru harus mengambil alih sisa cicilan pembayarannya.

Kedua, sisa pembayaran utang luar negeri hanya mencakup sisa cicilan utang pokok saja, tidak meliputi bunga, karena syariat Islam jelas-jelas mengharamkan bunga.

Ketiga, meskipun diwajibkan untuk melunasi sisa cicilan pokok utang luar negeri, Khilafah harus menempuh berbagai cara untuk meringankan bebannya dalam pembayaran, bisa dilakukan lobi agar pihak pemberi utang bersedia memberikan cut off (pemutihan). Jika langkah ini berhasil, berarti tidak lagi menjadi beban negara. Namun, bila cara ini gagal, untuk mengurangi tekanan beban pembayaran dalam interval waktu yang amat pendek, bisa diminta rescheduling (penjadwalan pembayaran utang yang lebih leluasa waktunya).

Keempat, utang sebelumnya, akan dibayar negara dengan mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh ‘rezim’ sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang diparkir di berbagai bank luar negeri, baik di Swiss, Kepulauan Cayman, Singapura dan lain-lain, akan dijadikan jaminan oleh negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri. Jumlah deposito harta kekayaan para penguasa Muslim yang zalim, yang ada di luar negeri saat ini, ‘lebih dari cukup’ guna memenuhi warisan utang luar negeri ‘rezim’ sebelumnya. 

Seandainya akumulasi deposito harta kekayaan mereka masih kurang untuk menomboki sisa utang, Khilafah harus mengambil-alih utang tersebut dan menalanginya dari pendapatan negara. Misalnya, bisa menggunakan harta yang berasal dari pos Jizyah, cukai perbatasan, atau badan usaha milik negara. Khilafah, sejauh mungkin menghindarkan penggunaan harta yang berasal dari pemilikan umat (seperti hasil hutan, barang-barang tambang, dan sebagainya) untuk pembayaran utang. Sebab, yang berutang adalah penguasa ‘rezim’ sebelumnya, bukan rakyatnya. (KH. Hafidz Abdurrahman).

Demikianlah langkah praktis yang dilakukan oleh negara khilafah untuk mengurai jebakan utang luar negeri dan sekaligus melepas diri dari belenggu dominasi asing terhadap negara Islam.

Wallahu a’lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post