Oleh: Farah Sari, A.Md.
(Aktivis Dakwah Islam,
Jambi)
Memperoleh
produk halal bagi setiap Muslim adalah perwujudan hak konstitusionalnya. Akses
produk halal mestinya dijamin oleh konstitusi. Jadi, pemerintah hendaknya mampu
memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agama warganya. Allah SWT
berfirman : “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah
telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 88)
Bukankah
sudah seharusnya, Indonesia sebagai
negeri mayoritas muslim memproduksi produk halal? Karena mengkonsumsi makanan
halal adalah kewajiban bagi seorang muslim. Produk halal adalah kebutuhan
mutlak. Keberadaan negara dan peran pemerintah sangat besar dalam mewujudkan
itu. Karena faktanya masih sulit memastikan kehalalan suatu produk. Muslim di
negeri ini sering diliputi rasa was-was saat mengkonsumsi produk yang beredar.
Karena tak jarang produsen berlaku
curang. Demi keuntungan besar.
Wakil
Presiden RI Ma'ruf Amin mengatakan bahwa pengembangan kawasan industri halal
(KIH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi
negara penghasil produk halal terbesar di dunia. (liputan6.com,15/10/20)
Muslim
akan tenang dan bahagia jika ada jaminan kehalalan produk yang beredar. Apalagi
jika negerinya bisa menjadi penghasil produk halal terbesar di dunia. Seperti
yang disampaikan Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin di atas. Tapi benarkah cita-cita
ini didorong atas keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT? Karena pemimpin
bertanggung jawab atas amanah meriayah (mengurusi) rakyat, termasuk memberi jaminan halal produk.
Lantas,
apakah jalan pintas sertifikasi halal yang dititipkan pada UU Cipta Kerja mampu mewujudkan cita-cita tersebut? Benarkah
cita-cita Indonesia menjadi negara
penghasil produk halal terbesar di dunia untuk memastikan terjaminnya makanan
halal bagi muslim? Atau karena tujuan lain? Keuntungan. Karena tingginya minat
konsumen terhadap produk - produk halal.
Sekalipun hanya label tanpa jaminan.
Dikutip
dari laman rri.co.id (14/10/20) Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law
mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal
hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi
alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal (BPJPH).
Terkait
hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut
sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan
dengan satu produk dengan produk lainnya.
Diketahui,
ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertuang di UU
Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Beberapa pasal yang bisa disoroti adalah sebagai berikut :
1.Persyaratan
auditor halal
Dalam
Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan
mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Ada
sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH, yakni: (a) Warga
negara Indonesia. (b) Beragama Islam.
(c) Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan,
kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. (d) Memahami dan memiliki wawasan luas
mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam. (e) Mendahulukan kepentingan umat di atas
kepentingan pribadi dan/atau golongan.
(f) Memperoleh sertifikat dari MUI
Namun,
pada UU Cipta Kerja, persyaratan poin (f) ditiadakan. Sehingga, dalam
pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.
Sekilas
melonggarkan persyaratan auditor terlihat baik. Berharap lebih mudah menentukan
halal suatu produk. Lebih cepat proses penentuan karena SDM auditor lebih banyak.
Sesungguhnya
pelonggaran ini menjadi jalan semakin sulitnya memastikan kehalalan suatu
produk. Karena tidak ada kepastian auditor yang layak sesuai standar islam.
Bukankah lembaga negara yang selama ini menjadi rujukan masyarakat untuk yakin
suatu produk halal adalah MUI? Selama ini,
adanya lembaga MUI saja kita masih dihantui rasa was-was. Khawatir kehalalan produk. Apalagi jika peran
MUI dikurangi atau bahkan diamputasi.
2.
Cara memperoleh sertifikat halal.
Bab
V Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan
mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal.
Pada
pasal 29 ayat (1) dijelaskan permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha
secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Pasal
29 ayat (2) disebutkan, permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan
dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang
digunakan, dan proses pengolahan produk.
Kemudian,
Pasal 29 ayat (3) berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan
permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.
Tetapi,
dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mendapatkan sertifikat halal pada Pasal 29 ayat
(3) diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal
dilaksanakan paling lama 1 hari kerja.
Sekilas, pemangkasan waktu verifikasi permohonan
sertifikat halal juga terkesan bagus. Menggembirakan bagi produsen. Karena produknya lebih cepat bisa
dilabeli halal. Namun permasalahan
utamanya adalah, apakah waktu yang
singkat itu bisa memberikan kepastian halal pada suatu produk sesuai standar
syariat islam. Sedangkan banyak tahapan dalam proses yang harus dicek. Mulai
dari bahan baku, proses pengolahan, produk jadi, pendistribusian hingga sampai ditangan
konsumen. Tidak boleh ada proses yang menghantarkan pada keharaman sekecil apapun. Tidak benar jika, demi mempersingkat waktu
mengabaikan kepastian halal produk.
3.
Waktu penerbitan
Selain
itu, pada Pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
disebutkan sertifikat halal diterbitkan BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.
Namun,
pada UU Cipta Kerja, Pasal 35 diubah menjadi sertifikat halal sebagaimana Pasal
34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari
kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk.
Sementara
itu, ada pasal yang disisipkan antara Pasal 35 dan Pasal 36, yakni Pasal 35A
pada UU Cipta Kerja.
Pasal
35A ayat (1) berbunyi, apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah
ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka LPH tersebut akan dievaluasi
dan/atau dikenai sanksi administrasi.
Selanjutnya,
Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu
yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH
dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Tidak
hanya sampai disitu. Pasal ini juga
berbahaya. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mastuki HS saat
dihubungi dari Jakarta, Rabu, mengatakan terdapat pemahaman yang tidak utuh
oleh sebagian masyarakat yang berkesimpulan self declare halal dapat dilakukan
siapapun dengan cara remeh temeh.
"Di
Pasal 4A UU Ciptaker, self declare harus memenuhi standar yang ditetapkan
BPJPH," kata merujuk BPJPH/Kementerian Agama akan menerbitkan panduan
deklarasi mandiri produk halal dalam waktu dekat.
Mastuki
mencontohkan terdapat persyaratan produsen dapat mendeklarasikan mandiri
produknya halal ketika materi produk dan proses pembuatannya masuk dalam
kategori risiko rendah terpapar unsur haram. (antaranews.com,14/10/20)
Dengan
melihat isi UU Ciptaker, sangat kental dengan ruh sekulerisasi,
liberalisasi dan kapitalisasi. Sekulerisasi karena aturan ini tegak atas
pondasi pemisahan agama dari kehidupan dan pemisahan agama dari negara.
Menjauhkan peran syariat islam dalam menentukan standar halal suatu produk.
Agar standar tersebut diganti dengan standar akal manusia dan kepentingan.
Sekulerisasi semakin dipertegas dengan
kebolehan tidak melibatkan peran MUI dalam penetapan status halal.
Liberalisasi karena banyak pihak yang diperbolehkan menentukan kehalalan produk. Sedangkan tidak
ada jaminan pihak tersebut akan menjadikan syariat islam sebagai penentu halal
dan haram. Seharusnya jaminan halal ini adalah tanggung jawab negara dan
penguasa, UU ini akan membuat penguasa
berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut.
Sedangkan
kapitalisasi menjadikan para pengusaha bermodal besar baik asing maupun aseng
semakin leluasa. Ruang gerak mereka memasarkan produk di pasar muslim terbesar
di dunia yaitu Indonesia makin luas. Cap sertifikat halal bisa mereka dapatkan
dengan mudah. Karena tidak perlu lagi peran MUI.
Berdasarkan
hal di atas, UU Ciptaker ini malah akan
menghilangkan jaminan halal. Karena cap
sertifikat halal semakin mudah didapatkan.
Melalui pelonggaran auditor, mempermudah cara memperoleh sertifikat dan mempersingkat waktu penerbitan
sertifikat.
Ternyata
semua ini dilakukan untuk memudahkan para pengusaha asing dan aseng yang
bercokol di negri ini. Persekongkolan penguasa dan pengusaha. Penguasa dapat
kursi jabatan. Pengusaha dapat aturan kebijakan. UU Ciptaker ini hadir untuk
menyenangkan para pemodal sebagai bentuk balas budi atas bantuan mahar pesta
demokrasi.
Miris
sekali nasib muslim. Selalu dijejali UU manis diucapan Tapi berisi racun
mematikan. Apalah gunanya jika halal hanya label, bukan sebuah jaminan. Inilah kegagalan sistem
demokrasi kapitalis. Tidak mampu memberikan hak konstitusional warga negara
muslim untuk menjalankan kewajiban.
Memperoleh jaminan produk halal.
Berbeda
dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kehalalan produk yang beredar di pasar
sangat dijaga. Semua warga negara Islam mengkonsumsi makanan halal ataupun
memproduksi makanan yang halal bukan didasari karena asas keuntungan yang
diperoleh dari jaminan halalnya, tetapi karena mengonsumsi makanan yang halal
adalah perintah Allah SWT.
Sistem
kapitalisme sekuler saat ini memang hanya fokus pada keuntungan materi.
Pemerintah memberikan label atau
sertifikat halal bukan didorong oleh keimanan kepada Allah SWT namun karena
faktor ekonomi dan materi. Salah satunya untuk mengejar target pengembangan
kawasan industri halal (KIH) sebagaimana tersebut di atas. Inilah bukti
pentingnya negara hadir untuk menjamin kehalalan produk dengan sungguh-sungguh,
memantau kehalalan produk dari hulu ke hilir. Pengawasan yang ketat sangat
diperlukan agar tidak terjadi kecurangan oleh pelaku usaha. Bahkan jika
dibutuhkan sertifikasi halal. Kebutuhan sertifikasi halal tak boleh membebani
rakyat. Biaya sertifikasi halal seharusnya menggunakan dana APBN tidak memungut dari rakyat. Sebab menyediakan
jaminan halal adalah bagian dari tanggung jawab negara sebagai pelayanan urusan
rakyat.
“Imam
(Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas
pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Post a Comment