Oleh: Nudiya Iffah
(Pemerhati Sosial)
Kesetaraan upah kembali disuarakan oleh gerakan gender. Topik ini sepertinya masih dipandang sebagai masalah besar di Indonesia. Karenanya, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan UN Women terus mendukung agar kesetaraan upah bisa segera terwujud di negeri ini.
Baru-baru ini, Indonesia bersama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Kesetaraan Upah Internasional yang jatuh pada 18 September. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan UN Women, dua badan PBB yang memimpin pendirian Koalisi Internasional untuk Kesetaraan Upah (Equal Pay International Coalition/ EPIC), bersama dengan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) menginisiasi momentum ini.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dalam pernyataan pers yang dibagikan UN Women mengatakan, “Mempertimbangkan kesenjangan gender di pasar kerja kita saat ini, kementerian saya, bersama dengan semua mitra sosial kami dan organisasi internasional, terus mendorong aksi bersama menentang diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Ini saatnya bagi perempuan dan laki-laki untuk dihargai secara setara berdasarkan bakat, hasil kerja dan kompetensi, dan bukan berdasarkan gender”. (kumparan.com,10/09/2020).
Terkait hal ini, PBB telah mengeluarkan Konstitusi ILO tahun 1919 dan Konvensi Soal Upah yang Setara di tahun 1951. Sementara, Indonesia mulai meratifikasi konvensi ini tahun 1958.
Dua badan PBB, yakni ILO dan UN Women telah memimpin pendirian Koalisi Internasional untuk Kesetaraan Upah (Equal Pay International Coalition/EPIC). Bersama dengan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) dunia.
Data global menyebut, diskriminasi upah memang masih parah. Perempuan dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. Sementara, di Indonesia kesenjangan mencapai 23 persen.
Bahkan menurut ILO, perempuan terkondisi untuk mendapatkan pekerjaan bernilai rendah dan tak punya kesempatan untuk menutup kesenjangan upah berdasarkan gender. Di Indonesia misalnya, jumlah perempuan pekerja yang bekerja sebagai profesional kurang dari 50 persen. Hanya 30 persennya yang menduduki posisi manajerial. Itu pun dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, meskipun pendidikannya lebih tinggi dibanding laki-laki. Kesenjangan ini ditengarai berdampak negatif bagi perempuan dan keluarganya. Karena keduanya merupakan kelompok yang rentan oleh ancaman kemiskinan. Apalagi pada situasi yang makin sulit di masa pandemi Covid-19 ini.
Terlebih faktanya, kebanyakan kaum perempuan terlibat dalam sektor ekonomi yang paling terdampak krisis. Seperti sektor akomodasi, makanan, penjualan, dan manufaktur. Serta dalam sektor informal yang tidak memiliki jaminan asuransi kesehatan dan perlindungan sosial. Karenanya, PBB terus mendorong pemerintah, pengusaha, pekerja, dan organisasi mereka untuk membuat kemajuan nyata dan terkoordinasi menuju tujuan ini. Yakni, melalui aksi-aksi bersama menentang diskriminasi berbasis gender.
Cara Pandang Kapitalis terhadap perempuan.
Cara pandang seseorang sangat berpengaruh dalam melihat masalah dan menyelesaikannya, karena ini keluar dari aqidah yang diyakininya.
Dalam hal ini, persoalannya adalah keinginan agar perempuan dapat hidup dengan layak, dihargai, sejahtera, dan jauh dari adanya kekerasan. Baik kekerasan itu secara fisik, verbal maupun seksual.
Adanya diskriminasi dalam sektor ekonomi dan politik adalah penyebab ketidaksejahteraan kaum perempuan, menurut cara pandang kaum feminis atau pegiat gender. Posisi perempuan masih di anggap minor dibanding laki-laki. Dengan posisi ini, perempuan rentan akan kemiskinan dan kekerasan. Maka, kemudian mereka mendorong terealisasinya ide kesetaraan upah dan gender agar persoalan ini teratasi.
Ide ini muncul dari ideologi kapitalis dan sekuler. Di mana perempuan dinilai dari sisi kemapanan materi, kemampuan mereka untuk menghasilkan nilai-nilai ekonomi dan dijauhkan dari pengaturan agama. Sehingga, solusi yang muncul hanyalah upaya untuk mendorong perempuan terjun bebas ke dunia kerja dan melupakan fitrah utama mereka sebagai ibu dan sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Realitasnya, hingga saat ini diskriminasi masih terjadi, perempuan belum sejahtera bahkan rentan mengalami kekerasan dan pelecehan secara seksual. Dampak lainnya adalah rapuhnya bangunan rumah tangga, karena kehilangan fungsi ibu sebagai pelindung dan pengayom bagi anak-anaknya.
Sesungguhnya, para penjaga sistem kapitalisme sangat berkepentingan mendorong kaum perempuan untuk masuk pasar tenaga kerja. Selain sebagai pemasok buruh murah, kaum perempuan harus memiliki daya beli agar menjadi pasar bagi produk mereka. Narasi “pemberdayaan ekonomi dan politik perempuan” pun dipilih sebagai kemasan. Mirisnya, jualan mereka laku di pasar global. Termasuk di negeri-negeri muslim yang sudah lama disekularisasi dan dimiskinkan.
Di masa pandemi ini, keterlibatan perempuan dalam ekonomi sangat berperan penting, di mana para kapitalis membutuhkan tenaga kerja dengan upah murah demi mendongkrak keuntungan mereka yang semakin tergerus akibat pandemi.
Karena itu, solusi kesetaraan upah dan gender hanyalah upaya untuk menutupi kepentingan para kapital. Khususnya kepentingan mereka atas negeri-negeri muslim yang kaya akan sumber daya alam serta sumber daya manusia yang murah dan berlimpah. Sehingga hegemoni mereka tetap bercokol dan kekayaan negeri muslim terus dikeruk.
Cara Pandang Islam Atas Perempuan
Kenyataan ini semestinya menyadarkan umat Islam, bahwa sistem buatan manusia sama sekali tak layak dipertahankan. Sistem ini telah mencabut kemuliaan mereka, termasuk kemuliaan kaum perempuan.
Islam memberikan kesetaraan hakiki yang sesungguhnya dibutuhkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Yakni, berupa posisi yang sama di hadapan Sang Pencipta Alam Semesta, sekalipun adakalanya diberi peran yang berbeda.
Islam begitu menghargai kaum perempuan, sebagaimana menghargai kaum laki-laki. Penghargaan itu, salah satunya tampak dari pemberian posisi yang politis dan strategis sebagai ibu bagi anak dan generasi. Posisi ini adalah tumpuan peradaban Islam.
Perempuan berdaya dalam Islam, tidak diukur dengan besarnya jumlah penghasilan. Tapi diukur seberapa sukses seorang perempuan menjalankan peran keibuan.
Ketika ada perempuan yang sukses di luar peran keibuan, itu dipandang sebagai tambahan kesalehan yang menambah kemuliaan di hadapan Sang Pencipta Alam.
Islam tak melarang kaum perempuan bekerja, mengaktualisasikan diri di luar rumah. Sepanjang tidak melanggar ketetapan syariat Islam. Penerapan Islam kafah oleh negara, akan menjadikan kiprah perempuan lebih optimal sebagai penyumbang peradaban.
Di dalam sistem Islam, hak-hak kaum perempuan akan terjaga. Mulai hak politik, ekonomi, keamanan, pendidikan, kesehatan dan finansial. Termasuk hak mendapat reward yang layak saat mereka bekerja, sesuai akad yang disepakati.
Maka, tak ada pilihan selain segera kembali ke pangkuan sistem Islam (khilafah). Sebuah sistem yang selama belasan abad berhasil membuktikan bahwa kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan bukanlah mimpi semata.
Wallahu’alam Bishawab.
Post a Comment