Oleh : Dita Mega
(Anggota MT Khairunissa)
Pernah mendengar kata - kata " selingkuh itu indah? ". Kalimat tak patut ini ternyata malah memantik adrenalin bagi penganut hubungan segitiga. Tentunya bagi mereka yang tak lagi mengindahkan agungnya nilai hubungan sebuah keluarga. Namun apa jadinya jika hubungan segitiga itu diikat dalam tali pernikahan? Jika poligami tentunya masih sangat dimaklumi, karena dalam agama juga masih diperbolehkan. Tapi menjadi tak lazim, jika hubungan itu adalah poliandri. Penulis sendiri auto ambyar membayangkan.
Tetapi kasus poliandri ini ternyata tidak jauh dari kita, belum lama ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo mengungkapkan adanya fenomena pelanggaran baru oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) alias PNS. Pelanggaran tersebut adalah PNS perempuan yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri. Bahkan selama setahun ini, Tjahjo mendapatkan sekitar lima laporan kasus poliandri.(detikcom,sabtu 29/8/2020. Kasus poliandri yang ramai diperbincangkan diberbagai media, semakin booming dan membuat kita ternganga karena pelakunya adalah ASN atau PNS, yang mana aturan dan sanksi terkait ikatan pernikahannya tentunya lebih diperketat. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Paryono , "Poliandri memang tidak boleh dilakukan di kalangan PNS. Kalau untuk pria, poligami juga ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, " tegas Paryono ketika dihubungi detikcom, Sabtu(29/8/2020).
Poliandri bagaikan kapal yang dikemudikan dua nahkoda. Bukan saja menerjang ombak ganas, tapi malah membuat riak tajam yang berujung pada pusaran air. Sontak berbagai pihak akan mengecam, karena ada fitrah yang dilanggar. Sangat tidak bisa dibenarkan apapun alasan yang memicu trend poliandri ini. Apakah faktor ekonomi, jarak dengan suami yang jauh, suami tidak mampu menafkahi lahir batin sehingga keluarga tidak harmonis, ataupun dalih lemahnya iman dan minimnya ilmu agama.
Demokrasi Pemicu Munculnya Poliandri
Penguasa yang seolah terperanjat akan fenomena poliandri ASN, terlebih disaat pandemi saat ini, terlambat menyadari akan maraknya kasus serupa di negeri ini.Walaupun pemerintah sudah berupaya untuk menanggulangi poliandri dengan sosialisi oleh KUA, tentang hukum munakahat dan UU tentang perkawinan kepada masyarakat, serta menyampaikan tentang ketentuan-ketentuan hukum perkawinan syariah, dan hukum positif saat melaksanakan kursus calon pengantin. Namun nyatanya solusi ini tidak efektif, bahkan tidak diindahkan.
Penyebabnya adalah karena dilanggarnya hukum islam, hukum paling sempurna mengatur seluruh kehidupan manusia. Akibatnya kemudhorotan meraja lela, dari satu kasus poliandri saja akan membuat banyak sekali permasalahan. Antara lain, adanya kesalahan dalam memaknai kehidupan suami istri, juga rendahnya kesadaran akan pemahaman tentang hak dan kewajibannya. Itulah buah dari sistem yang diterapkan saat ini, yaitu sistem Demokrasi. Yang berhasil menancapkan pemahaman sekularisme (aturan Allah SWT tidak sempurna dipakai untuk mengatur kehidupan). Sehingga manusia akan mengatur kehidupan sesuai standar kepuasan mereka. Kehidupan bebas menjadi tolak ukur kebahagiaan. Tanpa merasa terikat dengan aturan penciptanya.
Termasuk dalam cara pandang hubungan laki laki dan perempuan, yang lebih cenderung pada pandangan seksual semata. Bukan pandangan saling tolong menolong (ta'awun) atau dalam rangka melestarikan jenis manusia.
Demokrasi yang sejatinya berasal dari barat menganggap, tiadanya pemuasan hasrat seksual mengakibatkan bahaya pada manusia, baik bahaya fisik, psikis maupun akalnya. Artinya apapun yang mampu menjadikan pemuas hasrat seksualnya, bisa dilakukannya untuk meraih kepuasan dan kebahagiaan. Dan akhirnya, jika merasa tidak bahagia dengan pasangan sahnya, maka dengan mudah melakukan perselingkuhan, perzinahan, bahkan juga poliandri. Inilah pemicu runtuhnya ketahanan keluarga. Efek mudhorotnya yang besar, bisa menimbulkan kecemburuan dan pertengkaran bahkan berujung perceraian. Karena fitrah suami sebagai qowam (pemimpin bagi wanita), yang berkewajiban menjaga maslahah istrinya dan menjalani berbagai resiko dalam mencari penghidupan istrinya, telah terbagi.
Dan lagi - lagi anaklah yang akan menjadi korban. Bisa dibayangkan bagaimana efek membahayakan bagi kualitas generasi. Anak - anak broken home yang tidak dipatri kuat aqidahnya, berpotensi rusak psikisnya, stres, bahkan menjadi pelaku berbagai kemaksiatan dan kejahatan. Belum lagi akan berantakan hukum - hukum turunan dari hubungan poliandri ini, misalnya terkait nasab. Yang mana nasab akan menentukan banyak urusan, seperti dalam pernikahan, nafkah, pembagian harta warisan, dll. Jika satu wanita bersama sama dengan beberapa suami, maka tidak jelas anak yang lahir dari rahimnya hasil pembuahan dari suami yang mana, sehingga tidak jelas pula akan dinasabkan kepada siapa.Terkuaknya poliandri bahkan tidak hanya dikalangan ASN membuktikan Pemerintah telah gagal menjaga nasab dan kehormatan rakyatnya.
Aturan Allah Solusi Paling Sempurna
Dalam islam keluarga memiliki peran yang sangat vital bagi peradaban. Mereka memiliki peran sosial politis dan strategis yang besar. Yang berfungsi sebagai pranata pendidikan primer, ayah ibu sebagai pendidik pertama sekaligus menanamkan aqidah dan mengembangangkan interaksi harmonis, untuk meraih ketentraman dan kebahagiaan satu sama lain. Peran vital inilah yang dipahami dengan sangat baik oleh sistem Islam yakni Khilafah. Dalam islam negara mengurusi kebutuhan rakyatnya, termasuk menjamin terwujudnya ketahanan keluarga. Oleh karenanya Khilafah akan memastikan, setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik. Sehingga bisa melahirkan generasi terbaik yang berkualitas.
Khilafah memastikannya melalui serangkaian mekanisme kebijakan yang lahir dari hukum syariat yang berasal dari aturan Allah SWT. Oleh karena itu, jelas hukum poliandri haram dan perilakunya akan dilarang, karena tidak sesuat syariat. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۖ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡ
“Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (QS An-Nisa (4): 24).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah, 2003) hal. 119, “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Adapun dalil Sunah, bahwa Nabi Saw. telah bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوََّجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلأَوَّلِ مِنْهُمَا.
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad).
Hadis di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berbeda dengan poliandri, dalam islam hukum poligami (laki laki beristeri lebih dari 1 wanita) adalah mubah atau boleh, hukum syara membolehkan tanpa syarat dan membatasinya cukup dengan 4 istri saja. Namun jika khawatir tidak bisa berlaku adil maka boleh tidak melakukan. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata,
“Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki’, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. Allah Mahatinggi dan Mahasuci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur. Nasab pun jadi kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul, fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan.” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65).
Peran Negara Khilafah dalam menjaga ketahan keluarga, juga dengan menjamin tersedianya pekerjaan bagi para suami atau para wali untuk memenuhi nafkah keluarganya. Negara juga akan menjamin kebutuhan dasar publik, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi setiap warga negaranya. Sehingga kesejahteraan bisa diraih. Tak luput pula penjagaan akan siatem pergaulan ditengah tengah masyarakat sebagaimana yang diperintahkan syariat. Dari situ, akan kita pahami bahwa hanya penerapan Aturan yang berasal dari Al Khaliq saja yang mampu menjamin ketahanan keluarga dan keberlangsungan generasi berkualitas. Allahu a'lam bi showaab.