Jerhikma
(Mahasiswi, Komunitas Annisaa Ganesha)
Isu terkait kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang baru. Kesetaraan gender selalu dikaitkan dalam berbagai ranah kehidupan, tak terkecuali dalam hal pekerjaan. Terkait hal tersebut, salah satu permasalahan yang menuai perhatian yaitu kesenjangan upah antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Saat ini, tenaga kerja perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Labour Organization (ILO) dan UN Women, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap satu dolar yang diperoleh laki-laki untuk pekerjaan yang bernilai sama. Angka ini sudah dihitung dengan kesenjangan yang bahkan lebih besar bagi perempuan yang memiliki anak.
Di masa pandemi ini, kesenjangan upah ini memberikan dampak negatif bagi perempuan dan keluarganya. Dari laporan pemantauan ILO yang dikutip, Senin (21/9/2020), tentang Covid-19 dan dunia kerja, Edisi ke-5, menemukan banyak pekerja perempuan mendapatkan dampak berbeda selama pandemi. Dampak tersebut terkait dengan besarnya keterwakilan mereka dalam sektor-sektor perekonomian yang paling terkena dampak krisis ini. Seperti contohnya; akomodasi, makanan, penjualan, dan manufaktur.
Perempuan juga terpresentasi secara besar dalam pekerjaan di perekonomian informal yang tidak memiliki asuransi kesehatan dan perlindungan sosial. Selaras dengan kondisi global, perempuan Indonesia memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kendati lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki gelar D3/D4 atau sarjana dibandingkan laki-laki, pendidikan yang lebih tinggi tidak mempersempit kesenjangan upah berdasarkan gender. Bahkan pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan sarjana mendapatkan upah yang cukup rendah dibandingkan laki-laki.
Atas dasar isu inilah, untuk pertama kalinya Indonesia bersama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Kesetaraan Upah Internasional yang jatuh pada 18 September setiap tahunnya. Perayaan tersebut juga sebagai bentuk komitmen dari PBB untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Momen ini didukung oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan UN Women, dua badan PBB yang memimpin pendirian Koalisi Internasional untuk Kesetaraan Upah (Equal Pay International Coalition/ EPIC), bersama dengan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).
“Mempertimbangkan kesenjangan gender di pasar kerja kita saat ini, kementerian saya, bersama dengan semua mitra sosial kami dan organisasi internasional, terus mendorong aksi bersama menentang diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Ini saatnya bagi perempuan dan laki-laki untuk dihargai secara setara berdasarkan bakat, hasil kerja dan kompetensi, dan bukan berdasarkan gender,” ungkap Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam pernyataan pers yang dibagikan UN Women.
Dengan adanya momen ini, apakah benar akan menyelesaikan secara tuntas permasalahan kesenjangan upah ini? Ataukah hanya sekedar seremoni sebagai basa-basi dalam mengatasi masalah kaum perempuan. Tentu, dengan adanya fakta kesenjangan upah ini, menjadi sasaran bagi pegiat gender untuk membuktikan bahwa ketidakberpihakan dunia kerja untuk perempuan, dan pastinya diselesaikan dengan cara ekspolitatif. Dari awal, sistem sekuler, mengarahkan wanita untuk setara dengan pria, mereka dituntut untuk berkompetisi dalam jalur yang sama dengan hadiah yang sama yaitu sama-sama mengejar materi dan menjadikan bahwa standar kebahagiaan hanyalah materi. Sehingga mendorong perempuan bekerja tanpa khawatir terhadap kesenjangan upahnya. Bahkan diantara mereka ada yang terpaksa bekerja walau gaji kecil karena kebutuhan ekonomi keluarga. Tanpa disadari, kondisi ini menghilangkan hambatan (peran domestik) untuk terjun ke semua jenis pekerjaan agar tidak menuntut negara menjamin kesejahteraannya.
Bila kita melihat dari kacamata Islam, dalam menyelesaikan permasalahan perempuan seperti ini tentu akan sesuai dengan fitrah seorang perempuan. Di dalam islam, sistem pengupahan, baik untuk laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan, mereka akan diupah sesuai dengan kerjanya. Namun, perlu digaris bawahi selain dalam hal pekerjaan, seorang perempuan memiliki peran dan kewajiban lain yakni peran domestik yang justru merupakan peran utamanya. Islam telah menjaga wanita sejak ia kecil hingga akhir hayatnya, perempuan memiliki peran sebagai anak, sebagai wanita dewasa, dan sebagai ibu. Mencari nafkah seyogyanya merupakan tugas dan tanggung jawab kewajiban seorang suami. Terdapat referensi tentang perkara boleh atau tidaknya seorang perempuan bekerja diluar rumah. Dalam Hadis Bukhari, Rasulullah SAW pernah bersabda “perempuan itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya”. Sementara di hadis lain, Rasulullah pernah bersabda “sebaik baik canda seorang muslimah di rumahnya adalah bertenun”. Ini artinya bahwa perempuan juga diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang berarti. Belajar dari ummul mukminin Khadijah ra adalah seorang pedagang yang sukses. Atau pada saat saat tertentu tenaga wanita dibutuhkan dalam berbagai bidang seperti kedokteran, tenaga pendidikan, dll.
Kebutuhan kita adalah tegaknya khilafah agar muslimah yang bekerja diluar ataupun di rumah dijaga kehormataannya, sehingga perempuan tidak dijadikan sebagai ikon ekonomi yang dieksploitasi dan menyalahkan fitrahnya. Wallahu a’lam.
Sumber Referensi
https://kumparan.com/kumparanwoman/perayaan-hari-kesetaraan-upah-perempuan-indonesia-digaji-23-persen-lebih-rendah-1uEHtSWo9OE
https://entrepreneur.bisnis.com/read/20200921/52/1294380/perempuan-terima-upah-lebih-rendah-dibandingkan-dengan-laki-laki
Post a Comment