Dadapan, Desa Pakistaji, Kec. kabat, Kab. Banyuwangi
Gelombang demo di berbagai daerah menolak pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI masih terus bergema. Para Mahasiswa dan buruh pun kompak menggelar aksi turun ke jalan agar kebijakan tersebut dibatalkan. Setidaknya sejak disahkannya UU tersebut pada jumat lalu hingga kini protes terus berlanjut ke daerah-daerah. Banyaknya pasal-pasal yang disinyalir memangkas hak-hak buruh menjadi pemicu gelombang aksi ini terjadi.
Namun sayang, di tengah gencarnya aksi penolakan oleh masyarakat, justru tak nampak dari penguasa negeri ini merespon hal tersebut. Presiden Jokowi tetap melangsungkan kunjungan kerja ke Kalimantan Tengah. Padahal aksi protes ini diwarnai kericuhan di sejumlah daerah. Salah satunya demo di Patung Kuda, Monas, yang lokasinya tidak jauh dari Istana Ngara, tempat Presiden Jokowi berkantor (detiknews, 08/10/20).
Atas kjadian ini, Politikus Partai Demokrat, Andi Nurpati, menilai sikap Presiden Jokowi bukanlah sikap kepala negara. Sebab, sangat tidak layak Kepala Negara meninggalkan kantornya di saat tahu rakyatnya akan datang untuk menyampaikan aspirasi (wartaekonomi, 09/10/20).
Kealpaan Presiden dalam situasi ini seolah menunjukkan hilangnya empati penguasa. Betapa tidak, disaat negeri dalam kondisi ricuh, rakyat berharap adanya klarifikasi Penguasa atas kebijakan yang diberlakukan, namun yang didapat justru sebaliknya. Jika demikian wajarlah jika rakyat menaruh curiga adanya aroma kepentingan kapitalis dibalik pengesahan UU Ciptakerja ini. Bahkan sejauh ini baik penguasa dan para jajarannya justru nampak enggan bersuara perihal pengesahan UU yang dinilai banyak pihak terlalu terburu-buru. Beberapa klarifikasi pun tak melegakan rakyat, termasuk ketidakhadiran Jokowi di lokasi unjuk rasa. Bahkan tawaran Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani untuk uji materi (judicial review) UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi pun tak cukup melegakan rakyat. Disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonsia Tengku Zulkarnain, “Ratusan anggota DPR RI dan pihak pnguasa saja meloloskan Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law). Apakah 9 hakim MK bisa diharapkan memahami kehendak kaum buruh dan rakyat” (suara.com, 08/10/20).
Alih-alih memperbaiki hubungan dengan rakyat justru Penguasa melalui Mentri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan demo buruh guna menolak pengesahan Rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja ada yang menunggangi. “Sebetulnya, Pemerintah tahu siapa yang demo itu, kami tahu siapa yang mnggerakkan, siapa sponsornya, siapa yang membiayai. Pemerintah sudah tahu siapa tokoh-tokoh intelek dibalik penggerak demo” (CNN Indonesia, 08/10/20). Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto, menuding adanya dalang dibalik aksi penolakan UU Cipta kerja. Tak tanggung-tanggung, Prabowo bahkan menyebut pihak asing yang menjadi dalang demo omnibus law yang berujung rusuh tersebut (CNN Indonesia, 13/10/20). Sungguh ironi memang, sikap kritis rakyat akan kebijakan yang sejatinya sangat berdampak bagi kehidupan mereka terang-terangan tak digubris Penguasa.
Dalam Daulah Islam, persoalan mengkritik Penguasa ini justru menjadi hal biasa. Bahkan hal ini merupakan bagian dari ajaran Islam dan bagian dari Syariah Islam. Sebab Penguasa adalah manusia biasa yang sangat mungkin melakukan kesalahan, meski hukum yang diterapkan saat itu adalah hukum dari yang Maha sempurna. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah Saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada Penguasa yang lalim.” (HR. Imam Ahmad)
Tentu sudah masyhur diantara kita akan kisah Khalifah Umar bin Khattab yang menerima kritik dari seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan Surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar. Bahkan Khalifah Abu Bakar di masa awal menjabat sebagai Khalifah, dalam sebuah pidatonya beliau meminta nasihat rakyatnya, sebelum menasehati rakyatnya. “Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan.”
Para Khalifah ini bukan hanya menerima dengan hati yang lapang setiap kritik yang dilayangkan kepada dirinya, melainkan menimbang serta menyimak dengan penuh seksama dan kehati-hatian untuk selanjutnya diambil keputusan, apakah rakyat atau kebijakan darinya yang benar. Demikianlah penguasa muslim seharusnya dalam merespon kritik rakyat. Tak perlu alergi, risih atau justru melempar tuduhan untuk meredam kritik.
Post a Comment