DPR SAHKAN UU CIPTAKER TANPA MEMPERHATIKAN ASPIRASI PENOLAKAN PUBLIK


OLEH: HJ PADLIYATI SIREGAR ST

Rapat Paripurna DPR RI yang digelar Senin (5/10) ini di Kompleks DPR secara resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) CiptaKerja menjadi Undang Undang. 

Fraksi-fraksi yang setuju adalah PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN. Hanya Fraksi Partai Demokrat dan PKS yang menolak pengesahan RUU Ciptaker.

Sebelumnya RUU Cipta Kerja mulai dibahas DPR dan pemerintah pada April 2020. Sepanjang pembahasannya RUU Ciptaker mendapat banyak penolakan dari masyarakat sipil.

Elemen buruh, aktivis HAM dan lingkungan, serta gerakan prodemokrasi menolak pengesahan RUU Ciptaker karena dianggap merugikan pekerja dan merusak lingkungan.

RUU Ciptaker juga dituding lebih memihak korporasi, namun DPR dan pemerintah terus melanjutkan pembahasan RUU Ciptaker.

Bahkan  Demokrat menilai RUU Cipta Kerja dibahas terlalu cepat dan terburu-buru. “Sehingga pembahasan pasal-per pasal tidak mendalam,” kata juru bicara Fraksi Demokrat Marwan Cik Asan.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga disebut telah memicu pergeseran semangat Pancasila. “Terutama sila keadilan sosial ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neoliberalistik,” ujar dia.

Demokrat menyatakan RUU Cipta Kerja memiliki cacat baik secara substansial maupun prosedural. Marwan mengungkapkan dalam pembahasannya RUU Cipta Kerja tidak melibatkan masyarakat, pekerja, dan civil society.

“Berdasarkan argumentasi di atas maka Fraksi Partai Demokrat menolak RUU Cipta Kerja. Banyak hal perlu dibahas lagi secara komprehensif agar produk hukum RUU ini tidak berat sebelah, berkeadilan sosial,” ujar dia.

Sejumlah pihak pun menyoroti sikap pemerintah yang dinilai tidak transparan dan tergesa-gesa dalam mengesahkan undang-undang tersebut.

Padahal, Indonesia saat ini berada di masa pandemi yang membutuhkan penanganan ekstra melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tentu menjadi tanda tanya kenapa pemerintah dan DPR mengebut penyelesaian omnibus law RUU Cipta Kerja?

Menteri Koordinator Bidang Perekoomian Airlangga Hartarto menyebut UU Cipta Kerja merupakan cara agar Indonesia ke bisa keluar dari status negara berpenghasilan menengah.

"Bapak Joko Widodo dalam pelantikan presiden terpilih periode 2019 - 2024 pada 20 Oktober 2019 lalu telah menyampaikan kita punya potensi untuk dapat keluar dari jebakan penghasilan menengah," kata Airlangga

Demi mewujudkan ambisi itu, pemerintah harus menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kualitas tenaga kerja.
Namun, diperlukan pemangkasan regulasi atau aturan agar iklim investasi di dalam negeri menarik.

Untuk itu, Airlangga menyebutkan, disahkannya UU Cipta Kerja ini akan mengubah atau merevisi beberapa hambatan dengan tujuan menciptakan lapangan kerja.

"Undang-undang tersebut adalah instrumen untuk penyederhanaan dan peningkatan aktivitas birokrasi. Dan Alhamdulillah sore ini undang-undang itu diketok," kata dia.

Senada dengan yang dikatakan  Ketua DPR Puan Maharani bahwa, UU Cipta Kerja diharapkan mampu mempercepat kemajuan Indonesia.

"Melalui UU Cipta Kerja, diharapkan dapat membangun ekosistem berusaha di Indonesia yang lebih baik dan dapat mempercepat terwujudnya kemajuan Indonesia," ujar Puan dalam rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja.

Meski banyak pihak yang menilai pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan secara tertutup, Puan mengklaim pemerintah dan DPR telah membahas undang-undang itu secara transparan dan cermat sejak April 2020.

Bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh  Dosen Fisipol Universitas Diponergoro (Undip) Wijayanto mengatakan, dengan pengesahan RUU Cipta Kerja, pemerintah untuk kesekian kalinya menguji kesabaran rakyat.

"Pengesahan undang-undang ini bikin kita geleng-geleng kepala. Pemerintah selalu ada saja caranya untuk menguji kesabaran kita, setelah kemarin UU KPK caranya juga seperti itu," kata Wijayanto, kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).

Menurut dia, tidak adanya oposisi yang kuat setelah Pemilu 2019 ini memudahkan pemerintah dalam mengeluarkan undang-undang, meski menuai banyak sorotan.

Dengan kondisi itu, tak ada lagi pihak di parlemen yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

Ia mengatakan, motivasi pemerintah dalam mengesahkan UU Cipta Kerja secara cepat ini karena ada kepentingan yang sama, yaitu ekonomi politik di kalangan elite oligarki.

"Orang tidak akan sepakat pada satu hal kecuali mereka memiliki kepentingan yang sama. Nah, kepentingan yang sama itu menurut saya adalah kepentingan ekonomi politik di kalangan elite oligarki yang ingin agar kepentingan ekonomi politiknya bisa terwujud," jelas dia.

Hal ini, menurut dia, kembali menegaskan bahwa kebijakan pemerintah lebih berpihak pada pemilik modal dan elite politik. Kedua entitas itu dianggapnya tak bisa dipisahkan.

Oleh karena itu, ia menilai, tak heran jika pemerintah mengabaikan banyak aspek dalam sejumlah kebijakannya, termasuk UU Cipta Kerja.

"Rezim ini punya mata tapi tidak melihat, punya telinga tidak mendengar, dan punya hati tapi tidak merasa. Semua atas nama ekonomi kemudian gelap mata," ujar dia.


*Omnibus Law Perselingkuhan Kapitalis dan Penguasa*

Apabila di analisis kembali bahwa Omnibus Law sebagai teknik atau konsep untuk menyederhanakan berbagai aturan dapat menjadi salah satu jalan keluar guna menghadirkan regulasi yang sederhana dan mudah. Tetapi nyatanya konsep Omnibus Law dijadikan sebagai jalan pintas pemerintah karena tidak mampu merevisi atau menyusun peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan lagi. 

Bukannya memberikan solusi, malah menimbulkan kontroversi atas hadirnya konsep tersebut. 

Optimisme pemerintah guna menghadirkan investasi yang lebih besar ke Indonesia dengan menyederhanakan regulasi dianggap baik, tapi sayangnya menabrak segala aturan yang sudah ada. Baiknya jika memang menerapkan Omnibus Law terlebih dahulu melakukan revisi terhadap UU No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Apabila diperhatikan secara ekonomi-politik pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja, kepentingan ekonomi sangat mendominasi sehingga menimbulkan adanya penetrasi terhadap sub-sistem yang ada. Dominasi ekonomi yang ada merupakan wujud dari sistem kapitalisme yang ingin merambah ke sistem-sistem lainnya termasuk kepada sistem hukum. Adanya upaya untuk memasuki segala sub-sistem kehidupan masyarakat merupakan strategi baru kapitalisme atau new-kapitalisme untuk menguasai lini sentral yang paling dianggap memberi keuntungan sebesar-besarnya.

Pada proyeksinya bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan hasil dari perselingkuhan antara penguasa dengan kapitalis. Hal itu dapat dilihat dari perumusan yang hanya melibatkan kaum kapitalis, sementara dalam lingkaran penguasa sudah bercokol dan menyamar kaum kapitalis lainnya yang telah siap untuk mengobok-obok sumber-sumber vital bangsa Indonesia melalui regulasi atau aturan hukum.

Di sisi lain juga bahwa dengan RUU Cipta Kerja yang digagas oleh pemerintah tujuan utamanya untuk membuka kran investasi yang sebesar-besarnya guna peningkatan perekonomian Indonesia. 

Sangat jelas bahwa dengan adanya perselingkuhan antara penguasa dengan kapitalis akan sangat membahayakan karena adanya peluang yang sangat besar untuk mengambil kesempatan dan keuntungan melalui penyederhanaan regulasi.


Padahal peraturan perundang-undangan yang sebelumnya tidak memberikan solusi dan masih mencekik hajat hidup rakyat kini semakin parah melalui Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut. Diprediksi akan semakin menambah ketimpangan dan diskriminasi terhadap rakyat terutama beberapa tahun terakhir ketimpangan dan sengketa antara masyarakat dengan penguasa dan elite kapitalis semakin meningkat.

Sementara janji setia penguasa dalam sistem Demokrasi Kapitalis adalah kepada investor, bukan kepada rakyat. Jika pun rakyat diberi janji saat kampanye menjelang pemilu, itu hanya janji palsu. PPHP, Penguasa Pemberi Harapan Palsu

Rakyat dalam sistem Kapitalis Demokrasi pada akhirnya tidak lebih hanya sebagai tumbal, “tukang ojek”, yang mengantar agar penguasa duduk dan terlegitimasi di kursi kekuasaan. Setelah rakyat dibayar, diupah, putus hubungan, rakyat sudah pasti dilupakan.

Keadaan demikian terjadi, berawal dari sistem Pemilu dalam Demokrasi Kapitalisbaik untuk memilih kepada daerah atau kepala pemerintahan pusat yang meniscayakan biaya yang sangat besar. Mereka yang tidak memiliki modal, atau tidak disokong oleh para pemodal, bisa dipastikan tidak akan bisa lolos dalam bursa pencalonan.

Sehingga kolaborasi, hubungan mutualisme antara pengusaha atau investor, dengan calon penguasa mesti terjadi. Di sinilah visi, misi, kredibilitas, dan idealisme calon kepala pemerintahan pada akhirnya akan tersandra.

Janji-janji muluk kepada rakyat saat kampanye, visi misi membangun daerah atau bangsa yang berkarakter hampir dipastikan akan terlupakan. Segala kebijakan akan berorientasi kepada pemodal. Pembangunan yang dilakukan tidak lebih dari realisasi berbagai proyek para pemodal. Yang ujung-ujungnya adalah untuk membalikkan modal dan meraih profit. Rakyat kembali gigit jari dan menjerit.

Masih percaya dengan sistim demokrasi kapitalisme??

Post a Comment

Previous Post Next Post