Oleh : Setya Kurniawati
(Aktivis BMI Malang dan Pena Langit)
Lebih dari 1.000 orang yang terdiri dari kelompok mahasiswa dan buruh menggelar unjuk rasa dan pawai di Jakarta, Selasa (20/10), menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Sebelum undang-undang cipta kerja disahkan memang sudah menuai banyak polemik dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat baik para pakar politik, mahasiswa, buruh, dan sebagainya. Mulai dari demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia dan ramai penolakan di sosial media. Namun pemerintah dan DPR tetap mensahkan UU yang penuh kotra ditengah masyarakat ini.
Lantas apa problem undang-undang cipta kerja sehingga menuai banyak penolakan?
Pertama, pandemi covid19 lebih mendesak untuk diselesaikan. Tercatat dalam instagram @kawalcovid19.id per tanggal 18 Oktober 2020 penambahan kasus positif di Indonesia masih lebih dari 4000 per hari, dan total meninggal 285.324 orang. Sehingga pemerintah seharusnya lebih berfikir serius menangani pandemi karena ratusan ribu nyawa rakyat sudah melayang akibat pandemi ini.
Kedua, cacat secara prosedur. Pembuatan undang-undang ini menuai banyak kritik karena disinyalir tidak sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam undang-undang nomer 12 tahun 2011, pasal 16-23, pasal 43-51, pasal 65-74 yaitu dalam penyusunan tidak banyak melibatkan berbagai pihak dan saat sidang paripurna banyak anggota belum mendapat naskah akademik.
Ketiga, substansi banyak kejanggalan. Pasal 42 berkaitan kemudahan masuknya tenaga kerja asing, kemudian pesangon memang tidak dihilangkan tapi dikurangi, awalnya 32 kali gaji menjadi 25 kali gaji. Ini menunjukkan kebijakan yang lebih menguntungkan pengusaha daripada rakyat. Terdapat pasal yang semakin meliberalisasi sumber daya alam Indonesia untuk dipermudah dimiliki oleh swasta, dan masih banyak lagi.
Sehingga memang kita harus menolak undang-undang ini. Bahkan tidak cukup dengan langkah aksi pencabutan undang-undang cipta kerja, karena penyelesaian tidak sampai pada akar masalah. Apabila undang-undang ini dicabut tidak menutup kemungkinan akan keluar kebijakan lain yang serupa.
Penulis menulis analisa mengapa kebijakan yang dibuat terus tidak memihak kepada rakyat sampai pada titik temu akar permasalahannya yaitu: Pertama, ongkos politik demokrasi mahal. Sehingga kebijakan yang diterapkan sarat akan kepentingan para kapital untuk mengembalikan uangnya. Kedua, ekonomi yang kita terapkan adalah ekonomi kapitalis. Sehingga hanya menguntungkan para kapital sudah menjadi hal umum dalam sistem ini yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Ketiga, akibat menggunakan hukum buatan manusia. Kita pahami bersama kebijakan dibuat berasal dari hawa nafsu manusia pasti sarat atas kepentingan tertentu. Padahal Allah sudah menjelaskan bahwa yang berhak menetapkan hukum hanyalah Allah SWT, hukum sang pencipta pasti lebih adil karena tau mana yang terbaik untuk hambaNya.
Sehingga, akibat kerusakan ini adalah kita berlepas dari aturan Allah SWT. Sudah seharusnya kita kembali kepada Islam karena Sang Pencipta lebih tau problem dan solusi haqiqi untuk hambaNya, Islam sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan bukan hanya ibadah ritual. Contohnya berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, dalam Islam dikelola oleh Negara dan digunakan untuk fasilitas umum misal dalam pendidikan dan kesehatan digratiskan untuk rakyat baik muslim maupun non muslim. Selain mensejahterakan dan adil menerapkan Islam kaffah merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim yang akan dipertanggungjwabkan dihadapan Allah SWT.
Jelas bahwa langkah
perjuangan kita tidak sekedar mencabut undang-undang cipta kerja, tapi saatnya
memperjuangkan solusi haqiqi dengan menerapkan syariat islam kaffah dalam
bingkai khilafah, dengan mencontoh teladan mulia kita terbukti berhasil
mengubah zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang dengan Islam yaitu
perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Post a Comment