Oleh: Baiq Megia Erviana
Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang (UU) dalam sidang paripurna, Senin (5/10/2020). UU ini disahkan meski banyak penolakan, khususnya dari para buruh yang berencana menggelar aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 ini.
Pengesahan RUU Ciptaker dilakukan setelah fraksi-fraksi memberikan pandangan. Dari 9 fraksi yang ada, 2 fraksi menolak untuk disahkan yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.
Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin sebagai pemimpin sidang, pada pukul 17.55, meminta persetujuan dalam forum paripurna. Dengan begitu agenda persetujuan RUU Ciptaker untuk menjadi UU Ciptaker telah berakhir. Aziz menskors sidang untuk swafoto para menteri yang hadir. Saat menentukan keputusan tersebut, terdapat 257 anggota DPR RI yang bolos atau tidak hadir. Padahal jumlah anggota dewan di DPR 575 orang dan rapat ini juga dibuka melalui saluran teleconference (tirto.id, 5/10/20).
.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menuturkan, pembahasan RUU Ciptaker melalui 64 kali rapat. Rinciannya 2 kali rapat kerja, 56 rapat panja, dan 6 kali rapat tim khusus dan sinkronisasi.
Demo diberbagai daerah pun sudah dilakukan, menjadi luapan rasa tidak setuju masyarakat terhadap undang-undang ini.
Bagaimana tidak UU CIPTAKER benar-benar menzhalimi rakyat terutama buruh. Dari rincian-rincian undang-undang ini dapat kita lihat dengan jelas bahwa buruh dicekik dan asing bergembira ria. Demokrasi katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, tapi mengapa UU CIPTAKER ini tetap di sahkan padahal dari sejak awal kemunculannya sudah menuai polemik dan penolakan oleh masyarakat, lalu dimanakah letak bahwa demokrasi ada untuk rakyat?
Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, adalah semboyan tempat bersembunyi kerusakan sistem demokrasi, bukan rakyat yang diuntungkan tapi rakyat dibuntungkan, dan para aparatur negara tidak peduli dengan itu, karena kepentingan mereka berjalan lancar.
Nyata sekali, bahwa negara ini dalam genggaman korporatokrasi. Rakyat sedang menjerit di tengah pandemi, kesehatan dan keselamatan yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah dalam mengurus rakyat tapi lebih mengutamakan korporat dengan mensahkan UU Cipta Kerja. Krisis diambang resesi pun tak berpengaruh untuk menunda atau mengcancle pengesahan ini, melainkan lebih semangat dalam mensahkannya.
.
Disinyalir pengesahan UU Cipta Kerja ini membawa angin segar bagi pemerintah, investasi akan banyak masuk ke negeri ini. Lalu, apakah keputusan pemerintah dalam mensahkan UU Cipta Kerja mampu menyelamatkan negeri ini dari resesi di tengah pandemi? Selama aturan manusia yang dipakai dengan topeng demokrasi atau apapun, sejatinya yang memiliki peran besar adalah korporatokrasi. Kebijakan yang diambil bukan untuk kepentingan rakyat atau bahkan menyelamatkan negeri ini tapi para korporat. Solusi pandemi dan resesi tak lain hanyalah dengan menggunakan aturan dari Sang Pencipta langit, bumi dan isinya, yaitu Islam.
Lalu bagaimana Islam mensejahterakan buruh?
Islam pun jelas mengatur tentang tenaga kerja, hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”
.
Rasulullah ï·º mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
.
Beberapa ketentuan yang akan menjamin diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi. Di antaranya: Hubungan antara majikan (musta’jir) dan buruh (ajir) adalah yaitu hubungan persaudaraan. Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, manusia tidak sama dengan barang modal. Manusia membutuhkan waktu untuk istirahat, sosialisasi, dan yang terpenting adalah waktu untuk ibadah. Tingkat upah minimum harus mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan dasar dari para tenaga kerja (Pengusaha muslim com).
.
Islam menjamin kebutuhan pokok warganya per kepala, kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat. Semua dilakukan semata-mata menunaikan amanah sebagai pengurus rakyat, agar rakyat sejahtera. Begitu sempurnanya Islam memiliki aturan dalam kehidupan.
Demokrasi Zhalimi Buruh, Khilafah Sejahterakan Buruh
Oleh: Baiq Megia Erviana
Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang (UU) dalam sidang paripurna, Senin (5/10/2020). UU ini disahkan meski banyak penolakan, khususnya dari para buruh yang berencana menggelar aksi mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020 ini.
Pengesahan RUU Ciptaker dilakukan setelah fraksi-fraksi memberikan pandangan. Dari 9 fraksi yang ada, 2 fraksi menolak untuk disahkan yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.
Wakil Ketua DPR RI Aziz Syamsuddin sebagai pemimpin sidang, pada pukul 17.55, meminta persetujuan dalam forum paripurna. Dengan begitu agenda persetujuan RUU Ciptaker untuk menjadi UU Ciptaker telah berakhir. Aziz menskors sidang untuk swafoto para menteri yang hadir. Saat menentukan keputusan tersebut, terdapat 257 anggota DPR RI yang bolos atau tidak hadir. Padahal jumlah anggota dewan di DPR 575 orang dan rapat ini juga dibuka melalui saluran teleconference (tirto.id, 5/10/20).
.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menuturkan, pembahasan RUU Ciptaker melalui 64 kali rapat. Rinciannya 2 kali rapat kerja, 56 rapat panja, dan 6 kali rapat tim khusus dan sinkronisasi.
Demo diberbagai daerah pun sudah dilakukan, menjadi luapan rasa tidak setuju masyarakat terhadap undang-undang ini.
Bagaimana tidak UU CIPTAKER benar-benar menzhalimi rakyat terutama buruh. Dari rincian-rincian undang-undang ini dapat kita lihat dengan jelas bahwa buruh dicekik dan asing bergembira ria. Demokrasi katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, tapi mengapa UU CIPTAKER ini tetap di sahkan padahal dari sejak awal kemunculannya sudah menuai polemik dan penolakan oleh masyarakat, lalu dimanakah letak bahwa demokrasi ada untuk rakyat?
Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, adalah semboyan tempat bersembunyi kerusakan sistem demokrasi, bukan rakyat yang diuntungkan tapi rakyat dibuntungkan, dan para aparatur negara tidak peduli dengan itu, karena kepentingan mereka berjalan lancar.
Nyata sekali, bahwa negara ini dalam genggaman korporatokrasi. Rakyat sedang menjerit di tengah pandemi, kesehatan dan keselamatan yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah dalam mengurus rakyat tapi lebih mengutamakan korporat dengan mensahkan UU Cipta Kerja. Krisis diambang resesi pun tak berpengaruh untuk menunda atau mengcancle pengesahan ini, melainkan lebih semangat dalam mensahkannya.
.
Disinyalir pengesahan UU Cipta Kerja ini membawa angin segar bagi pemerintah, investasi akan banyak masuk ke negeri ini. Lalu, apakah keputusan pemerintah dalam mensahkan UU Cipta Kerja mampu menyelamatkan negeri ini dari resesi di tengah pandemi? Selama aturan manusia yang dipakai dengan topeng demokrasi atau apapun, sejatinya yang memiliki peran besar adalah korporatokrasi. Kebijakan yang diambil bukan untuk kepentingan rakyat atau bahkan menyelamatkan negeri ini tapi para korporat. Solusi pandemi dan resesi tak lain hanyalah dengan menggunakan aturan dari Sang Pencipta langit, bumi dan isinya, yaitu Islam.
Lalu bagaimana Islam mensejahterakan buruh?
Islam pun jelas mengatur tentang tenaga kerja, hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”
.
Rasulullah ï·º mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadis: “Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, sehingga barangsiapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan pada mereka tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
.
Beberapa ketentuan yang akan menjamin diperlakukannya tenaga kerja secara manusiawi. Di antaranya: Hubungan antara majikan (musta’jir) dan buruh (ajir) adalah yaitu hubungan persaudaraan. Beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, manusia tidak sama dengan barang modal. Manusia membutuhkan waktu untuk istirahat, sosialisasi, dan yang terpenting adalah waktu untuk ibadah. Tingkat upah minimum harus mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan dasar dari para tenaga kerja (Pengusaha muslim com).
.
Islam menjamin kebutuhan pokok warganya per kepala, kesehatan dan pendidikan gratis bagi rakyat. Semua dilakukan semata-mata menunaikan amanah sebagai pengurus rakyat, agar rakyat sejahtera. Begitu sempurnanya Islam memiliki aturan dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bishawwab
Post a Comment