Perlukah Negara Mempertahankan Lembaga Asuransi?

(Oleh: Umi Salamah)

Mengejutkan, PT Asuransi Jiwasraya disuntik pemerintah senilai 22 Triliun rupiah. Nilai yang tidak sedikit. Mekanismenya pemerintah akan memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Bahana pembinaan usaha Indonesia senilai 22 Triliun rupiah secara bertahap. Pada 2021 akan diberikan PMN senilai 12 Triliun dan 10 triliun pada tahun berikutnya. Suntikan modal ini disinyalir akan digunakan untuk mendirikan anak usaha IFG Life yang bertujuan untuk menyelamatkan PT Asuransi Jiwasraya Persero.

Keputusan pemberian suntikan dana tersebut merupakan hasil rapat panitia kerja antara komisi 6 DPR RI dengan Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) manajemen Jiwasraya dan PT Bhahana Pembinaan Usaha Indonesia BPUI pada Kamis 1 Oktober 2020 lalu. Kementrian BUMN berharap dengan penyelamatan ini akan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap BUMN pemerintah maupun industri asuransi pada umumnya. Pertanyaannya, apakah dengan direkonstruksinya Asuransi Jiwasraya ini, masyarakat yang terlibat dalam asuransi akan terjamin kebutuhan yang mereka asuransikan? 

Nyatanya lembaga asuransi muncul karena sistem kapitalisme membuat negara hadir bukan sebagai pelayan, melainkan regulator. Negara dalam sistem kapitalisme tidak menjamin keberlangsungan hidup masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, masa tua, dan sebagainya. Negara justru memberi peluang yang sangat besar untuk para investor seperti lembaga asuransi untuk memanfaatkan kondisi ini. Alhasil, jaminan kebutuhan publik maupun individu menjadi sektor yang potensial untuk dikomersialisasikan. Tentu komersialisasi bidang ini hanya mampu dinikmati oleh sebagian masyarakat yang memiliki kelebihan harta. Inilah alasan mengapa negara ingin tetap memelihara lembaga asuransi agar tetap ada keberadaannya. Suntikan dana yang besar dari negara salah satu langkah pemeliharaan tersebut. Padahal, seandainya negara mau menjamin kebutuhan rakyatnya dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, maka tak perlu ada lembaga seperti asuransi yang akhirnya juga bermain bisnis demi profit. Dan rakyat pun tak perlu ikut asuransi yang sejatinya mereka menanggung diri mereka sendiri, karena sudah ada negara yang menjamin mereka.

Hal ini berbeda dengan Islam yang memandang jaminan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyat merupakan tanggungjawab negara yang tidak akan dilimpahkan kepada pihak-pihak swasta.  Sebagaimana hadits dari Rasulullah yaitu, “Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia.” (HR. At-Tirmidzi).

Maka, negara dalam sistem islam atau yang disebut dengan negara Khilafah Islamiyah akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Dalam memenuhi kebutuhan pokok yang berupa sandang, pangan dan papan negara menjaminnya secara tidak langsung. Artinya, negara akan membuka lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh warga negaranya. Yaitu pria dewasa yang mampu bekerja untuk mencari nafkah bagi anak-anak, wanita, dan orangtua yang menjadi tanggung jawab mereka. Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, namun ternyata seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya.

Berdasarkan hal ini, para calon orangtua dalam sistem Khilafah tidak perlu membayar asuransi jiwa atau asuransi masa tua mereka sebagaimana dalam sistem kapitalis sekarang. Karena kehidupan masa senja mereka ditanggung oleh anak-anaknya atau walinya. Jika tidak ada kerabat dekat, ataupun ahli warisnya, maka negara berkewajiban untuk menanggungnya. Sebagaimana yang pernah dicontohkan khalifah Umar bin Khatab ketika membuat keputusan untuk membebaskan seorang yahudi ahli dzimmah yang tua renta dari pembayaran jizyah. Khalifah Umar mengatakan, “Perhatikanlah kebutuhan orang-orang ini dan orang-orang yang seperti dia. Demi Allah kita tidak pantas memakan hartanya dari hasil pembayaran pajak ketika dia masih muda, lalu kita menelantarkan dia ketika sudah lanjut usia. Dan khalifah Umar menulis surat yang ditujukan kepada para pembantunya dalam rangka untuk memperlakukan ketentuan ini secara umum.

Jika ada yang mampu bekerja tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik muslim maupun non muslim. Bisa juga dengan mekanisme utang, hibah, atau pemberian cuma-cuma, ataupun yang lain. Jika modal usaha tersebut terkait dengan negara, misalnya tanah pertanian milik negara, maka negara khilafah bisa meberikannya untuk dikelola. Negara juga menjamin kepemilikan seseorang atas tanah mati yang tidak dikelola lebih dari tiga tahun oleh pemiliknya, jika seseorang itu sanggup mengelolanya.

Sedangkan kebutuhan dasar publik, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, maka dijamin langsung oleh negara. Artinya negara khilafah berkewajiban menyediakan layanan tersebut bagi seluruh rakyatnya dengan gratis. Sebab pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan termasuk ke dalam pelayanan umum dan kemashlahatan hidup terpenting yang tidak bisa diwujudkan secara individu. Maka syariat islam menetapkan negaralah yang wajib menanggungnya. Seluruh biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut ditangung baitul mal (kas negara), baik yang bersumber dari kekayaan milik umum, seperti tambang emas, batu bara, minyak bumi, dan gas. Maupun kekayaan milik negara seperti kharaj, ghanimah, dan lain-lain. Oleh karena itu di dalam khilafah tidak ada tempat bagi lembaga-lembaga asuransi seperti asuransi kesehatan, pendidikan, keamanan, jiwa, hari tua dan sebagainya, atau lembaga keuangan seperti bank. Apalagi lembaga asuransi yang bermain bisnis demi mendapatkan keuntungan.

Post a Comment

Previous Post Next Post