Timbang Deli
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Berstandar pada halal,haram adalah harapan dan kewajiban setiap muslim, sehingga dibutuhkan sertifikasi halal sebagai bentuk jaminan keamanan kaum Muslim dalam menggunakan suatu produk.
BISNIS.COM JAKARTA
Rancangan undang-undang cipta kerja yang baru saja di sahkan Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) menimbulkan polemik dari sejumlah sisi, salah satunya mengenai sertifikat halal.
Gelombang penolakan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja terus menerus datang dari berbagai pihak,bukan hanya datang dari kalangan Mahasiswa atau sertifikasi buruh saja.tetapi Nahdlatul ulama (NU) pun ikut memberikan tanggapannya soal poin-poin yang terdapat dalam Omnibus Law atau UU Cipta Kerja.
Kali ini penolakan Nahdlatul ulama (NU) tertuju pada sertifikasi halal dalam UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Ketua umum pengurus besar Nahdlatul ulama (PBNU) KH said Aqil Siradj,soroti kelonggaran sertifikasi halal dari aspek syariah sebagai dampak dari pemberlakuan UU Cipta Kerja.
Jakarta- Fraksi PPP DPR RI menyatakan keberatan atas penghapusan pasal dalam Undangan-Undang (UU) Jaminan Halal yang mewajibkan semua produk di Indonesia bersertifikat halal.PPP menegaskan sudah sepatutnya penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam mengikuti ajaran agamanya.
Wakil presiden RI Ma'aruf Amin berkata bahwa pengembangan kawasan industri halal merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia.karena selama ini Indonesia berkutat sebagai penikmat barang dan jasa halal.(Liputan6.com)
Anggota komisi Fatwa MUI,Aminudin Yakub menilai bahwa kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamarkan dengan satu produk dengan produk lainnya.
Ada beberapa poin penting yang disori dalam UU Cipta Kerja berkenaan dengan sertifikasi halal. Dilansir dari rri.co.id,(14 /10/2020) diketahui, ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertuang di UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Pertama, persyaratan auditor halal.Dalam pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksaan Halal (LPH).Ada sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH.
Namun, pada UU Cipta Kerja, persyaratan poin (f) yaitu,memperoleh sertifikat dari MUI ditiadakan.sehingga, dalam pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.
Kedua, pengurangan kewenangan MUI.Dalam UU Cipta Kerja,MUI bukan pemain tunggal fatwa halal.Berdasarkan Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal dapat dilakukan oleh ormas Islam dan perguruan Tinggi Negeri.pelaku usaha skala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikat halal.Ini karena sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah,(sindonew.com,2/10/2020).
Ketiga, terkait sandi administrtif.UU JPH mengatur jenis sanksi administratif yang di terima jika tidak melaksanakan ketentuan sertifikasi halal.Sanksi dijatuhkan sesuai pelanggaran yang dilakukan.
Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, sanksi administratif tidak dijelaskan lebih lanjut berikut jenis pelanggarannya (detik.com,6/10/2020).
MUI berperan sebagai salah satu lembaga rujukan umat muslim termasuk terkait sertifikasi halal suatu produk.Namun, tampaknya penerapan UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja akan menggeser peran MUI.BPJPH diberi ruang, dan pihak lain berpeluang dalam menerbitkan sertifikat halal yang selama ini berjalan ketat ternyata mengusik para pelaku bisnis.
Sebagai kalangan menilai sertifikasi halal yang selama ini dijalankan MUI sebagai ladang bisnis dalam bentuk monopoli label halal. Pengelolaan dana hasil sertifikasi halal dinilai tidak transparan.Di samping itu, pelaku usaha mikro juga ada yang mengeluhkan mahalnya biaya sertifikasi.sulit dipungkiri, produk pangan halal saat ini menjadi lahan bisnis yang sangat menggiurkan.
Menurut Indonesia Halal Economy and Stategy Rosdmap yang dirilis Indonesia Halal Lifestyle Centre,konsumen produk halal di Indonesia menghabiskan biaya sampai US$214 miliar pada 2017.
Bisnis kuliner dan budaya konsumerisme belakangan menjadi habits yang mengubah pola hidup masyarakat.Ditambah, tayangan media yang menyajikan berbagai menu kuliner yang menggiurkan (Matakita,12/8/2019).
Potensi inilah yang tampaknya dilihat pemerintah sebagai peluang investasi. Bahkan,konnn alasan lahirnya Omnibus Law untuk meniadakan segala penghambat investasi.Termasuk industri pangan bersertifikat halal, pakaian halal, wisata halal dan segala hal berlabel halal makin banyak diminati masyarakat.
Pemerintah telah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia tahun 2019-2024 yang bertujuan untuk melakukan pengembangan sektor riil ekonomi syariah atau yang dikenal dengan industri halal,(Kompas.com,19/08/2020)
Demikianlah watak pengambilan kebijakan dalam kapitalis yang berorientasi pada kemudahan investasi bahkan mengabaikan standar halal.
Didalam sistem kapitalisme yang tidak berstandarkan halal dan haramnya suatu perbuatan melainkan manfaat dan materi.
Apabila suatu negara masih menganut sistem buatan manusia yang berdasarkan timbangan akal manusia yang lemah dan terbatas, yang pro kepada pemilik modal, menguntungkan
segelintir pihak yaitu korporasi, berbeda dengan sistem Islam yang hukumnya berasal dari sang pencipta yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Negara adalah pihak yang bertanggung jawab memberikan jaminan tersebut kepada rakyatnya.sebab dalam Islam, negara adalah pengurus dan penanggung jawab urusan ummat, negara mengambil peran sentral untuk menjamin mutu dan kehalalan barang.
Untuk itu dalam proses sertifikasi halal sebuah produk, negaralah yang akan menjaminny bahkan gratis, bukan dijadikan ajang bisnis. Biaya yang dibutuhkan untuk sertifikasi halal akan di ambil dari Baitul maal.
Dengan begitu produsen dapat memperoleh sertifikat halal tanpa terbebani biaya tinggi.
Jaminan produk halal akan di lakukan mulai dari bahan-bahan utama dan bahan tambahan yang digunakan, proses produksi , alat-alat yang digunakan, proses pengemasan hingga distribusi sampai ke tangan konsumen.semuanya akan melalui inspeksi yang ketat untuk menghindarkan dari pencemaran zat-zat haram.
Tentu saja auditor-auditor yang dipilih untuk melakukan pemeriksaan harus memiliki kompetensi yang telah disertifikasi sesuai syariah, agar hasilnya benar-benar tidak diragukan. Penerbitan sertifikat halal akan di keluarkan setelah dilakukan pengkajian dari hasil pemeriksaan hingga diperoleh fatwa kehalalan produk.
Dengan begitu konsumen tidak perlu bingung dalam memilih produk halal,sebab negara memberikan kepastian bahwa barang-barang yang beredar adalah halal.Bahkan negara dalam sistem Islam juga akan memastikan produk haram tidak dijual bebas sehingga menambah ketenangan ummat Islam.
Pemberian jaminan produk halal oleh negara disertai pula dengan pemberlakuan sanksi pada setiap pelaku usaha yang memproduksi atau memperjual belikan barang haram, maupun konsumen muslim yang menggunakannya.Sanksi yang diberikan dapat berupa sanksi moral dan fisik.
Islam memerintahkan makan makanan halal lagi baik dan tidak berlebihan.
Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwo kepada Allah yang kamu beriman kepada-nya (QS Al Maidah:88).
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS.Al-Baqarah:168).
Perintah untuk memilih makanan yang halal lagi baik telah di nashkan didalam Al-Qur'an.sehingga , kehalalan suatu produk menjadi bagian dari keimanan dan ketaatan kepada Allah. Bukan hanya sebatas pada label,cap ataupun sertifikasi semata karena dibutuhkan oleh kaum Muslim adalah kesesuaian suatu produk dengan petunjuk Al-Qur'an ataupun As-sunah.
Wallahu,alam bishawab.
Post a Comment