CILAKA RAKYAT AKIBAT DEMOKRASI DAN OLIGARKI



Oleh : Ana Mardiana

Indonesia diguncang aksi demonstrasi skala besar reaksi dari penolakan masyarakat atas disahkannya UU Omnibus Law dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Berbagai Tokoh masyarakat, Buruh, Ormas. Mahasiswa bahkan Kpopers turun ke jalan menyuarakan aspirasi dan menolak UU Omnibus Law. Berbagai elemen telah mengungkapkan berbagai masalah sebagai dampak dari disahkannya UU tersebut.

Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon meminta maaf karena tidak berdaya mencegah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Merespons ini, DPP Gerindra memastikan partai sudah menampung aspirasi rakyat. “Walau saya bukan anggota Baleg, saya pastikan perjuangan Gerindra menampung dan mengakomodir aspirasi rakyat sudah maksimal,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman kepada wartawan pada Rabu (detikNews.com, 7/10/2020).

Senada dengan hal tersebut, Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Presiden Joko Widodo mendengarkan penolakan UU Ciptaker dari sejumlah kalangan, khususnya para kepala daerah yang meneruskan aspirasi warganya. HNW mengingatkan meski Indonesia merupakan negara kesatuan, bukan negara federal, tetapi kedudukan daerah sangat penting dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

Berbeda dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyebut ketidakpuasan atas Omnibus Law UU Ciptaker bisa ditempuh secara konstitusional.

“Ketidakpuasan atas UU Ciptakerja bisa ditempuh dengan cara yang sesuai dengan konstitusi,” kata Mahfud dalam konferensi pers virtualnya (WE Online, 8/10/2020).

Adapun cara yang sesuai dengan konstitusi yang disampaikan Mahfud jika dirincikan sebagai berikut: melalui proses pembuatan peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan kepala daerah. Menurutnya, masyarakat juga dapat mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Lebih lanjut, Mahfud menyampaikan bahwasanya pemerintah amat menghormati ragam aspirasi yang telah disampaikan oleh masyarakat yang turun ke jalan. Dengan catatan, unjuk rasa tersebut dilakukan dengan damai dan tidak mengganggu ketertiban masyarakat umum.

Namun sebagian pihak berpendapat  bahwa pengajuan judical review di ragukan, sebab para hakim MK adalah orang yang dipilih oleh presiden dan DPR. Khawtirnya  pengajuan ini hanya sebagai formalitas saja agar sesuai dengan konstitusi namun di balik itu mereka tetap bersikukuh untuk mengesahkan UU Omnibus Law tersebut.

Demokrasi kapitalisme yang menyuburkan para politikus yang tidak pro rakyat, terlebih pemimpin yang seolah pro asing, pengusaha asing maupun lokal. Hal ini semakin membuat rakyat terpuruk. Gelombang penolakan rakyat tidak di apresiasi dengan semestinya. Kemana jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Apakah telah berganti menjadijjargon dari rakyat, oleh rakyat untuk penguasa dan para bergundalnya?. Dari draft UU omnibus law, kita bisa melihat betapa penguasa ini tidak pro pada rakyat terkhusunya kepada pada kaum buruh. UU omnibus law di nilai sebagai jalan melanggengkan oligarki.

Ini kesekian kalinya rakyat negeri ini menelan pil pahit, bahwa pemimpin dan wakilnya yang dipilih secara demokratis tidak sejalan dengan aspirasi rakyatnya sendiri. Inilah watak asli demokrasi yang menihilkan peran Tuhan dalam pengelolaan negara. Dan sebagai gantinya adalah keserakahan otak manusia dalam mengangkangi kekayaan alam ciptaan Al Khaliqul Mudabbir, dengan membuat aturan sesuai dengan syahwat politik dan kepentingan ekonomi para kapitalis (pemilik modal). Karena itu tidak heran jika berbagai UU dan peraturan terbit dalam sistem demokrasi yang justru berbeda secara diametral dengan aspirasi rakyatnya.

Inillah sistim demokrasi yang manjadi jalan melanggengkan oligarki. Akibat UU omnibus law yang di bacakan pada tengah malam, pada saat rakyat tertidur lelap, menyebabkan gelombang penolakan besar-besaran. Sebenenarnya disinilah  rezim dan para politikus berada dalam dilema, mengikuti aspirasi rakyat atau mengikuti kemauan para pemilik modal (kapitalis) yang telah mensponsori mereka dalam pemilu. Inilah politik dalam sistem demokrasi yang diterjemahkan sebagai strategi untuk meraih dan/atau mempertahankan kekuasan. Jadi orientasi politik demokrasi dari awal sudah bukan untuk rakyat, tetapi untuk kekuasaan, jabatan, yang untuk itu seseorang bisa meraihnya dengan dukungan para pemilik modal besar yang mendanai dirinya dalam kontestasi politik di wilayahnya.

Tentu donasi yang besar ini tidak diberikan cuma-cuma kepada politikus untuk sampai pada tampuk kekuasaan yang diinginkannya. Inilah akar masalah politik transaksional dalam sistem demokrasi. Adanya money politik dalam berbagai kontestasi dari pusat hingga pemilihan kepala desa, dalam sistem demokrasi merupakan sesuatu yang lumrah dan biasa. Bahkan menghilangkan money politik dalam sistem demokrasi menjadi sesuatu yang mustahil. dalam bahasa lain, demokrasi itu cacat sejak lahirnya.

Islam dengan sistimnya yang luar biasa mampu mencetak para peolitikus dan pemipin yang mumpuni, sebab islam mengedepankan ketaatan kepada Allah adalah bekal utama para politikus atau pemimpin sehingga mampu menjalankan, memelihara dan menjaga rakyat dengan baik. 

Berbeda halnya dengan demokrasi yang tidak independen sehingga memunculkan penjajahan di segala sektor melalui UU yang di pesan oleh  para pengusaha. Demokrasi yang samasekali gagal memenuhi hak rakyat. Demokrasi yang hanya menguntungkan segelintir orang dan mememiskinkan sebagian yang lainnya.

Sistim politik islam merupakan yang terbaik yang telah Allah anugerahkan kepada umat islam. Politik dalam bahasa Arab, berasal dari kata Siyasah, diambil dari kata “sasa-yasusu-siyasatan” yang berarti memelihara, mengatur, mengurusi. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah ra. Menyampaikan hadits dari Nabi SAW: “Dahulu Bani Israil dipimpin dan diurusi (tasusu) oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi wafat maka diganti oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku, yang ada adalah para khalifah dan mereka banyak” (HR. Bukhari).

Inilah esensi politik dalam perspektif Islam, yakni mengurusi urusan rakyat dengan hukum-hukum Islam dan jalan keluar dari setiap permasalahannya. Untuk mewujudkan misi menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat ini, tentu dibutuhkan kedaulatan negara secara utuh, tidak ada intervensi dari asing, aseng dan asong. Untuk itu Islam memberikan aturan kepemilikan yang jelas antara individu, masyarakat (umum) dan negara. Tidak semua sumber daya menjadi milik negara dan juga tidak semua sumber daya bebas dimiliki individu. Islam memberikan keleluasaan individu berkarya mendapatkan keuntungan materi sejauh hal itu bukan milik umum dan milik negara, dan Islam secara tegas mengharamkan individu menguasai kepemilikan umum dan faktor yang menguasai hajat hidup orang banyak. 

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Jadi kekayaan hutan, sumber mata air, energi dan faktor produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah sistem politik Islam yang bebas dari intervensi asing maupun imtervensi lokal.
Wallahu'alam

Post a Comment

Previous Post Next Post