(Member Revowriter Bekasi)
Di tengah protes masyarakat dan serikat buruh, pemerintah dan DPR tak bergeming. Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dikebut dan telah sah menjadi undang-undang dalam sidang parlemen pada hari Senin (5/10). Pasal-pasal kontroversial pun bermunculan. Selain menyangkut isu lingkungan, pasal yang banyak disorot adalah masalah perburuhan.
Alih-alih mengatasi buruknya kualitas investasi, Omnibus Law Cipta Kerja justru berpotensi besar merampas kesejahteraan buruh. Kaum yang seharusnya diuntungkan oleh terciptanya lapangan pekerjaan hasil dari datangnya investasi.
Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), menyoroti empat pasal di Bab IV Omnibus Law Cipta Kerja. Dimana hal ini berdampak pada kesejahteraan buruh.
Keempat pasal itu adalah:
1. Jam lembur
Sebelumnya pada pasal 78 ayat 1 butir b UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu. Tapi Omnibus Law mengubah lembur menjadi paling lama 4 jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu.
2. Sistem kontrak
Dalam pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, batasan perpanjangan waktu kontrak ini dihapus. Ketentuan lebih lanjut hanya diatur Peraturan Pemerintah (PP) yang berpotensi melahirkan pekerja kontrak seumur hidup. IDEAS mencatat bahwa pekerja tidak tetap memiliki rata-rata upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja tetap.
3. Sistem Pengupahan
Dalam UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Tapi di Omnibus Law ada ketentuan baru terkait sistem penentuan upah, yaitu pasal 88 B. Didalamnya diatur bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil yang dibiarkan mengambang. IDEAS menemukan data bahwa semakin sering upah diberikan, maka semakin kecil upah yang diterima.
4. Upah minimum
Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan layak. Tapi pada Omnibus Law, upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. (Tempo.co, 09/10/2020)
Solusi Islam
Mencermati secara mendalam berbagai persoalan ketenagakerjaan yang ada, maka persoalan pokoknya adalah upaya pemenuhan kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan hidup. Bahkan persoalan pekerja kontrak dan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan berpengaruh dan sangat terkait erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan pokok.
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik Ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kemampuan mereka.
Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa'at al-juhd ) yang diberikan buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan atau pengusaha.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan pengusaha atau majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara' )-lah yang menentukan upah sepadan. Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka. Serta negara yang akan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Islam adalah agama rahmatan lil alamin artinya Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Dengan kata lain, tak ada secuil pun di muka bumi ini yang tidak diatur atau diperhatikan dalam Islam. Demikian juga untuk konteks hukum perburuhan.
Wallahu'alam bishowab
Post a Comment