Rapat paripurna DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang- Undang (RUU) Cipta Kerja walau mendapat banyak penolakan dari kalangan buruh dan pihak lainnya. (05/10).
Sementara ratusan ribu orang yang tergabung dalam organisasi buruh, petani, dan mahasiswa dari 30 kota di Indonesia sejak pekan lalu menyatakan akan menggelar mogok nasional dan aksi unjuk rasa serentak untuk menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Kelompok buruh dan lainnya menyebut aksi ini merupakan perjuangan terakhir mereka menolak Omninus Law yang dianggap merugikan buruh dan hanya menguntungkan pengusaha.
Penolakan buruh terhadap UU Cipta Kerja sangat beralasan. Hal ini karena UU tersebut merugikan dan mengeksploitasi buruh. Dengan dalih ingin menarik investasi masuk ke Indonesia, buruh yang dikorbankan. Upah buruh semakin ditekan dengan menghapus upah minimum. Sebagai gantinya diberlakukan upah per jam.
Upah per jam juga akan menyulitkan buruh karena nilai total upah per bulan di bawah upah minimum. Padahal di masa pandemi ini kebutuhan hidup semakin tinggi karena harga barang yang naik. Jika upahnya ditekan, para buruh akan semakin jauh dari kesejahteraan.
Demikian juga tentang aturan pemotongan dan penghapusan pesangon, cuti yang tidak ada kompensasi, tidak ada status karyawan tetap dan masih banyak lagi. Maka wajar banyak komponen masyarakat yang menolak UU ini.
Padahal buruh adalah bagian dari masyarakat yang juga mempunyai kebutuhan hidup yang harus dipenuhi bagi diri sendiri dan keluarganya. Sehingga harapan untuk mendapat upah yang layak selalu didengungkan. Buruh ingin kehidupannya lebih sejahtera. Sementara pengusaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan menekan biaya produksi. Sehingga sering terjadi konflik pengusaha-buruh.
Di sisi lain pemerintah hanya menyediakan regulasi yang sering menguntungkan pengusaha. Di zaman pemilu langsung para pengusaha acap kali menjadi penyandang dana penguasa. Maka menjadi kewajaran penguasa lebih condong kepada pengusaha. Akibatnya buruh makin tertekan oleh peraturan yang dibuat penguasa. Padahal buruh juga rakyat yang harus diurusi nasibnya.
Manusia memang tidak akan bisa berlaku adil untuk semua kalangan karena dipengaruhi kepentingan tertentu. Berbeda jika aturan itu berasal dari Sang Pencipta, Dzat yang tidak punya kepentingan terhadap manusia. Pasti ketentuannya adil dan dalam rangka membaikkan manusia. Semua tertuang dalam ajaran agama. Islam agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehudupan termasuk tentang perburuhan.
Islam memerintahkan majikan menggaji sasuai dengan akad kesepakatannya dengan pekerja. Tidak saling mendzalimi. Terdapat hadis riwayat Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”
Rasulullah Saw. juga menyampaikan hadis: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR Muslim)
Jadi gaji harus layak dan sesuai dengan curahan tenaga/pikiran yang dicurahkan atau standar profesinya. Dan pekerja harus menjalankan pekerjaan yang sudah disepakatinya.
Sementara terkait dengan kebutuhan pendidikan dan kesehatan adalah tanggungan negara untuk seluruh rakyat tanpa membayar premi, tidak menjadi tanggungan pengusaha. Jika tetap penghasilan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup masih ada mekanisme zakat, infaq dan sodaqoh. Mekanisme ini pernah dijalankan oleh islam ketika berdirinya khilafah islam dulu. Wallahu a'lam bis showab.
Post a Comment