Problem Infrastruktur dalam Sistem Kapitalis


By : Umi Lia
Ibu Rumah Tangga Cileunyi Bandung

Khalifah Umar berkata : “Andaikata ada seekor hewan di Irak kakinya terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku kenapa tidak mempersiapkan jalan tersebut (menjadi jalan yang rata dan bagus).”

Pembahasan infrastruktur adalah pembahasan yang menarik karena merupakan salah satu hal yang menunjang hajat hidup masyarakat. Perbincangan mengenai hal ini terus digulirkan untuk menyelesaikan permasalahan infrastruktur yang tak kunjung usai bahkan kian bertambah rumit setiap harinya. Saat ini masyarakat diresahkan dengan sejumlah kerusakan infrastruktur dan permasalahan lainnya yang tak kunjung terselesaikan. Kerusakan infrastruktur terjadi di berbagai pelosok negeri, salah satunya di Kabupaten Bandung. Banyak infrastruktur di Kabupaten Bandung yang perlu pembenahan.

Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bandung, Yanto setianto, memandang banyak infrastruktur perlu pembenahan dan perhatian pemerintah. “Akibat ada penolakan, anggaran menjadi tidak terserap, pembangunan juga jadi terhambat,” tutur Yanto. Terlebih, penganggaran dalam bidang infrastruktur, Yanto menyontohkan jalan yang masih belum rampung 100%. Selain itu banyak hal lain yang perlu mendapat perhatian seperti penyelesaian banjir yang diakibatkan oleh saluran drainase. (Ayobandung.com, 9/10/2020)

Di sistem demokrasi kapitalis, anggaran diajukan oleh eksekutif atau pemerintah daerah kepada DPRD, kemudian dirapatkan setelah itu baru ada keputusan disetujui atau tidak. Jika ditolak maka akan memerlukan waktu untuk merevisi sehingga bisa disetujui. Dan akhirnya, anggaran tidak terserap, pembangunan terhambat. APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh DPRD, APBD diterapkan dengan peraturan daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun dari 1 Januari-30 Desember. (Wikipedia.org)

Wakil Menkeu, Mardiasmo, mengatakan proyek infrastruktur di daerah saat ini masih sangat bergantung pada dana transfer yang bersumber dari APBN. Ketergantungan ini terlihat dari terus meningkatnya dana transfer ke daerah pada tahun 2019 yang mencapai Rp 826,77 triliun atau setara dengan 38% dana APBN. Dengan demikian implementasi Otda dan desentralisasi fiskal di Indonesia belum bisa disebut berhasil. Padahal program ini secara resmi dijalankan sejak awal reformasi tahun 2001. (Tempo.co, 11/7/2019)

Apapun kondisinya, infrastruktur memang harus jadi prioritas. Apalagi sekarang memasuki musim penghujan, jangan sampai di Kabupaten Bandung banjir terjadi lagi hanya karena infrastrukturnya yang belum dipersiapkan untuk menghadapinya. Kerusakan infrastruktur  mengakibatkan rakyat tidak bisa mendapatkan hak dalam akses pelayanan publik, bahkan bisa bermunculan permasalahan-permasalahan lainnya, seperti kriminalitas dan depresi sosial. Di Kabupaten Bandung, daerah-daerah yang sudah menjadi “langganan” banjir penyebabnya adalah buruknya sistem drainase dan sanitasi, sampah yang menumpuk di sungai, letak kota yang lebih rendah, kiriman banjir dari kota sekitarnya, dan bahkan ada media yang menuliskan hujan penyebab banjir ini.

Adapun terkait pembangunan infrastruktur bisa dikatakan semakin menambah masalah baru. Hal ini dikarenakan dana yang dikeluarkan merupakan hasil pinjaman atau kerja sama dengan berbagai lembaga keuangan dunia. Keberadaan investor swasta nasional dan asing selalu diharapkan untuk bisa membantu pembangunan infrastruktur. Inilah kesalahan mendasar yang terus terjadi. Dalam penyusunan APBN pun demikian, ada kekeliruan paradigma yang tercermin dalam dua hal yaitu: pertama dianutnya konsep anggaran berimbang/defisit. Kedua, liberalisasi ekonomi.

Permasalahan infrastruktur sangat terkait dengan tata kota, pendidikan, ekonomi, sosial, pertahanan keamanan dan tentunya sistem yang diterapkan oleh suatu negara. Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini diperkuat dengan definisi sistem infrastruktur yaitu fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat, (Grigg, 2000). Dengan demikian permasalahan banjir bukan hanya masalah teknis, karena terkait dengan infrastruktur, dan tentunya bukan hanya masalah infrastruktur semata karena infrastruktur merupakan faktor pendukung saja dari sistem. Oleh karena itu akar masalah sesungguhnya adalah penerapan sistem kapitalisme.

Berbagai permasalahan muncul karena tindakan manusia sendiri, yang bermaksiyat. Setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa dan setiap dosa pasti menimbulkan kerusakan (fasad). Oleh karena itu sudah saatnya umat Islam bertaubat, kembali kepada aturan Allah, menjalankan syariat-Nya secara total serta mewujudkan negara mandiri yaitu Khilafah Islamiyah. Khilafah ini akan menerapkan sistem ekonomi, politik, pendidikan, sosial yang berdasarkan akidah Islam dan terintegrasi satu sama lain. Khilafah akan mengelola sumber daya alam dan mengembalikan hasilnya dalam berbagai bentuk pelayanan publik yang menjadi hak umat. Itu semua dilakukan sebagai wujud kewajiban dan tanggung jawab Khilafah untuk mengurusi urusan umat. Negara berfungsi sebagai pelaksana syariat Islam dan menjamin kebutuhan setiap warga negaranya.

Konsep infrastruktur negara Khilafah memperhatikan tiga prinsip. Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara, dan tidak akan diserahkan ke swasta. Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi masalah di kemudian hari, sehingga menghemat biaya. Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki.

Menjadikan rakyat sejahtera wajib bagi negara Khilafah. Kesejahteraan tidak akan muncul jika tidak terpenuhi sarana dan prasarana menuju kesejahteraan. Salah satunya adalah infrastruktur ini, untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Karena itu adanya infrastruktur yang bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri menjadi wajib hukumnya. Kewajiban ini  harus diwujudkan oleh Khilafah.

Berbekal spirit kewajiban inilah, di dalam buku The Great Leader of Umar bin Khattab, halaman 314-316, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab menyediakan dana khusus dari Baitu Mal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua hal ihwal yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Tentu dana ini bukan dari dana utang/dari investor.

Walhasil, secara politik negara Khilafah didedikasikan untuk melayani masyarakat, sebab secara hakikat politik Islam adalah ri’ayah su’unil ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam. Ini adalah fakta, karena negara Khilafah pernah berjaya selama 13 abad lamanya, dan seharusnya membuat kita rindu untuk kembali lagi daripada mempertahankan sistem kapitalis sekuler. Apa yang membuat kita bertahan di sistem yang terbukti gagal menyejahterakan rakyat ini?

Wallahu a’lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post