(Mahasiswi, Komunitas Annisaa Ganesha)
“Apakah anak-anak yang dipakaikan #jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan?”. Media asal Jerman Deutch Welle (DW) mendapat banyak hujatan sejumlah tokoh dan masyarakat karena membuat konten video yang membahas tentang sisi negatif dari anak yang dipakaikan jilbab sejak kecil. Dalam videonya, DW mewawancarai seorang psikolog bernama Rahajeng Ika yang mengatakan bahwa anak-anak menggunakan atau memakai sesuatu tapi belum paham bentul konsekuensi dari pemakaiannya. Rahajeng Ika juga menambahkan bahwa masalah akan muncul jika anak tersebut bergaul dengan teman-temannya, kemudian mempunyai pandangan yang mungkin berbeda. Menurutnya, anak-anak akan mengalami kebingungan apakah dengan dia memakai pakaian seperti itu (jilbab) berarti dia punya batasan tertentu untuk bergaul. Tak berhenti sampai di situ, DW dalam videonya juga mewawancarai seorang feminis bernama Darol Mahmada. Darol Mahmada ternyata khawatir bahwa pemakaian jilbab kepada anak sejak kecil akan membawa pola pikir si anak menjadi eksklusif karena dari sejak kecil dia ditanamkan untuk misalnya “berbeda” dengan yang lain. Diserang oleh banyak netizen, DW membela diri dan malah menyatakan bahwa konten video yang dibuat sudah berimbang, imparsial, dan akurat.
Fenomena seperti ini semakin sering terjadi, media liberal kembali menyerang ajaran Islam. Pendidikan ketaatan dalam berpakaian saja dipermasalahkan, dianggap pemaksaan, dan dikatakan berakibat negatif bagi perkembangan anak. Kebebasan menjadi teori yang diagung-agungkan, kaum liberal terus berusaha membentuk opini di tengah-tengah umat bahwa penerapan Islam hanya akan menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Mereka menghembuskan opini bahwa pembiasaan berhijab sejak dini oleh orang tua adalah bentuk pemaksaan yang akan mempengaruhi kondisi sang anak. Padahal pembiasaan bukanlah sebuah pemaksaan, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya dan menanamkan akidah agar keimanan menancap di dalam dada anak-anak mereka. Orang tua memegang peran penting dalam hal pembiasaan dan penanaman akidah. Jika keluarga dibaratkan sebagai sebuah kendaraan dengan anggota keluarga diibaratkan sebagai penumpangnya, maka orang tua adalah navigatornya. Orang tualah yang berperan menentukan kemana kendaraan itu melaju, seberapa lama perjalanan yang di tempuh, dan juga apa yang akan dilakukan setelahnya. Pembiasaan yang dianggap sebagai pemaksaan ini menjadi narasi jahat yang tidak masuk akal.
Islam memang agama yang berbeda dengan agama yang lainnya. Akidah Islam melahirkan peraturan yang wajib ditaati sebagai konsekuensi untuk para pemeluknya. Oleh karena itu, jika akidah sudah tertancap dalam dada anak-anak, maka menjadi sebuah hal yang wajar jika orang tua memahamkan kepada anak-anak mereka bahwa hijab bukanlah pilihan, melainkan sebuah kewajiban. Terlebih lagi, anak-anak yang belum baligh tentu belum terkena beban taklif. Artinya memang belum ada bagi mereka kewajiban untuk menutup seluruh auratnya. Orang tua hanya melakukan
pembiasaan karena mereka memahami bahwa ketaatan harus ditanamkan sejak dini dan kesolehan bukanlah sebuah hal yang instan. Pembiasaan dan pemahaman yang diberikan sejak dini adalah bentuk tanggung jawab orang tua karena kelak orang tua akan dimintai pertanggungjawaban atas anak-anak mereka. Hal ini menjawab pernyataan keliru bahwa pembiasaan berhijab adalah sebuah pemaksaan.Islamofobia semakin jelas menjadi wabah di negeri ini. Alih-alih memuliakan ajaran agamanya, negeri muslim terbesar di dunia ini penguasanya justru terus-menerus mengkampanyekan Islam sebagai agama yang intoleran. Sekadar mendidik anak-anaknya dan membentuk kepribadian Islam di dalam diri mereka saja dipermasalahkan. Isu radikalisme terus dihembuskan seolah sedang membangun opini di tengah umat bahwa Islam kaffah adalah musuh yang membahayakan. Hal ini seharusnya membuka mata umat Islam, bahwa negeri ini masih dalam lingkaran sekuler kapitalis yang memisahkan agama dengan kehidupan. Hal seperti ini tidak akan muncul jika negara menjalankan peran ri’ayah terhadap masyarakat sesuai tuntutan syariat. Pendidikan dengan dasar akidah Islam akan dijalankan, dengan tujuan membentuk kepribadian Islam. Negara berperan menjaga akal masyarakatnya dari pemahaman yang sesat. Namun, hanya negara yang menerapkan sistem Islam secara menyelurulah yang mampu melakukan hal tersebut, karena Islam mewajibkan negara untuk menerapkan syariat Islam kepada warga negaranya. Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh akan menjadi benteng pertahanan yang kuat untuk melindungi warga negaranya dari pemahaman yang sesat.
Post a Comment