RUU Cipta Kerja disahkan tanggal 5 Oktober kemarin. Pengesahan ini mengundang reaksi publik yang luar biasa di berbagai daerah. Tiga hari pasca disahkannya UU ini, demonstrasi terus terjadi. Tuntutannya tak lain Omnibus Law yang telah disahkan DPR RI dan Pemerintah, dicabut kembali. Di pusat pemerintahan, demonstrasi juga tak kalah riuhnya. Buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat sipil sesak memenuhi Istana negara dan DPR RI. Ribuan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Satpol PP bakal diterjunkan mengamankan demo tolak Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di wilayah DKI Jakarta, Kamis (8/10). (CNN Indonesia, 8/10)
Perjuangan ini tampaknya akan terus berlanjut, walaupun sudah ada konferensi pers langsung dari Presiden yang menjawab beberapa hoax seputar UU Ciptaker. Namun ternyata tetap direspon dengan bantahan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (10/10/2020) sebagaimana yang dirilis Kompas.com, "Terkait dengan beredar di tengah masyarakat mengenai hoaks tentang 12 poin permasalahan sekitar Omnibus Law UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang tidak sesuai dengan faktanya."
Banyak pakar yang menyampaikan bahwasanya draft UU ini cacat prosedural. Bagaimana tidak, sampai sidang berlangsung dan berakhir putusan tanggal 5 Oktober lalu, draftnya masih belum final. Sebagaimana yang disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar yang menyoroti cacat prosedural pembentukan Undang-undang atau UU Cipta Kerja. Menurutnya, Omnibus Law merupakan bukti Pemerintah dan DPR tidak serius dalam membuat produk hukum (Tempo.co, 8/10/20).
UU Cipta Kerja: Memuluskan Investor Asing
UU Cipta Kerja disinyalir memuluskan investor asing untuk masuk ke Indonesia. Hal ini diaminkan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani yang mengklaim sejumlah investor, baik dari dalam maupun luar negeri sudah siap masuk ke Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Ia menyebut UU Sapu Jagat tersebut sudah lama dinanti oleh investor untuk bisa masuk ke dalam pasar Indonesia. Apalagi di tengah lesunya perekonomian akibat pandemic Covid-19. (cnbcindonesia.com, 6/10/20)
Sebelum adanya UU Cipta Kerja saja, investor begitu tamak melahap sektor-sektor yang jadi sumber kekayaan mereka. Apalagi pasca disahkannya UU Cipta Kerja ini. Sudah bisa dipastikan bagaimana bergairahnya mereka mengupayakan untuk terus merangsek ke negeri ini. Bak gayung bersambut, pemerintah RI sudah membuat sejumlah Kawasan industri sebagai lahan baru bagi perusahaan-perusahaan yang bakal masuk.
Semakin banyak investor masuk ke Indonesia, bukan tidak mungkin akan semakin banyak sumber daya alam yang dikuasai para investor. Rakyat? Cukup gigit jari saja dengan berbagai kebijakan yang sungguh tak menguntungkan rakyat. Bau-bau aroma bisnis sudah sangat tercium di negeri ini. Pemerintah begitu memanjakan para Kapitalis, tapi begitu mengabaikan rakyat jelata.
Regulasi hanya tertuju pada korporasi semata, tapi menihilkan rakyat jelata. Rakyat seolah mengundi nasib di negeri sendiri, tanpa ada jaminan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Sumber-sumber kekayaan dikuasai segelintir elite pengusaha juga elite politik. Sumber penghidupan rakyat, raib tergantikan oleh para kapitalisme (monopoli dan oligopoli).
Dalam Kapitalisme, sumber kepemilikan tak ada pembatasan. Selama ia mengendalikan modal, selama itu pula ia bebas menguasai komoditas tertentu. Sekalipun komoditas primadona yang menjadi hajat hidup orang banyak. Semua bisa dimiliki tanpa reserve, hingga tak heran jika 49% kekayaan orang Indonesia hanya dikuasai 1% orang terkaya di negeri ini saja. (COWASJP.com, 17/8)
Hal ini berbeda secara diametral dengan Islam. Dalam Islam, sumber kepemilikan dibatasi dalam tiga konsep kepemilikan. Yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Komoditas primadona tambang, seperti batu bara hakikatnya menjadi kepemilikan umum. Haram hukumnya negara mengalihkan pada korporasi. Hal ini sudah ditegaskan oleh Rasulullah saw., “Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Negara hanya memiliki kewenangan untuk mengelola, mengatur produksi dan mendistribusikan aset-aset tersebut untuk kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan para kapitalis. Kepemilikan umum yang terdapat dalam negara tersebut dikelola oleh negara kemudian hasilnya didistribusikan untuk kemaslahatan rakyat. Misal, dalam pengelolaan barang tambang, negara bisa mengolahnya sendiri atau dijual ke luar negeri dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer rakyat. Yakni, sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Dalam ranah teknis, hasil penjualan tersebut bisa dialokasikan untuk membangun infrastruktur, membangun layanan pendidikan sehingga rakyat bisa mengenyam pendidikan dengan harga terjangkau bahkan gratis. Layanan kesehatan dengan pelayanan prima dengan gratis, dsb. Hal ini hakikatnya sudah diatur dalam Islam dan sudah dicontohkan pada masa kekhilafahan terdahulu. Lantas, patutkah kita tetap bergelimang dalam sistem Kapitalisme?
Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita mengarahkan pandangan kita ke sebuah sistem yang berasal dari wahyu. Sistem yang menerapkan Islam secara komprehensif. Yang tidak hanya mengayomi kaum muslim saja, melainkan memberikan kesejahteraan untuk nonmuslim yang hidup di dalamnya. Bi idznillaah, InsyaAllah. []
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Post a Comment