Ibu Rumah Tangga
Daftar negara di Teluk Arab yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel semakin bertambah. Sebelumnya Mesir dan Yordania kemudian pada tanggal 15 September 2020 disusul Uni Emirat Arab dan Bahrain. Perjanjian perdamaian Abraham Accords resmi ditandatangani di Gedung Putih Amerika Serikat, yang langsung disaksikan oleh Presiden AS Donald Trump. Bagi Presiden Trump, normalisasi ini merupakan salah satu pencapaian kerja diplomasi AS di Timur Tengah. Sedangkan Palestina menganggap kesepakatan ini tak sejalan dengan beberapa dekade konsensus Arab dimana hubungan dengan negara Yahudi tidak boleh dinormalisasi sampai negara itu menandatangani kesepakatan damai yang komprehensif dengan Palestina. Namun di sisi yang lain, Palestina tidak terlalu terkejut dengan normalisasi ini karena sebelumnya UEA telah melakukan hubungan diplomatik “tak resmi” dengan Israel setidaknya sejak 2015, sedangkan Bahrain telah mencabut boikot terhadap produk dan perusahaan Israel sebagai ganti pasar bebas dengan Amerika Serikat.
Berdasarkan kesepakatan tersebut Israel setuju untuk &menangguhkan& aneksasi bagian Tepi Barat yang diduduki, tanpa mengatakan berapa lama penangguhannya. Ini artinya normalisasi bukan berarti menghentikan rencana aneksasi atau pencaplokan Tepi Barat (Republika, 4/10/2020). Protes Otoritas Palestina atas kegagalan blok regional untuk mengambil sikap terhadap kesepakatan normalisasi Israel-UEA-Bahrain, dengan mundur dari persatuan Liga Arab pada 22 September 2020. Posisi Pemerintah Indonesia sendiri setelah dua hari penandatanganan Abraham Accords, sebagaimana disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Teuku Faizasyah, saat jumpa pers secara virtual di Jakarta tetap mendukung kemerdekaan Palestina dan mengecam segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina, walaupun beberapa negara di Teluk mulai menunjukkan sikap yang lunak terhadap Israel. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, lewat rekaman video yang ditayangkan pada Sidang Umum ke-75 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23 September 2020 mengatakan, “Palestina adalah satu-satunya negara yang hadir di Konferensi Bandung, namun sampai sekarang belum menikmati kemerdekaannya, Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina untuk mendapatkan hak-haknya”. Akan tetapi di kesempatan lain, yaitu pada Maret 2016 lalu, sejumlah media Israel mengutip pernyataan Wakil Menlu Israel, Tzipi Hotovely, yang menyebut bahwa Indonesia memiliki 'hubungan diplomatik rahasia' dengan Israel terkait rencana pembukaan konsul Indonesia di Ramallah. Tuduhan ini langsung dibantah oleh pemerintah Indonesia kepada BBC Indonesia dengan menyatakan tidak ada 'pertemuan rahasia' antara pejabat senior Israel terkait kunjungan Menlu Retno Marsudi ke Ramallah.
Terkait perjanjian kesepakatan Abraham Accords menurut pengamat militer dan pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie, Indonesia sebagai negara mayoritas Islam terbesar harus berani membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebagai upaya untuk memudahkan Indonesia melakukan diplomasi dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina (26/9). Tidak mungkin Indonesia dapat berperan secara konkret dalam mendamaikan Israel dan Palestina jika hanya condong ke salah satu pihak. Beliau menilai normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel jangan dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kemerdekaan Palestina. Justru semakin banyak negara-negara Arab yang membuka hubungan dengan Israel, tidak menutup kemungkinan kemerdekaan Palestina dapat segera terwujud. Pandangan berbeda disampaikan oleh pengamat hubungan internasional Timur Tengah Dina Y. Sulaeman, cara Indonesia untuk membantu mewujudkan kemerdekaan Palestina adalah dengan diplomasi, bukan membuka hubungan dengan Israel. Senjata Indonesia untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel adalah dengan tekanan diplomatik. Apabila Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel maka upaya Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina di PBB akan sia-sia. Pernyataan senada juga disampaikan oleh Yara Hawari seorang analis kebijakan senior di Al Shabaka yaitu lembaga kajian independen di Palestina, melalui wawancara dengan Sky News, stasiun televisi asal Inggris yang tayang tanggal 15 September 2020 mengatakan normalisasi itu luput mengakui adanya praktik penjajahan dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang saat ini dialami Bangsa Palestina. Sependapat dengan pemikiran Hawari, Direktur Eksekutif Palestine Institute for Public Diplomacy Salem Barahmeh pekan lalu mengatakan normalisasi hubungan dengan Israel itu tidak sejalan dengan perjuangan rakyat Palestina yang menghendaki kemerdekaan, salah satunya bebas dari pendudukan militer tentara Israel. Bagaimana Islam menyelesaikan masalah Palestina?
Permasalahan Palestina tidak terlepas dari sejarah masa lalu hingga kemudian Palestina dikuasai oleh kaum kafir. Perang Salib yang dicanangkan negara-negara Kristen Eropa telah menjadikan Palestina sebagai ajang konflik agar daerah Timur Tengah terus bergejolak. Strategi yang digunakan adalah dengan mencangkokkan negara Yahudi di Bumi Palestina oleh Inggris dan kroni-kroninya kemudian dilanjutkan Amerika sebagai penyokong utama negara Israel. Untuk menjaga dan menjamin pendudukan Israel di Tanah Palestina tipuan yang mereka lakukan dengan melakukan kesepakatan demi kesepakatan. Ada perjanjian damai antara Mesir-Israel pada 1979 lalu diikuti dengan perjanjian damai Israel-Yordania pada 1994. Berdirinya negara Israel dimulai dengan persetujuan PBB pada 29 November 1947 yang didukung penuh AS di atas 55% Tanah Palestina. Kemudian dideklarasikan oleh PM Israel pertama, David Ben-Gurion, yang segera melakukan pengusiran dan pembunuhan lebih besar lagi terhadap kaum Muslim di Palestina. Kondisi ini menyebabkan negara-negara tetangga Palestina (Mesir, Yordan, Libanon dan Suriah) mengumumkan perang terhadap Israel, yang terjadi tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973. Namun, Perang Arab-Israel ini tidak lebih dari perang sandiwara dan hanya membuat mitos seolah-olah Israel tidak terkalahkan. Perang ini sekaligus menjadi bukti pengkhianatan para pemimpin Muslim. Apalagi setelah perang 6 hari di tahun 1967, wilayah Israel bahkan bertambah menjadi 70%. Hingga hari ini Israel dengan brutal mencaplok wilayah Palestina hingga menguasai lebih dari 90%-nya. Nafsu mereka yang lebih besar adalah membersihkan semua Muslim dan seluruh simbol-simbolnya di kawasan Palestina.
Jadi, masalah sesungguhnya dari krisis Palestina adalah pendudukan Israel di Palestina, tanah milik kaum Muslim; bukan masalah perbatasan Palestina-Israel atau yang semisalnya. Selama Israel tetap bercokol di Bumi Palestina masalah Al-Quds dan Palestina tidak akan pernah selesai. Saat Khilafah Islam masih ada pendudukan tanah Palestina oleh Yahudi tidak pernah terwujud. Khalifah kaum Muslimin saat itu yaitu Khalifah Abdul Hamid II dengan lantang mengatakan “Tanah itu bukan milikku, tetapi milik umatku.” (Khalifah Abdul Hamid II, 1897). Khalifah Abdul Hamid II kemudian mengultimatum Dr. Hertzl dari pihak Yahudi supaya jangan meneruskan rencananya, “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Karena itu, silakan Yahudi menyimpan saja harta mereka. Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Namun, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.” (Khalifah Abdul Hamid II, 1902)
Sekiranya umat Islam menyadari dan fokus mengembalikan keberadaan Khilafah yang bakal menjadi solusi final atas tragedi Palestina maupun tragedi-tragedi di Dunia Islam lainnya, tentu masalahnya tidak akan berlarut-larut seperti saat ini. Israel sesungguhnya tidak mempunyai kemampuan untuk berdiri sebagai sebuah negara dan berdiri kokoh tanpa ditopang oleh Inggris dan AS. Oleh sebab itu, hanya Khilafah yang akan memimpin dan mengkomandoi 1,5 miliar kaum Muslim di seluruh dunia untuk berjihad menghadapi Inggris, AS dan sekutunya, sekaligus membersihkan antek-antek mereka dari seluruh negeri kaum Muslim. Khilafahlah yang akan melindungi dan mempertahankan seluruh wilayah dan tanah kaum Muslim. Adapun solusi-solusi yang ditawarkan saat ini seperti bantuan kemanusiaan, gencatan senjata, perdamaian, resolusi DK PBB, KTT Liga Arab maupun pengiriman pasukan perdamaian sesungguhnya bukanlah solusi. Buktinya, meski semuanya itu terus-menerus dilakukan sejak 50 tahun yang lalu hingga kini, tidak pernah bisa menyelesaikan masalah Palestina dengan tuntas. Bahkan solusi-solusi tersebut semakin memalingkan kaum Muslim dari solusi Islam yang sesungguhnya, yakni dengan menegakkan kembali Khilafah. WalLahu a’lam bi ash-shawwab.
Post a Comment