Omnibus Law: Korporasi dalam Demokrasi


By : Imanda

Dilansir dari CNN Indonesia pada Senin (5/6/2020), secara resmi Kompleks DPR telah mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang Undang. Dari 9 fraksi DPR, hanya 2 fraksi yang menyatakan menolak RUU Cipta Kerja yaitu Demokrat dan PKS. Meskipun menuai banyak kontroversi hingga rencana mogok kerja nasional oleh para buruh pada 6-8 Oktober, RUU ini tetap saja disahkan. 

Berbagai aksi demonstrasi turun ke jalan oleh kaum buruh maupun mahasiswa terus terjadi. Ketua DPR Puan Maharani mengatakan dengan disahkannya RUU Cipta Kerja, diharapkan dapat membangun dan mempercepat terwujudnya kemajuan Indonesia. Namun pada kenyataannya, RUU yang disahkan menjadi UU tersebut terkesan dipaksakan dan terburu-buru.

Seharusnya pemerintah lebih fokus pada masalah-masalah kesehatan yang belum tuntas akibat pandemi COVID-19 serta resesi ekonomi yang menimpa Indonesia. Sudah jelas jika RUU Cipta Kerja hanya akan menindas kaum buruh dan menguntungkan korporasi dan pihak elit lainnya. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan perlambatan ekonomi akan membawa dampak buruk terhadap sektor tenaga kerja serta menambah penduduk miskin menjadi lebih banyak.

Hak-hak buruh dan pekerja seperti dipangkas, tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran. Aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), serta perluasan status kontrak dan outsourcing akan begitu mencekik kehidupan buruh dan pekerja.

Sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar hak-hak buruh justru dihapuskan. Selain itu, UU Cipta Kerja akan lebih memudahkan investor dan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Sistem ekonomi kapitalisme yang hampir dijalankan oleh seluruh negara di dunia tidak bisa dipungkiri menjadi penyebab ketimpangan ekonomi, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Keserakahan para pemangku modal benar-benar merenggut kesejahteraan rakyat, terutama rakyat miskin. 

Adapun tuntutan perbaikan upah buruh, pemberian jaminan sosial, serta penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing) juga dapat memicu inflasi. Apabila hak-hak tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha, tidak menutup kemungkinan terjadi kenaikan harga jual yang berimbas pada rendahnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, pemenuhan kebutuhan akan mengalami kesulitan kembali. Patut dicermati, bahwa persoalan ekonomi dan ketenagakerjaan ini juga merupakan efek tidak adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup dari negara. 

Negara sebagai institusi yang identik dengan fungsi serta tanggung jawabnya dalam mengurusi kebutuhan rakyat, justru berlepas tangan. Negara seharusnya hadir untuk memberi solusi bagi semua pihak. Di dalam sistem demokrasi kapitalisme, sudah menjadi ciri khasnya bahwa pemerintah hanya berperan sebagai regulator. Sehingga hajat hidup rakyat dapat diserahkan kepada perusahaan maupun swasta, bukan menjadi tanggung jawab negara. Beginilah adanya, jika mindset seperti itu telah menjadi asas negara, sulit diharapkan kebijakan yang lahir adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) pun hanya sebuah nama tanpa makna apa-apa.

Omnibus Law bukanlah satu-satunya undang-undang yang menghasilkan pasal karet. Perlu disadari jika keputusan yang lahir dari penguasa merupakan akibat dari sistem yang ada. Dibutuhkan perubahan sistemik terkait permasalahan ini. Jika sistem demokrasi kapitalisme tidak bisa mewujudkannya, apalagi komunisme? Maka dibutuhkan sebuah sistem yang mengatur secara menyeluruh kehidupan manusia. Aturan yang lahir bukanlah dari manusia, dimana ia memiliki sifat yang lemah dan terbatas. Namun, perlu adanya aturan yang hadir dari Sang Pencipta manusia itu sendiri. Hanya ada satu harapan yaitu sistem Islam.

Islam bukanlah sekedar agama ritual melainkan juga sebuah ideologi yang mampu menyelesaikan problematika umat. Hal ini karena aturan bersumber dari Allah yang Maha Mengetahui, bukan dari asumsi manusia. Islam mengatur urusan ketenagakerjaan dalam bidang politik ekonomi yang tentunya melibatkan peran negara di sana. Upaya pemenuhan kebutuhan pokok merupakan jaminan tiap individu oleh negara kepada rakyatnya. 

Kebutuhan pokok tersebut mencakup sandang, pangan papan, juga fasilitas publik lainnya seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Khilafah akan menciptakan lapangan pekerjaan, misalnya dengan memberi akses kepemilikan lahan bagi individu yang mampu mengolahnya melalui ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati). Selain itu, akan ditetapkan hukum wajib bagi seorang laki-laki yang baligh untuk mencari nafkah. Kontrol masyarakat juga menjadi alternatif untuk mengondisikan pemenuhan kebutuhan atas tanggung jawab kerabat atau tetangga.

Termasuk jaminan memperoleh kesehatan, mengakses pendidikan, dan keamanan benar-benar menjadi fokus negara. Islam telah menjadikan fungsi negara tersebut sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalani. Sehingga rakyat tidak perlu khawatir karena jaminan kesejahteraan itu nyata adanya, bukan fiksi belaka. Adapun mengenai kontrak kerja antara pekerja dan pengusaha haruslah saling menguntungkan dan tidak boleh menzalimi salah satu pihak. 

Jika terjadi pelanggaran aqad atau kesepakatan, maka sesungguhnya dalam memberlakukan hukum, Islam begitu tegas bagi pihak yang melakukan kezaliman. Dalam penyelesaiannya, maka khilafah menghadirkan peradilan yang menuntaskan masalah keduanya secara netral, sehingga tidak akan terjadi kasus suap menyuap. Dengan demikian, syariat Islam merupakan solusi terbaik bagi persoalan hidup manusia. Hukum yang dibuat tidak akan pernah menzalimi rakyatnya, pelaksanaannya pun tidak pernah memandang status sosial. Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme, di mana hukum akan selalu runcing ke bawah dan tumpul ke atas.

Post a Comment

Previous Post Next Post