Pernyataan Petinggi PDI Perjuangan,
terhadap Sumatera Barat (Sumbar) akhinya menuai babak baru. Asalnya
dengan diberitakannya bakal
calon Gubernur Sumbar Mulyadi dan Ali
Mukhni yang direkomendasikan PDI-P dalam Pilkada Gubernur Sumbar 2020
mengembalikan surat dukungan dari partai tersebut.
Ini merupakan buntut panjang dari ucapan
Ketua DPP Bidang Politik dan Keamanan PDIP Puan Maharani pada Rabu 2 September
2020 lalu mengenai Pilkada Sumbar yang menjadi kontroversi dengan mengatakan
“Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila.” Pernyataan petinggi partai penguasa tersebut menyerang loyalitas masyarakat Sumbar
terhadap model negara saat ini, mengindikasikan ketakutan akan kekalahan
partainya oleh politik identitas di Sumbar, apalagi masyarakat Minang yang notabene memiliki akar
kuat perjuangan Islam.
Perkataan petinggi partai ini justru menjadi bomerang untuk
partainya sendiri yang terkesan menyudutkan masyarakat Sumbar
dan menimbulkan keresahan masyarakat. Ali
Mukni juga mengaku mendapat masukan dari para tokoh Minang yang merasa kecewa dengan
pernyataan Puan tersebut.
Hal serupa
disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, menurutnya mayoritas masyarakat Sumbar
masih mengidentikkan
PDIP Sebagai partai yang anti dengan tokoh-tokoh
Islam, sementara karakter masyarakat Sumbar masih sangat agamis dan intelektual.
Harus diakui, faktor Islam sendiri masih menjadi salah satu faktor pendongkrak
kemenangan suara. Bisa
terlihat menjelang Pilkada para bakal
calon legislatif mendadak berwajah Islami, seperti memakai atribut
yang Islami disusul
kedekatannya dengan tokoh-tokoh pemuka agama, hal ini demi mendapatkan
simpatisan dari masyarakat
sehingga dapat mengumpulkan pundi-pundi suara dalam Pilkada.
Namun sangat disayangkan, sosok yang didambakan tidak kunjung
datang. Karena setelah pemilihan selesai rakyat pun gigit jari. Alih-alih
mendapat pemimpin
yang amanah,
kenyataannya hanya sebatas pencitraan pada saat kampanye tidak ada bedanya
dengan parpol sekuler yang lain.
Munculah kerinduan pada sosok pemimpin
yang benar-benar berjiwa pemimpin dan terbaik di mata umat, yang berhasil menyejahterakan umat. Karena masyarakat saat ini sedang dalam
krisis kepercayaan terhadap para pemimpinnya. Kerinduan terhadap pemimpin masa lalu
juga dapat dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap pemimpin saat ini.
Kita butuh sosok pemimpin seperti Nabi
Ibrahim as yang tidak banyak bicara dan lebih suka bekerja. Beliau sangat berambisi menghasilkan
sesuatu yang nyata dan terbaik bagi negerinya. Kerinduan akan sosok pemimpin
seperti sosok Ibrahim as juga bermakna sebagai harapan terhadap pemimpin bangsa
ini agar segera bisa mengatasi permasalahan bangsa yang semakin banyak,
pemimpin yang tegas, berani, banyak bekerja, pro rakyat dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, kerinduan terhadap
masa lalu bukan harus diartikan sebuah kerinduan yang tidak tahu diri dan bukan
karena tidak mengerti seluk beluk sejarahnya. Kerinduan akan sosok pemimpin
yang bisa menyejahterakan
rakyatnya, jauh dari sifat zalim, korup, arogan dan semena-mena. Karena perilaku pemimpin yang taat kepada Allah SWT tentu mendatangkan keberkahan bagi
negeri yang dipimpinnya. Perbuatan
yang lurus akan menjadikan rakyatnya nyaman. Sementara
pribadi syukur senatiasa melipatgandakan anugerah-anugerah Allah yang telah
diterimanya.
Dengan kata lain, kriteria tersebut
adalah pondasi bagi sosok pemimpin yang berkarakter kuat, lurus dalam akidah dan ibadah, serta teguh memegang
amanah. Islam memberikan kriteria yang spesifik mengenai pemimpin karena
kepemimpinan sebagai sesuatu hal vital dan fundamental, Islam memandang
pemimpin menempati hirarki tertinggi dalam struktur bangunan sosial.
Dan sistem pengaturan Islam secara kaffah hanya ada dalam Daulah Khilafah
Islamiyyah, Rasulullah SAW sebagai
pemimpin seluruh umat yang membawa wahyu Allah berupa Al-Qur'an. Setelah
Rasulullah SAW wafat,
kepemimpinannya diteruskan
oleh para sahabat
mulai dari khulafaur rasyidin
sampai dengan Turki Utsmani. Rasulullah SAW
tidak meninggalkan pesan siapa yang akan menggantikan posisi beliau sebagai
pemimpin bukan sebagai
rasul.
Sebagai
umat Islam, salah satu tugas yang terpenting yaitu memilih kepala negara atau
khalifah dengan musyawarah yang sesuai dengan ajaran Allah SWT. Kepemimpinan
suatu negara tidak boleh kosong dalam keadaan apapun. Jika kosong, maka umat
Islam wajib untuk memilih penggantinya.
Dalam
sistem khilafah, antara kedaulatan (al-siyâdah) dan
kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam
khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Islam hanya mengakui Allah SWT
sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan,
pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi).
Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski
satu hukum sekalipun.
Dan
semua manusia apapun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, berstatus
sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang
wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah SWT. Sedangkan kekuasaan
diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa
yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja,
penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) yaitu harus Muslim, baligh, berakal,
laki-laki, merdeka, adil dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.
Dalam
ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui
bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang
ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah. Bahkan Rasulullah SAW, meskipun berkedudukan sebagai Rasul, tetap saja
mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga
yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn.
Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Ketentuan
baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan
umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka
baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang
dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan
wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan
bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem
sekular-demokrasi. []
Post a Comment