Ujian Nasional Dihapus, Mampukah Wujudkan Pendidikan Berkualitas?


Oleh : Sadiah, S. Pd
Pendidik dan Ibu Rumah Tangga

Serangan wabah Covid-19 yang tidak tahu kapan berhentinya telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi dunia pendidikan. Sejak awal teridentifikasi, yaitu Maret 2020 pemerintah langsung mengambil kebijakan untuk meniadakan Ujian Nasional. Kemudian per tanggal 6 Oktober lalu UN resmi dihapus mulai tahun 2021 mendatang dan diganti dengan Asesmen Nasional.

Sebagaimana dilansir oleh media Kompas.tv (7 Oktober 2020) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud resmi menghapus Ujian Nasional (UN) pada tahun depan atau 2021. Sebagai gantinya, Nadiem Makarim memberlakukan Asesmen Nasional. Ia menjelaskan bahwa Asesmen Nasional tidak hanya dirancang sebagai pengganti Ujian Nasional, tapi juga sebagai penanda perubahan paradigma evaluasi pendidikan.

Lebih lanjut, Nadiem menjelaskan ada tiga aspek yang masuk dalam evaluasi Asesmen Nasional, di antaranya: pertama, Asesmen Kompetensi Minimum (AMK) yang dirancang untuk mengukur tingkat pencapaian siswa dari segi numerasi dan literasi. Kedua, Survey Karakter yang ditujukan untuk mengukur pencapaian siswa terhadap pembelajaran sosial-emosional. Ketiga, Survey Lingkungan Kerja yang dinilai dari kualitas pembelajaran di lingkungan sekolah.

Jika kita amati dengan seksama, perubahan metode evaluasi hingga perubahan kurikulum pendidikan bukan hanya terjadi saat ini saja. Seperti yang dikutip brilio.net dari kemendikbud.go.id ternyata selama ini Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali, terhitung dari sejak Indonesia merdeka. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013 dan 2015. Meskipun kurikulum sudah berganti beberapa kali, ternyata tak juga menemukan resep manjur untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Di samping itu, perubahan-perubahan ini bukan hanya membuat pendidik kelabakan, para pelajar pun seolah dikorbankan. Posisi mereka tak lebih dari kelinci percobaan. Pengajar dan pelajar harus siap beradaptasi dengan kebijakan baru dengan beragam konsekuensinya.

Dunia pendidikan di negeri ini memang sudah tampak bermasalah. Permasalahan itu bukan hanya menyangkut kurikulum dan metode evaluasi saja. Tetapi mulai dari visi, misi, hingga tujuan pendidikan. Bahkan tidak hanya pada tataran konsep, tetapi hal yang teknis pun demikian.

Oleh karena itu, pergantian metode evaluasi pendidikan sebagaimana yang ditetapkan Nadiem, yakni Asesmen Nasional dipastikan tidak menjamin perubahan output pendidikan. Ada tidaknya UN tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap capaian hasil belajar bagi peserta didik. Sebab, selama paradigma kapitalis sekuler masih dianut maka perubahan kurikulum berapa kali pun tidak akan memberikan pengaruh untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan outputnya. Dan sepanjang bangsa ini masih menggunakan sistem kapitalis  sekuler maka pendidikan negeri ini tetap bermasalah.

Sistem kapitalis sekuler mengarahkan tujuan pendidikan hanya berorientasi pada nilai yang bersifat materi saja. Para guru dan tenaga kependidikan pun disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administratif, dengan target-target capaian tertentu. Sehingga pada akhirnya tidak fokus dalam mendidik, tidak lagi sempat memikirkan bagaimana membentuk kepribadian yang mulia, yang penting target pembelajaran tercapai, dengan memberikan materi yang hanya bersifat teoritis belaka.

Maka tak heran jika pada akhirnya generasi bangsa saat ini sama sekali tidak memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap lulusan yang dihasilkan. Justru sebaliknya moralitas generasi muda semakin jauh dari nilai dan adab.

Berbeda dengan Islam. Dalam Islam pendidikan adalah hak bagi rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Sistem pendidikan Islam memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, sistem pendidikan Islam dibangun di atas landasan akidah Islam. Kurikulum yang dibuat harus sejalan dengan ruh Islam, sesuai arahan syara' yakni aturan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Sehingga terwujud syakhsiyah Islamiyah  (kepribadian Islam) pada diri siswa dan siswinya.

Syakhsiyah Islamiyah sebagai output pembelajaran dalam dunia Islam mampu mewujudkan generasi cemerlang dalam peradaban gemilang. Bahkan mampu melahirkan sosok-sosok mujtahid sekaliber Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Hambali, asy-Syafi'i juga ilmuwan muslim seperti al-Farabi, al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, al-Kindi dan sebagainya.

Selain itu, kurikulum yang disusun berbasis akidah Islam. Di dalamnya tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu kehidupan. Dengan paradigma ini, pendidikan berjalan secara berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan. Baik dari perangkat materi pelajaran, metode pembelajaran, strategi belajar, dan evaluasi belajar. Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tidak akan ada gonta-ganti kurikulum layaknya sistem kapitalis seperti saat ini.

Kedua, evaluasi pendidikan dalam sistem pendidikan Islam sangat handal dan dilakukan  secara komprehensif untuk mencapai tujuan pendidikan. Ujian umum diselenggarakan untuk seluruh mata pelajaran yang telah diberikan. Ujian dilakukan secara lisan (munadharah) dan tulisan. Ujian lisan merupakan teknik ujian yang paling sesuai untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa dalam memahami pengetahuan yang telah dipelajari.  Di samping itu, ada ujian praktek pada keahlian tertentu. Siswa yang naik atau lulus harus dipastikan mampu menguasai pelajaran yang telah diberikan dan mampu mengikuti ujian sebaik-baiknya. Sehingga siswa yang dinyatakan naik atau lulus adalah mereka yang betul-betul telah memiliki kompetensi ilmu pengetahuan yang telah dipelajari dan memiliki syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam).

Ketiga, fasilitas pendidikan yang memadai. Semua jenjang pendidikan harus memiliki fasilitas yang sama. Agar semua peserta didik di setiap wilayah dapat menikmati fasilitas pendidikan. Semua itu menjadi tanggung jawab negara selaku penyelenggara pendidikan.

Negara wajib menyediakan fasilitas (sarana dan prasarana) pendidikan yang cukup dan memadai agar proses KBM (kegiatan belajar mengajar) berjalan maksimal, seperti gedung-gedung sekolah, buku-buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium, balai-balai penelitian, dan lain sebagainya.

Keempat, guru dan tenaga pengajar profesional. Khilafah berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.

Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar (setara Rp45 juta) tiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari baitul mal.

Kelima, pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitul mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyahamah. Seluruh pemasukan negara baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyahamah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan.

Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitul mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka negara Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim.

Demikianlah sekilas pandang tentang sistem pendidikan dalam Islam. Keunggulan serta keberhasilan pendidikan dalam mencetak generasi yang hebat dan berkepribadian mulia. Semua itu hanya akan terwujud jika Islam diterapkan dalam kehidupan dan  bersinergi dengan peran negara yang menaunginya, yaitu Khilafah Islamiyah. Dengan itu akan terwujud kembali sistem pendidikan Islam sebagai sistem pendidikan terbaik untuk generasi umat terbaik.

"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (TQS. Ali Imran: 110)

Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post