Oleh: Sri Puji Hidayati, M.Pd
(Aktivis Muslimah & Pendidik Generasi)
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja
(Ciptaker) akhirnya telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam sidang
paripurna oleh Pemerintah dan DPR pada hari Senin (5/10/2020). Disetujui oleh
tujuh fraksi yang ada dalam DPR, yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB,
PPP, PAN. Hanya ada dua fraksi yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja yaitu
Demokrat dan PKS. (waspada.co.id, 6/10/2020).
Pemerintah dan DPR seolah menutup mata dan
telinga, tidak bergeming. Mereka tetap mengesahkan UU ini meski banyak menuai
penolakan dimana-mana. Hal tersebut terjadi karena UU Cipta Kerja dinilai telah
menciderai hati rakyat, khususnya tenaga kerja atau buruh. Pada akhirnya para
buruh menggelar aksi mogok nasional, ditandai dengan adanya aksi-aksi demo yang
terjadi di berbagai wilayah. Dilansir dari tirto.id, 8/10/2020 Demo hari ini
meluas di banyak kota dan memanas. Ribuan mahasiswa, buruh dan aktivis menolak
pengesahan Omnibus Law UU atau Ciptaker.
Pengesahan UU Cipta Kerja dinilai oleh
berbagai pihak tidak mendesak atau urgen untuk segera disahkan, nampak terlalu
cepat dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ditambah lagi pengesahannya
diputuskan tanpa memperhatikan aspirasi penolakan dari publik. Selain itu,
Banyak elemen masyarakat yang merasa bahwa penguasa terlalu memaksakan
pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19.
Sungguh sangat disayangkan, ketika berbagai
persoalan dalam negeri ini menumpuk, seharusnya penguasa lebih fokus pada
penyelesaian masalah kesehatan akibat pandemi Covid-19 dan masalah-masalah
lainnya, seperti ancaman gelombang PHK yang semakin menjadi-jadi karena resesi
ekonomi. Di tengah kondisi pandemi Covid-19, rakyat membutuhkan jaminan atas
kesehatan, kepastian akan lapangan pekerjaan dan juga jaminan akan pemenuhan kebutuhan
hidup karena krisis yang terjadi akibat pandemi.
Namun, penguasa justru nekat mengesahkan
RUU di tengah gelombang kecaman masyarakat dan juga pengesahan RUU Cipta Kerja
ini tidak berkaitan dengan persoalan negeri. Selain RUU Cipta Kerja, penguasa juga
telah mengesahkan beberapa UU, seperti UU Minerba yang dinilai hanya
menguntungkan segelintir perusahaan raksasa penambang batubara. Sama halnya
dengan pengesahan UU Minerba, UU Cipta Kerja / Omnibus Law ini menampakkan
nafsu kaum oligarki atas negeri. Terdapat beberapa nama pengusaha besar yang
terlibat, seperti Ketua KADIN Rosan Roeslani yang ditunjuk oleh Menko
Perekonomian Airlangga Hartanto sebagai ketua satgas RUU Omnibus Law. Rosan
Roeslani merupakan pemilik perusahaan raksasa tambang batubara PT Berau Coal
Energy Tbk. Selain itu, terdapat nama Erwin Aksa selaku Komisaris Bosowa Grup,
James Riyadi dengan bisnisnya yang menggurita mulai dari properti, perbankan,
mall, media massa seperti Suara Pembaharuan, BeritaSatu dan lain sebagainya.
Wajar saja, jikalau sejak dari awal
pembahasan RUU Cipta Kerja ini memunculkan kecurigaan dari sejumlah kalangan
yang menganggap RUU Cipta Kerja dibuat demi kepentingan oligarki. Apalagi, jika
kita melihat isi pasal demi pasal. Kebijakan-kebijakan yang terdapat di dalamnya
tidak berpihak kepada rakyat, merugikan tenaga kerja dan hampir seluruh elemen
yang terkait, justru menguntungkan pengusaha. Kecurigaan semakin bertambah
besar, pada saat awal penyusunan RUU ini, sebelum disahkan menjadi UU,
pembahasannya dirahasiakan oleh penguasa. Draf dari RUU ini tidak bisa diakses
oleh publik. Selain itu RUU Cipta Kerja pun terkesan istimewa bagi penguasa,
mereka sampai menugaskan aparat-aparat negeri untuk mengantisipasi adanya
penolakan dari rakyat. Pada akhirnya, sejumlah kalangan, kelompok yang
mendiskusikan, mengkritisi tentang isi dari RUU tersebut mendapatkan intimidasi
dan teror. Padahal, banyak isi pasal yang merugikan dan mengancam kepentingan
rakyat.
Melihat dari awal sejak penyusunan,
pembahasan sampai pada pengesahan RUU menjadi UU. Penguasa begitu gigih
memperjuangkannya, bahkan sampai bersikap otoriter dan represif terhadap
kelompok yang kritis terhadap UU Cipta Kerja ini. Hal tersebut menunjukkan
bahwa oligarki mendapatkan tempat istimewa di negeri ini. Rakyat yang
seharusnya mendapatkan tempat istimewa oleh penguasa negeri, justru dijadikan
sebagai santapan lezat bagi para konglomerat.
Begitulah demokrasi yang sudah diterapkan
oleh penguasa hari ini. Demokrasi menjadikan penguasa lupa, bahwa rakyat adalah
tanggung jawabnya dan kelak nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
SWT atas periayahannya. Inilah politik transaksional yang dilakukan oleh
elit-elit penguasa pemerintahan di negeri ini. Ajang pesta demokrasi sebagai
jalan para elite parpol atau calon penguasa untuk duduk berkuasa di negeri ini
membutuhkan biaya selangit. Akhirnya, mereka melakukan kolusi dengan para
pengusaha. Hal ini legal dalam alam demokrasi. Saat penguasa sudah mendapatkan
jabatan kekuasaannya, saat itulah para penguasa membalas jasa budi kaum
oligarki. Dan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law inilah salah satu cara para
penguasa membalas jasanya kepada para investor politik. Penguasa tidak lagi
memperdulikan nasib rakyatnya, yang utama bagi penguasa hanyalah kelanggengan
kekuasaannya di negeri ini.
_Wallahua'lam bi ashshawab_
Post a Comment