Oleh: apt. Rahmadani, S.Farm.
Alumni Universitas Indonesia
Muncul berbagai
masalah dari kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19
yang prematur dan tidak terukur bukan hanya karena kelemahan
personal menteri. Selama pandemi ini, PJJ diambil sebagai solusi
aktivitas belajar mengajar kala pandemi yang dikeluarkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Mukarim. Ketersediaan layanan
internet yang tidak menjangkau seluruh wilayah, keterbatasan kuota, bahkan ada
yang sampai putus sekolah akibat PJJ ini.
Tidak ada
kurikulum khusus selama pandemi membuat para guru harus memutar otak agar
materi pembelajaran tetap tersampaikan. Begitu juga, tugas yang diberikan
kepada siswa menjadi berlipat ganda. Belum lagi tingkat stres orang tua
siswa meningkat. PJJ yang membuat jenuh akhirnya memunculkan permintaan agar
sekolah tatap muka dibuka. Pada saat pemerintah membolehkan sekolah tatap muka,
yang awalnya di zona hijau lalu ditambah di zona kuning, nyatanya bermunculan
berbagai klaster corona. Mahasiswa, guru, hingga pegawai sekolah dinyatakan
covid 19.
Pelaksanaan PJJ
selama beberapa bulan menjadi tidak
efektif membuat Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)
Retno Listyarti mengungkapkan alasan mengapa pihaknya memberikan nilai 55 untuk
kebijakan PJJ ini. Penilaian tersebut
dikeluarkan dalam rangka menyoroti kinerja Nadiem Makarim dalam setahun menjadi
Mendikbud sejak dilantik 23 Oktober 2019 lalu
Di satu sisi,
kelebihan kebijakan PJJ adalah mencegah sekolah jadi klaster Covid-19. Hal
tersebut patut diapresiasi karena Indonesia belum mampu mengendalikan pandemi
Covid-19 hingga saat ini. Namun, di sisi lain PJJ yang tidak didukung dengan
data yang komprehensif dan didasarkan pada kondisi daerah yang berbeda-beda.
Bahkan, pihaknya
juga melihat bahwa PJJ baru-baru ini telah memakan korban jiwa. Antara lain,
siswa SD yang dianiaya orang tuanya karena diduga sulit diajari saat PJJ daring
dan siswi SMA di Gowa yang bunuh diri juga karena diduga depresi dengan
tugas-tugas sekolah. Selain itu, kata Retno, tidak pernah ada pemetaan masalah
PJJ yang dilakukan Kemendikbud secara berjenjang dengan menggunakan data
terpilah. Apalagi setiap daerah bisa mempunyai problem yang berbeda. Salah
satunya soal jaringan yang sulit sehingga menyebabkan sekitar 30 persen anak
saja yang terlayani daring. Dengan demikian, bantuan kuota internet pun menjadi
tak berguna.
Misalnya di
wilayah Banten hanya 30 persen yang bisa mendapat sinyal. 70 persen tidak dan
PJJ masih diberlakukan. Langkah penanganan PJJ telah dilakukan justru tidak
didasarkan akan masala. FSGI sendiri menilai atas kebijakan-kebijakan Nadiem
Makarim selama menjabat sebagai Mendikbud dengan nilai kriteria ketuntasan
minimum (KKM) sebesar 75, sebagian besar nilai yang didapat Nadiem di bawah
rata-rata KKM yang ditetapkan FSGI sehingga ia pun mendapat rapor merah dari
organisasi tersebut.
Mendikbud Nadiem
Mukarim sendiri mengakui kebijakan PJJ tidak efektif tapi menurutnya tidak ada
opsi lain walaupun tidak ideal, tidak optimal.
Rapor merah
harus dialamatkan pada sistem pendidikan sekuler yang tidak sungguh-sungguh
berorientasi memberikan hak pendidikan pada generasi. Orientasi kapitalistik
sangat dominan mengarahkan lahirnya kebijakan yang tidak adil, tidak meriayah
dan mengabaikan aspek mendaar pembentukan kepribadian generasi.
Maka saat ini
diperlukan sebuah kebijakan yang disandarkan pada keselamatan dan keamanan
masyarakat karena saat ini pemerintah tidak mampu mewujudkan jaminan
pendidikan, keselamatan, maupun keamanan. Ketidakmampuan ini adalah efek
turunan dari kinerja rezim yang disetir oleh sistem kapitalisme yang hanya
menjadikan keuntungan materi tujuan utama setiap kebijakan dan asas manfaat
tolak ukut perbuatannya.
Pelayanan publik
seperti pendidikan menjadi bahan komersil dalam sistem kapitalisme. Kualitas
dari infrastruktur sekolah, SDM guru berbeda-beda setiap sekolah wajar jika berbagai
kendala muncul saat PJJ. Kendala dari teknis penunjang maupun proses transfer
materi. Kondisi seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Peran negara
akan hadir sebagai penjamin kebutuhan rakyat baik kebutuhan pokok maupun
kebutuhan dasar publik sperti pendidikan.
Negara akan
menjamin secara tidak tidak langsung negara akan memastikan ketersediannya
cukup dan mampu dijangkau oleh rakyat. Semua rakyat dapat menikmati fasilitas pelayanan
publik denga kualitas yang sama bahkan gratis. Jaminan pendidikan yang
diberikan negara meliputi jaminan gaji para guru/dosen/para pegawai, terkait
instansi pendidikan, beasiswa bulanan bagi setiap pelajar, penyediaan
infrastuktur serta sarana dan prasarana pendidikan akan dibiayai oleh negara
yang bersumber dari baitul mal.
Jaminan agar
terbentuk generasi yang berkualitas juga dipastikan dapat tercapai. Terealisasi
melalui penerapan kurikulum pendidikan yang bertujuan untuk membentuk
kepribadian Islam pada generasi sehingga output generasi yang dihasilkan adalah
generasi pejuang agamanya serta menguasai saintek sehingga bisa berkarya untuk
kemudahan kehidupan manusia.
Adanya usulan
untuk kurikulum sekolah akan memperhatikan konsep kreativitas. Sarana dan uslub
tidak bersifat tetap akan terus bekembang dan berkesinambungan. Pada masa
pandemi akan ada pemisahan antara orang yang sakit dan orang yang sehat
sehingga penyakit yang berada di wilayah sumber awal tidak menyebar ke wilayah
lainnya. Pelayanan kesehatan akan diberikan yang berkuaitas bagiwarga
terinfeksi maka aktivitas pendidikan dapat berjalan normal tanpa ada muncul
berbagai klaster baru.[]
Post a Comment