UU Cipta Kerja Cacat Hukum, Kok Bisa?


Oleh: Ahyani R. 
(Pemerhati Sosial)

UU Cipta Kerja ditolak oleh Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI). Tidak hanya itu, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KRPI, Saepul Tavip, menyatakan akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan ditempuh apabila pemerintah bersikeras mengundangkan peraturan tersebut (republika.com, 07/10/2020).

KRPI mengungkapkan indikasi adanya cacat hukum dari UU Cipta Kerja. Pasalnya, hingga hari ini, baik Pemerintah, maupun DPR RI tidak menyampaikan kepada publik materi UU Cipta Kerja yang diputuskan di Paripurna. 

Sebelumnya KRPI telah menerima draft final RUU Cipta Kerja. Namun mempertanyakan keabsahannya. Sebab terdapat perbedaan isi draft final dengan keputusan rapat panja RUU Cipta Kerja, Minggu, 27 September 2020, di Hotel Swissbell Tangerang. Khususnya terkait klaster ketenagakerjaan. 

Artinya, isi draft final UU yang diberikan ke publik tidak sama dengan draft final yang ditetapkan DPR. Karenanya KRPI mempertanyakan apakah suatu RUU bisa disahkan sebagai UU tanpa ada draft final. Inilah indikasi kuat adanya cacat hukum dalam UU Cipta Kerja. 

Jika dirunut ke belakang, cacat hukum dalam UU hari ini bukan pertama kalinya terjadi. Sejumlah UU nyatanya cacat dalam implementasinya. Lihat saja UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN dan BPJS, dan sejumlah UU lainnya dibuat pemerintah untuk menguntungkan para pemodal bukan untuk rakyat. 

Slogan demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat", faktanya hanyalah isapan jempol tanpa realisasi. Aturan malah dibuat oleh segelintir elit parpol yang mengklaim diri sebagai wakil rakyat. Akhirnya, sarat ditunggangi berbagai kepentingan, terutama kepentingan para pemodal. Rakyat yang katanya pemilik kedaulatan justru menjadi korban kebijakan para "wakil"nya sendiri.

Begitu pula statemen bahwa aturan dalam demokrasi sesuai kehendak rakyat adalah ilusi. Rakyat hanyalah objek hukum para elit. Dibutuhkan hanya saat Pemilu digelar. Suara rakyat menjadi pengantar segelintir orang untuk meraih jabatan dan kekuasaan. Namun setelahnya, hak mereka dicampakkan demi kepentingan pemilik modal. Sungguh ironis.

Inilah konsekuensi logis dari penerapan sistem rusak yang menafikan peran agama dalam kehidupan. Hukum apapun yang dilahirkan dari sistem yang cacat hanya akan melahirkan aturan yang cacat pula. Selama akar persoalan ini tidak diganti, maka rakyat akan terus menjadi korban pengkhianatan. Kesejahteraannya hanya akan menjadi janji kampanye yang tidak akan diwujudkan.

Karenanya, patutlah firman Allah SWT berikut menjadi renungan kita. "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Wallahu a’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post