Wisata Medis di tengah Pandemi, Perlukah?

Oleh Hanin Syahidah

Pandemi belum usai. Tertanggal 4 September 2020, kisaran angka positif Covid-19 mencapai 187.457 orang. Sebagaimana dilansir Kompas.com (08/20) terhitung sejak awal pandemi, dokter yang meninggal mencapai 100 orang. Sungguh negeri ini telah kehilangan aset bangsa dari tenaga medis yang mencetaknya butuh waktu yang tidak sebentar. Kematian 100 dokter menjadikan kerugian negara tak ternilai. Secara kerugian materiil, kita harus mendidik lagi dokter, itu perlu waktu. Kalau dihitung dengan uang, besar sekali kerugian itu," kata Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (1/9). 

Miris rasanya, saat rakyat berjuang melawan Covid-19 pemerintah justru memunculkan wacana wisata medis. Bukannya dikaji solusi yang jitu untuk menekan semakin bertambahnya korban akibat Covid-19, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Luhut Binsar Pandjaitan malah memerintahkan BKPM yang dikepalai oleh Bahlil Lahadalia mendatangkan rumah sakit asing ke Indonesia. Paradoks yang menyakitkan. 

Luhut beranggapan, lewat wisata medis ini nantinya pemerintah ingin Indonesia melakukan diversifikasi ekonomi, menarik investasi luar negeri, penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan industri layanan kesehatan di Indonesia, serta menahan laju layanan kesehatan serta devisa kita agar tidak mengalir ke negara-negara yang lebih sejahtera. 

"Untuk mendukung industri wisata medis ini, saya rasa perlu adanya dukungan dari pemerintah melalui promosi masif serta fasilitas-fasilitas penunjang lainnya, seperti membangun rumah sakit berstandar internasional seperti John Hopkins di Amerika Serikat." (CNBC Indonesia, Agustus 2020). Jodi Mahardi, juru bicara Kemenko Kemaritiman dan Investasi mengatakan, tengah mengkaji izin masuk bagi dokter asing ke Indonesia. Dokter yang akan didatangkan adalah dokter spesialis yang belum ada di Indonesia (Sindonews.com, Agustus 2020).

Masih sangat segar dalam ingatan kita, bagaimana di antara 100 dokter yang meninggal karena wabah ini adalah dokter spesialis yang hanya 1 dari 10 saja dokter ahli di Indonesia. Netizen pun berduka atas kabar tersebut, seperti diungkap Profesor ekonomi di IPB dan Perbanas, Hermanto J. Siregar. "100 bukan sekadar angka. Banyak kesedihan & kekhawatiran di belakangnya. Sampai kapan akan terus bertambah?" cuitnya. Untuk menghasilkan pendidikan dokter butuh waktu yang lama, apalagi spesialisasinya, dan bagaimana satu dokter itu sangat dibutuhkan oleh banyak pasien dengan beragam penyakit terutama dalam kondisi wabah seperti  sekarang.

Apakah kondisi ini dengan mudah terjawab oleh kepentingan ekonomi semata? Demi menggenjot investasi yang jujur diakui sejak pandemi masih belum sesuai target. Kepala BKPM mencatat realisasi investasi yang masuk ke Indonesia sebesar Rp402,6 triliun pada semester I 2020. Realisasi yang terjadi di tengah penyebaran virus corona itu mencapai 49,3 persen dari target investasi tahun ini yang sebesar Rp817,2 triliun. (CNN Indonesia.com, Juli 2020).

Berbagai dalih dipaparkan demi terealisasinya investasi di bumi pertiwi. Dari dalih supaya devisa tak dibawa keluar hingga terbukanya lapangan pekerjaan. Namun, dalih tersebut hanya sebatas wacana yang faktanya tidak berimbas pada kesejahteraan rakyat secara langsung. “Investasi yang semakin tinggi ternyata tidak membawa manfaat bagi tenaga kerja Indonesia. Terbukti angka pengangguran Indonesia masih sangat tinggi, yakni dikisaran 17 juta angkatan kerja” (BKPM, 2019).

Liberalisasi Kesehatan Buah Kapitalisme
Tak bisa dimungkiri bahwa apa pun yang menjadi kebijakan negara yang berkiblat pada Kapitalisme, yang jadi bahan pertimbangannya tak lain soal ekonomi. Diakui atau tidak itulah fakta yang ada di negeri ini. Bagaimana nyawa manusia hanya dinilai sekadar statistik dan kondisi pandemi tetap menjadi peluang untuk menggenjot investasi. Sebagaimana halnya akhir-akhir ini, wisata medis jadi objek yang dilirik pemerintah. Mengikuti negara tetangga, Singapura dan Penang Malaysia yang sukses dengan program wisata medis tersebut. 

Kesehatan adalah kebutuhan vital bagi rakyat dan seharusnya didapat dengan harga murah bahkan gratis. Tentu dengan fasilitas yang terbaik. Bukan malah jorjoran harga layaknya perusahaan-perusahaan swasta. Kondisi belum ada wisata medis saja, layanan kesehatan sangat susah diperoleh rakyat. Apatah lagi, jika wisata medis sudah menggeliat. 

Anekdot “orang miskin dilarang sakit”, nyatanya memang benar adanya. Tak terbantahkan. Mahalnya biaya kesehatan membuat rakyat miskin di negara ini tak mampu mengenyam kesehatan dengan fasilitas terbaik. Apalagi di tengah pandemi seperti saat ini, untuk mendeteksi dirinya terpapar atau tidaknya virus Covid-19, harus merogoh saku dengan angka 1-2 jutaan sekali swab test. Miris bukan?

Layanan dan Jaminan Kesehatan dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Maka, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam Islam. Pertama, tindakan preventif. Islam adalah agama yang selalu berisi peringatan-peringatan seperti halnya aspek amar makruf dan nahi mungkar sebagai salah satu bentuk upaya preventif yang ada dalam Islam. Terkait kesehatan, Islam memerintahkan untuk memakan makanan yang halal lagi baik.

"Makanlah oleh kalian rezeki yang halal lagi baik yang telah Allah karuniakan kepada kalian” (TQS. An-Nahl [16]: 114). Termasuk ketika Islam melarang memakan binatang buas, berkuku tajam dan bertaring, binatang yang menjijikkan. Semua itu adalah salah satu bentuk pencegahan Islam agar tidak tertular penyakit dan hikmah itu kita rasakan saat ini. Yakni bagaimana virus Corona yang ada di kelelawar itu ditularkan dari perilaku yang tidak bijak dalam memilih makanan. 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934). An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan memiliki taring –menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).” 

Islam pun memerintahkan umatnya untuk makan secukupnya, tidak berlebih-lebihan. Dari Shalih bin Yahya bin al-Miqdam bin Ma'di Kariba dari ayahnya dari kakeknya Miqdam berkata: “Saya mendengar Rasul saw. bersabda: 'Tidaklah anak Adam mengisi penuh suatu wadah yang lebih jelek dari perutnya, cukuplah bagi mereka itu beberapa suap makan yang dapat menegakkan punggungnya, maka seharusnya baginya sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, sepertiga untuk dirinya atau udara.” (HR. Al-Baihaqi). Termasuk bagaimana perintah untuk menahan lapar dengan memperbanyak puasa sunnah. Jadi seharusnya negara membangun suasana membentuk pola hidup sehat bagi masyarakat seluruhnya, tentu dengan berbagai dukungan dari negara.

Kedua, tindakan kuratif. Ada upaya yang harus dilakukan negara jika rakyatnya sakit. Yakni, penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas yang didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan serta memadai. Selain itu, sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara. Karenanya negara wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotek, lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan serta sekolah kesehatan lainnya yang menghasilkan tenaga medis.

Negara juga wajib mengadakan pabrik  yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan. Menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, akupunkturis, penyuluh kesehatan dan lain sebagainya. Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat tanpa diskriminasi. 

Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara maupun milik umum. Maka dengan begitu, apabila terjadi kasus wabah penyakit menular dapat dipastikan negara dengan sigap akan membangun rumah sakit untuk mengarantina penderita, atau membangun tempat karantina darurat. Serta mendatangkan bantuan tenaga medis yang profesional untuk membantu agar wabah segera teratasi.

Tata kelola wilayah dan sanitasi yang baik juga sangat diperlukan untuk tetap menjaga pola hidup sehat bagi rakyat. Hal ini mencakup tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian dsb. Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, Maha Bersih dan mencintai kebersihan. Maha Mulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu bersihkanlah rumah dan halaman kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi.” (HR. At Tirmidzi dan Abu Ya’la)

Yang berikutnya jika terjadi wabah penyakit seperti sekarang ini adalah dengan karantina, Rasulullah juga pernah memperingatkan umatnya untuk tidak mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda: “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah tersebut. Sebaliknya jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu” (HR. Al Bukhari).

Selanjutnya adalah menginisiasi adanya vaksin. Umat Islam terdahulu mengembangkan ikhtiar baru mengatasi pandemi, yakni vaksinasi. Cikal bakal vaksinasi itu dari dokter-dokter muslim zaman Khilafah Utsmaniy. Seharusnya ini yang jadi fokus untuk dikembangkan saat ini dengan banyaknya ahli di negeri ini. Bukan hanya menunggu vaksin dari luar yang siap dipasarkan dan lagi-lagi rakyat harus bayar mahal untuk mendapatkannya. Dengan berbagai kebobrokan yang ada, lantas masih tetap percaya pada Kapitalisme? Padahal Islam telah menyodorkan aturan paripurna yang akan memberikan kemaslahatan. 
Wallahu a’lam bi ash-shawab []
Previous Post Next Post