Oleh: Anisa Rahmi Tania
Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Sekali seseorang yang diberi kepercayaan berkhianat, maka dia tidak akan lagi dipercaya. Demikian peribahasa tersebut menjelaskan akan nilai sebuah amanah.
Amanah yang diberikan oleh orang lain, semaksimal mungkin harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Bukan dijadikan alat untuk meraih mashlahat lain hingga terjerumus pada pengkhianatan. Ini merupakan gambaran dari perilaku para wakil rakyat, anggota legislatif.
Dilansir dari berita waspada.co.id (5/10/2020), rapat paripurna DPR RI resmi mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Keputusan ini diambil di tengah penolakan masyarakat, khususnya kaum buruh yang dipastikan terdampak langsung dari Undang-undang tersebut.
Dalam pengesahannya yang terkesan 'dikebut', diwarnai aksi walk out fraksi Demokrat akibat drama dimatikannya mik anggota fraksi Demokrat saat menyampaikan interupsi oleh ketua DPR. Namun, ketok palu pun mengakhiri rapat paripurna yang sedianya dilaksanakan tgl 8 Oktober, dimajukan menjadi tgl 5 okt.
Kegaduhan di media sosial tidak terelakkan. Penolakan atas pengesahan UU ini pun terjadi meluas di berbagai kota di Indonesia. Bukan ratusan orang yang turun ke jalan menyuarakan penolakan. Namun ribuan orang konvoi memenuhi jalan.
Di tengah ancaman pandemi covid-19 yang masih tinggi, massa dari elemen buruh dan mahasiswa, tidak gentar untuk bersama-sama memperjuangkan haknya.
Sejak semula, pembahasan RUU Cipta Kerja pada April 2020, sudah banyak menuai pro kontra. Namun DPR seakan menutup mata dan telinga dengan tetap mengesahkannya menjadi Undang-undang. penolakan yang dilontarkan bukan tanpa alasan. Tampak dalam pasal-pasalnya yang mengandung dharar untuk rakyat. Tidak heran jika banyak yang berargumen bahwa Undang-undang ini semakin memanjakan asing aseng.
Jika para anggota dewan meminta pihak-pihak yang kontra dengan disahkannya RUU Cipta Kerja ini untuk membaca drafnya, maka seharusnya mereka yang mengedukasi masyarakat. Bagian mana dari RUU ini yang pantas disahkan?
Sebut saja UU kawasan ekonomi khusus. Di pasal 38, terdapat perubahan UU kawasan ekonomi khusus (KEK). Di mana UU ini memberi fasilitas imigrasi dan kemanan bagi pendatang asing untuk masuk ke Indonesia melalui KEK.
Selain itu UU tentang penanaman modal yang terdapat pada pasal 12. Termaktub di dalamnya bahwa Omnibus Law ini membuka peluang penanaman modal asing pada industri Pertahanan Keamanan Nasional. Pasal ini juga telah menghapus ketentuan tentang bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dengan persyaratan. Padahal persyaratan tersebut merupakan pelindung berkembangnya UMKM (Usaha Mikro Kecil menengah) dari para pengusa bermodal besar. Lantas bagaimana nasib UMKM jika harus dihadapkan dengan pesaing asing, para kapital? Tidakkah negara memerhatikan itu?
Tidak cukup di sana, Omnibus Law ini pun telah menyejajarkan antara UMKM, industri yang menjaga kelestarian lingkungan dan industri di daerah terpencil, dengan bisnis pariwisata diskotik, klab malam, dan panti pijat. Sungguh miris.
Belum lagi jika membuka pasal terkait ketenagakerjaan. Alih-alih negara merangkul dan memelihara rakyatnya dengan bertanggungjawab atas hubungan kerja yang masih diserahkan pada perusahaan. Negara malah lebih menjauhkan uluran tangannya bagi nasib tenaga kerja.
Itulah beberapa bukti tindakan dzalim negara lewat pengesahan RUU ini. Mengapa dalam sistem yang bersemboyan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat ini malah lahir undang-undang tidak pro rakyat. Bukan kali ini saja, tapi sudah banyak peraturan lainnya yang melukai hak-hak rakyat. Itu tersebab demokrasi ini menjadikan pemegang kedaulatan adalah lembaga legislatif. Sekelompok orang yang duduk di kursi kekuasaan bukan atas dasar Ketaqwaannya tapi popularitas dan modal melimpah.
Ditambah dengan dasar pemikiran yang dijadikan rujukan adalah paham sekularisme. Paham yang melarang agama terlibat dalam pengurusan negara dan masyarakat. Sehingga duduknya mereka ditampuk kekuasaan bukanlah untuk memelihara rakyat. Namun untuk memenuhi ambisi dalam karier, harta, jabatan, dan kekuasaan. Ketamakan akan harta inilah motivasi terbesar para penguasa yang bergandengan mesra dengan para pengusaha.
Sungguh seharusnya mata umat kini terbuka melihat boroknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Undang-undang yang sejak awal kedatangannya telah mendapat penolakan bisa disahkan dengan rapat. Ini menandakan demokrasi memang hanya corong kapitalisme. Yang berkuasa dalam sistem ini adalah para kapital, bukan rakyat. Semboyan dari rakyat, untuk rakyat, dan untuk rakyat omong kosong belaka. Begitu pula dengan asas suara mayoritas yang menang. Ribuan orang yang turun ke jalan tidak diindahkan sama sekali.
Demokrasi hanya pemanis untuk membuat kebijakan-kebijakan dzalim bisa terbungkus apik. Pada akhirnya para kapital bersorak, sementara rakyat berteriak.
Di mana fungsi negara? Negara tentu tidak akan berdiri jauh dari para kapital. Posisinya harus diamankan dengan sokongan para milyuner. Sudah menjadi rahasia umum, duit menjadi modal terbesar untuk naik ke tampuk kekuasaan di alam demokrasi.
Luar biasa, sistem ini sejatinya akan terus membuat kerusakan. Apakah layak umat masih berharap pada demokrasi? Tidakkah mata umat melihat sistem lain yang telah dijamin kebaikan dan kebenarannya?
Itulah Islam. Sistem yang diwahyukan Allah Swt. Melalui Al-Qur'an dan assunah para Khalifah terdahulu telah memperlihatkan keagungan sistem ini.
Setiap kebijakan yang dibuat oleh Khalifah, baik berupa undang-undang, peraturan administrasi, dan lain-lain akan diijtihadi Qadhi madzalim. Tanpa menunggu reaksi pro dan kontra dari masyarakat, apalagi penolakan yang membuat masyarakat turun ke jalan.
Qadhi madzalim yang merupakan seorang Mujtahid selalu menjadikan Al-Qur'an dan assunah sebagai sumber rujukan. Sehingga jika kebijakan tersebut telah keluar dari hukum syara, maka wajib untuk dibatalkan. Tanpa proses yang berbelit-belit, tanpa menunggu jatuh korban, tanpa sanggahan dari pembuat kebijakan. Karena keputusan Qadhi dalam Islam adalah hukum syara yang wajib ditaati. Sekalipun yang dipersalahkan adalah Khalifah. Maka dia wajib taat.
Karena perkara kedzaliman adalah perkara yang harus dituntaskan oleh Qadhi madzalim. Termasuk sebuah pengkhianatan yang dilakukan pejabat negara atau wakil rakyat terhadap amanah yang telah disematkan padanya. Pengkhianatan yang membuahkan kedzaliman sudah seharusnya diakhiri.
Akan tetapi, tindakan dzalim dan tidak amanah ini akan terminimalisasi dengan sendirinya. Karena syarat pemegang kekuasaan dalam Islam salah satunya adalah adil dan mampu. Mampu menjadi pemimpin umat dan mampu menerapkan hukum-hukum Illahi. Artinya dia diharuskan orang yang beriman, bertakwa dan paham syariah Islam.
Maka tidak heran jika kita dapati dalam sejarah kekhilafahan, tergambar sosok khalifah, wali maupun lainnya adalah sosok sederhana. Namun mereka dicintai rakyatnya.
Hal tersebut tidak mungkin terwujud dalam sistem demokrasi. Karena sekali lagi, demokrasi hanya corong dari isme-isme barat yang rusak dan merusak.
Wallahu'alam
Post a Comment