Pegiat Literasi dan Member Akademi Menulis Kreatif (AMK)
Virus corona disease 2019 (Covid-19) masih menjadi musuh utama umat manusia saat ini. Sebab, penyebarannya yang masif dan efeknya yang fatal, menjadi penyebab kesakitan dan kematian tertinggi.
Dalam sehari mencapai 196 kasus kematian akibat Covid-19. Dengan begitu, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia kini mencapai 9.837 orang. (CNNIndonesia.com, 22/09/2020)
Apalagi, garda terdepan dalam melawan pasukan virus ini telah ratusan yang gugur. Tidak kurang dari 117 dokter Indonesia meninggal akibat terpapar virus corona dari pasien yang dirawatnya. (Republika.co.id, 22/09/2020)
Terlebih lagi penyebaran wabah gelombang kedua semakin berdampak luas hingga ke sektor institusi terkecil, yakni keluarga. Klaster keluarga ini menjadi transmisi Covid-19, melejitkan angka kasus Covid-19 beberapa waktu terakhir.
Pemerintah pun menyadari tidak hanya klaster keluarga saja yang akan menyumbangkan meroketnya penderita Covid-19. Setidaknya ada tiga klaster baru yang harus diwaspadai, yakni klaster rumah tangga, klaster industri, dan klaster pilkada.
"Hati-hati, ini perlu saya sampaikan. Hati-hati yang namanya klaster kantor. Yang kedua, klaster keluarga, hati-hati. Yang terakhir, juga klaster pilkada. Hati-hati ini agar ini selalu diingatkan," kata Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna dengan topik Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi untuk Penguatan Reformasi 2021 di Istana Negara, Jakarta Pusat. (JPPN.com, 07/09/2020)
Bahkan, peneliti Mohammad Qodari menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.
Pilkada diusulkan ditunda lagi hingga berakhirnya wabah, karena terbukti banyaknya pelanggaran saat masa sosialisasi dan pendaftaran calon. (Beritasatu.com, 14/09/2020)
Namun aspirasi publik ini ditolak oleh rezim karena logika demokrasi yang menyesatkan dan mengabaikan pertimbangan kesehatan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh menteri Menkopolhukam, Mahfud MD, usulan soal Pilkada Serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui. (Terkini.id, 13/09/2020)
Padahal, rezim sendiri telah mampu membaca pilkada di tengah wabah yang sedang memuncak akan berdampak meroketnya kasus covid-19 di tanah air. Rezim pun sudah menyadari mayoritas rakyatnya masih tidak patuh terhadap protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
Lantas bisa dibayangkan, protokol kesehatan seperti, menjaga jarak antar peserta penyoblos pilkada, mencuci tangan, memakai masker, dan tidak berkerumun. Bisa dikatakan, mustahil akan terpatuhi.
Di masa kampanye saja, diprediksi 1486 calon akan estafet kampanye. Berdasarkan rasio perhitungan di suatu wilayah di Indonesia ini akan didapatkan sekitar 20 juta orang tanpa gejala (OTG). Gen pembawa virus, yang akan menularkan virus ke orang yang lain, yang lebih lemah daya tahan tubuhnya. Itu belum hari pencoblosan, sudah didapat jumlah yang sangat mengerikan.
Saat ini tanpa big spreader saja, rumah sakit dan tenaga kesehatan sudah kewalahan menghadapi lonjakan pasien terinfeksi Covid-19. Lantas, kenapa rezim tetap ngotot akan melaksanakan pilkada?
Ini menegaskan bahwa Pilkada menjadi instrument penting mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada.
Borok pilkada ini merupakan kebobrokan yang lahir dari rahim demokrasi. Penguasa negeri demokrasi bahkan tidak mampu keluar dari jeratan busuk demokrasi kapitalis sekuler. Yang berasaskan materi, dan lebih mementingkan materi daripada urusan dan nyawa rakyatnya. Membuat mereka semakin jatuh kepada sikap zalim terhadap rakyat.
Padahal Rasulullah telah mengancam bagi pemimpin yang berlaku zalim. Dalam haditsnya, Rasulullah saw. bersabda:
"Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya." (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Mendambakan pemimpin yang peduli penuh terhadap rakyat, tidak bisa didapat dengan sistem rusak seperti saat ini. Sistem rusak yang menjadi tumpuan negeri ini, merupakan sistem bawaan lahir. Seperti, besarnya biaya untuk berkompetisi meraih jabatan di pilkada antara 20-100 milyar. Belum lagi cara culas para pemangku jabatan dengan money politik.
Efeknya adalah, para pejabat tidak akan mementingkan rakyat dalam kebijakan-kebijakannya. Yang mereka prioritaskan adalah, memenuhi pesanan-pesanan bos penyokong dana pemilu mereka. Kemudian menumpuk kekayaan demi pengembalian modal dan demi modal untuk pemilu selanjutnya. Juga demi sejahteranya kehidupan pribadi dan keluarganya saja. Tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat.
Sehingga lahirlah para pejabat koruptor. Dari tahun 2004-2019 saja, KPK telah menjerat 124 kepala daerah. Inilah yang membuat tidak turunnya berkah dari Rabb semesta alam. Karena, hukum buatan manusia yang diagungkan dan mencampakkan hukum yang berasal dari Allah Swt.
Ingin negeri jadi penuh berkah, rakyat hidup sejahtera. Hanya bisa terealisasi jika pemimpin dan rakyatnya beriman dan bertakwa. Dibuktikan dengan kepatuhan terhadap penerapan hukum syara secara menyeluruh dalam bingkai khilafah.
Sebagaimana Allah Swt, berfirman:
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96)
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment