By Yulia Putbuha
Pemerintah beserta komisi II DPR RI dan penyelenggara Pemilu sepakat gelar Pilkada pada 9 Desember 2020, dan 26 september kemarin sudah memasuki tahap kampanye. Menteri dalam negeri Tito Karnavian optimistis tahapan kampanye Pilkada2020 akan berjalan dengan baik dan aman dari penyebaran Covid-19 (Kompas.com,2/10/2020).
Menyikapi hal tersebut Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD paparkan alasan pilkada tetap dilaksanakan. Menurutnya alasan Presiden Joko Widodo tetap melaksanakan Pilkada dimasa pandemi Covid-19 adalah untuk menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Menurut Mahfud hal itu sesuai dengan agenda yang diatur oleh undang-undang. Menurutnya keputusan tersebut diambil setelah Presiden melakukan pertemuan secara khusus dengan pimpinan lembaga dibidang Polhukam (REPUBLIKA.co.id,24/09/2020).
Namun, sejumlah pihak meminta kepada pemerintah RI untuk membatalkan penyelenggaraan Pilkada pada 9 desember nanti, karena kondisi yang terjadi belakangan ini penularan Covid-19 disetiap daerah semakin massif.
Dikutip dari Kompas.com (21/9/2020), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama(PBNU) meminta supaya pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 ditunda. Selain NU, Pimpinan Pusat(PP) Muhammadiyah juga meminta pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dimasa pandemi Covid-19
ditunda.
Pro dan kontra terkait kebijakan pemerintah ini akhirnya menimbulkan polemik di tengah pandemi yang sedang terjadi di tanah air. Jika kita lihat, kasus Covid-19 di Indonesia terus mengalami peningkatan signifikan dan belum ada tanda-tanda penurunan. Satuan tugas penanganan Covid-19 melaporkan kasus terkonfirmasi positif bertambah 3.992 orang, pada Ahad 4 Oktober 2020. Dengan demikian, total kasus positif Covid-19 sudah mencapai 303.498 orang (TEMPO.co,4/10/2020).
Jika Pilkada tetap dilaksanakan itu artinya resiko penularan virus covid-19 semangkin tinggi. Alih-alih memutuskan mata rantai virus, yang terjadi justru pemerintah berkontribusi dalam penyebarannya. Bahkan, meski tahapan penyelenggaraan Pilkada baru dimulai, kini sejumlah penyelenggara dinyatakan tertular Covid-19. Ini menandakan bukti bahwa masih lemahnya aturan yang diterapkan oleh pemerintah.
Adapun tindakan dalam meminimalisir terjadinya penyebaran covid-19 yang harus menjadi perhatian pemerintah ketika Pilkada tetap dilaksanakan diantaranya.
Pertama, pemerintah menjamin peserta Pemilu dan penyelenggara mamatuhi protokol yaitu jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan. Karna melihat fakta yang ada banyak sekali warga yang abai akan protokol tersebut. Jikapun ada sanksi, apakah sanksi tersebut mampu menyadarkan warga?
Kedua, pemerintah menanggung resiko yang akan terjadi ketika ada protokol yang dilanggar, dengan jaminan kesehatan gratis tanpa syarat.
Ketiga, pemerintah menyediakan alat pelindung diri(APD) untuk penyelenggara dan peserta Pemilu.
Dari tiga hal itu, mampukah pemerintah menjamin hal tersebut dapat terealisasi?
Jika tidak, langkah urgent yang harus diambil pemerintah adalah dengan lockdown total dan menunda Pemilu sampai pandemi ini berakhir.
Jangan sampai atas dalih demokrasi justru
nyawa rakyat yang dikorbankan, padahal demokrasi itu sendiri adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun faktanya jauh dari itu, rakyatlah yang selalu dirugikan. Rakyat didekati hanya ketika menjelang Pemilu disaat suara rakyat memiliki arti untuk mengantarkan mereka mencapai kursi kekuasaan dan begitu kekuasaan ada ditangan rakyat ditinggalkan. Begitulah fakta dalam demokrasi
kebanyakan penguasa bukan berpihak pada rakyat tapi pada pemilik modal.
Oleh karena itu, pemerintah seyogyanya melirik pada sejarah dimana Umar bin Khatab mempraktekan kaidah-kaidah dasar dalam mencari dan mengangkat pejabat yang nantinya akan membantu menjalankan roda pemerintahan.
Kaidah pertama, mengangkat pejabat yang mempunyai fisik yang kuat dan amanah. Ketika Umar bin Khathab memberhentikan Syuraihbil bin Hasan dan mengangkat Mu'awiyah sebagai penggantinya, Syuraihbil bertanya kepada Umar "apakah karena benci kau memecatku wahai Amirul Mukminin?" "Tidak, aku tetap mencintai kalian. Akan tetapi aku menginginkan
orang yang lebih kuat.
Kaidah kedua, mendahulukan orang yang berilmu dan menguasai pekerjaan. Umar mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam mengangkat komandan pasukan. Menurut Ath-Thabari, jika ada pasukan yang terdiri dari orang-orang beriman berkumpul dihadapan Umar, dia menunjuk salah seorang yang menguasai agama dan berilmu untuk menjadi komandan mereka.
Kaidah ketiga, belas kasih dan kasih sayang terhadap rakyat. Sikap ini bukan pencitraan ketika mau diangkat menjadi pejabat. Namun tercermin dalam rekam jejak keseharian sebelumnya dan juga tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang nanti dikeluarkannya.
Begitu juga saat Rasulullah diangkat sebagai pemimpin hanyadibai'at oleh rakyat untuk menjalankan syari'at, merupakan contoh kepemimpinan hakiki tanpa disertai janji pemanis dan biaya yang tinggi. Pertanggung jawaban pemimpin jelas dihadapan Allah SWT dalam mengurusi rakyatnya. Segala hal yang terkait urusan rakyat dipikirkan dengan sebaik baiknya.
Pun ketika menangani wabah, sejarah telah mencontohkan bagaimana menghadapi wabah penyakit yang mematikan, Rasulullah SAW mengingatkan, "Tha'un(wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menguji hamba-hambaNya dari kalangan manusia. Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit disuatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari
darinya."(HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Langkah isolasi yang harus ditempuh saat wabah menunjukkan betapa pentingnya nyawa serta keselamatan rakyat.
Karenanya menjadi miris jika kini pemerintah dengan mudah menukar keselamatan rakyat dengan pilkada yang berbiaya tinggi.
Jelas sudah, keputusan tetap dilaksanakannya pilkada ditengah pandemi, tak ubahnya upaya masal bunuh diri sebuah negeri. Jika demikian masih layakkah berharap pada kapitalisme sekuler dalam mengatur urusan negeri?
Wallahu a'lam
Post a Comment