PANDEMI COVID-19 MENDONGKRAK ANGKA PERCERAIAN DI NUSANTARA

Oleh: Hasriati, S. Pi.
(Pegawai Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe)

 Angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, terlebih saat badai virus Corona. Wabah ini tak hanya berdampak buruk bagi kesehatan, tetapi juga berpengaruh pada ekonomi masyarakat dan kehidupan sosial, salah satunya peningkatan jumlah perceraian.

 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik selama 5 tahun terakhir, tercatat angka perceraian terus melonjak, sebanyak 353.843 di tahun 2015 menjadi 365.654 di tahun 2016, 374.516 di tahun 2017, menjadi 408.202 di tahun 2018. Lonjakan lagi terjadi pada tahun 2019 sebesar 439.002.

Penyebab perceraian pun selama 5 tahun terakhir beragam, mulai dari perzinaan, mabuk alkohol, drug, judi, meninggal salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan dalam rumah tangga, cacat badan maupun perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Namun kondisi tahun 2019, berdasarkan publikasi Statistik Indonesia 2020, perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi faktor dominan pemicu tingginya angka perceraian,  yaitu sebesar 53 persen.

Saat pandemi Covid-19, tak semua keluarga mampu memetik hikmah. Stay at home dengan kegiatan yang banyak dilakukan dari rumah tidak mampu memperkuat keharmonisan semua keluarga.  Bahkan menjadi persoalan baru, berupa kejenuhan dan tekanan ekonomi keluarga, yang akhirnya mengancam ketentraman danm  ketenangan keluarga.

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Dirjen Badilag MA), Aco Nur menjelaskan  bahwa total perceraian di seluruh wilayah Indonesia mengalami peningkatan di masa pandemi, meski tak merinci, Aco mengatakan, pada periode April dan Mei 2020, terlihat pendaftaran cerai masih di bawah angka 20 ribu yang tercatat di PA seluruh Indonesia. Jumlah itu, lantas meningkat pada masa adaptasi kebiasaan baru yang melonjak menjadi 57 ribu perceraian pada Juni hingga Juli 2020. (http://www.ayopurwakarta.com/read/2020/08/28/5820/pandemi-covid-19-angka-perceraian-di-indonesia-meningkat).

Menurut Aco Nur, hal itu disebabkan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kondisi itu memaksa aktivitas ekonomi berkurang, hingga memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.   Senada dengan itu,  Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah menyebutkan selain karena internal, faktor

ekonomi juga menjadi alasan kuat banyaknya pasangan yang memilih untuk berpisah, mengingat banyaknya karyawan yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan akibat pandemi. (https://republika.co.id/berita/qfnz69409/di-balik-maraknya-gugatan-perceraian-pada-masa-pandemi)

Kondisi ekonomi keluarga yang kian lesu, menjadi gangguan serius  dalam kehidupan rumah tangga dan menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Penurunan pendapatan, karyawan yang dirumahkan sementara, kehilangan pekerjaan baik karena di-PHK  atau tidak adanya pesanan pasar menjadikan keluarga berpikir keras mengelola keuangan, sehingga mendorong anggota keluarga lainnya menanggung beban ekonomi keluarga yang menguras energi dan waktu. Bahkan tidak sedikit keluarga yang menemukan jalan buntu dari kemelut ekonomi masa pandemi.

Persoalan ekonomi keluarga pun semakin ruwet, karena sistem kehidupan hari ini didominasi dengan cara berfikir sekuler yang materialis. Segala sesuatu ditimbang dari aspek kemanfaatan yang mendatangkan nilai materi.  Kebahagiaan diukur semata-mata dari  besarnya nilai materi berupa uang dan barang.  Sehingga nilai-nilai ketakwaan dalam keluarga semakin lemah.

Pada akhirnya, memunculkan riak-riak dalam rumah tangga yang selanjutnya berdampak pada ketidakharmonisan keluarga. Na'udzubillah.

Sistem sekuler kapitalisme membuat kehidupan serba sempit dan tanpa sandaran.  Hubungan makhluk dengan Sang Pencipta dan Pengatur sengaja dijauhkan, keyakinan akan adanya pertolongan dari Yang Maha Penolong pun semakin pupus dari dalam diri manusia.

Lemahnya pemahaman agama, juga merupakan faktor mendasar maraknya angka perceraian. Agama hanya dipahami sebatas ritual. Sehingga agama tidak berpengaruh pada keseharian, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat ataupun negara.  

Dengan minimnya pemahaman terhadap agama, tak sedikit individu Muslim mengalami disorientasi hidup, hingga mudah menyerah pada keadaan. Menjadi individu kehilangan penuntun dan pegangan hidup. Sehingga wajar pada akhirnya ketika masalah mendera keluarga, tidak sedikit pasangan suami istri memilih berpisah dari pada berupaya mempertahankannya.

Tentu kondisi buruk ini tak boleh dibiarkan  keluarga harus segera bangkit dari keterpurukan dan keluar dari zona tidak nyaman ini. Sehingga fungsi keluarga sebagai tempat lahirnya generasi unggul dan individu bertaqwa dengan visi hidup yang jelas dan benar bisa terwujud.

Setiap Muslim harus kembali kepada keimanan dan ketaatan kepada aturan Sang Pencipta, yang akan membawa kepada ketentraman dan ketenangan. Ketakwaan akan mampu membentengi diri dari segala sesuatu yang membahayakan kehidupan. Keluarga yang terbina ketakwaannya akan memahami terjadinya pandemi ini adalah dengan izin Allah, sebagai musibah, ujian dan teguran sayangnya Allah kepada dirinya.

Yakin bahwa ini adalah ketetapan Allah yang akan menjadikan kita bersabar menghadapi pandemi ini, dan berupaya keras mencari jalan keluar ketika menghadapi masalah keuangan dan sebagainya dengan saling bahu membahu dengan anggota keluarga lainnya. Justru situasi ini akan semakin memperkukuh ikatan antara ibu, bapak, dan anak-anaknya.

Negara sebagai pihak yang memiliki kapasitas besar dalam pembentukan kepribadian rakyat melalui edukasi, selayaknya senantiasa hadir mengokohkan keimanan dan ketakwaan rakyat sehingga tidak mudah tergerus dengan beragam godaan dan musibah yang melanda. 

Demikian pula negara, terlebih saat pandemi, fungsi sebagai pelayan rakyat sepenuh hati sangat dinanti oleh rakyat.  Pemenuhan  hak-hak rakyat.  Baik dalam hal melindungi penduduk faqir miskin, pengelolaan harta milik umum, pemenuhan kesehatan, pendidikan, keamanan dan hal lainnya, merupakan  pilar penting dalam mengatasi persoalan keluarga.

Wallahu a'lam bish-shawab.[]



Post a Comment

Previous Post Next Post