Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) meluncurkan Program Organisasi Penggerak (POP) yang melibatkan
organisasi masyarakat dan relawan pendidikan agar
berpartisipasi guna
menciptakan sekolah-sekolah penggerak di Indonesia. Fokus utamanya untuk meningkatkan
kualitas guru, kepala sekolah dan tenaga pendidik agar hasil belajar siswa meningkat.
Namun, beberapa media memberitakan PGRI mundur dalam program tersebut. Padahal PGRI merupakan wadah
para guru di seluruh Indonesia yang sudah malang melintang di dunia pendidikan sejak 1945. Lembaga Pendidikan (LP)
Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP
Muhammadiyah pun memutuskan mundur juga.
Mundurnya beberapa lembaga tersebut karena ketidakjelasan
seleksi peserta POP dan adanya sejumlah peserta yang kemampuannya di dunia pendidikan diragukan rekam
jejaknya. Selain itu, waktu pelaksanaannya
juga sangat singkat, padahal
dananya begitu besar sekitar RP
595 miliar. Ormas yang lolos seleksi akan diberi dana sesuai kategori, yakni kategori Gajah diberi dana Rp 20
miliar, Macan Rp 5 miliar dan Kijang sebesar Rp1
miliar. Sampoerna dan Tanoto sendiri akan mendapat kucuran dana terkategori
Gajah. Padahal
keduanya merupakan lembaga CSR dari dua perusahaan besar di Indonesia.
Pada kasus ini, diklaim Putera Sampoerna Foundation
dan Tanoto Foundation tidak akan menggunakan dana APBN dalam mendukung POP, tapi akan menjalankan skema
pembiayaan mandiri. Namun banyak yang
tak percaya, karena dua
lembaga CSR milik korporasi besar ini turut mengajukan proposal untuk mengikuti seleksi
penjaringan mitra pemerintah dalam POP yang dananya sudah dialokasikan dari
APBN.
Terlepas dari bantahan
tadi, adanya pemihakan penguasa pada korporasi sudah bukan rahasia lagi. Semua itu lumrah terjadi dalam
negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalis neoliberal. Karakter ini lekat dalam
seluruh bidang kehidupan, termasuk
pendidikan dan kesehatan. Dalam proyek POP, terlihat
jelas aroma kapitalisasi.
Memang,
niat awal pemerintah membuat proyek POP untuk
bermitra dengan para penggerak pendidikan guna mencari
pola terbaik dalam
mendidik penerus dalam skala nasional.
Pasalnya, selama 10 tahun terakhir survei
global Programme for International
Student Assessment (PISA) menempatkan Indonesia berada di urutan bawah.
Mendikbud pun telah menyiapkan lima
strategi. Salah satunya, mendorong ratusan organisasi penggerak untuk
mendampingi guru-guru di sekolah
penggerak dengan
menggunakan platform teknologi
pendidikan berbasis mobile dan
bermitra dengan perusahaan teknologi pendidikan kelas dunia.
Persoalannya, ke mana tujuan pendidikan
ini diarahkan, hingga pemerintah begitu bersemangat menjadikan korporasi sebagai
mitra kerja? Memang, secara teks, visi
pendidikan nasional dibuat seolah ideal,
tapi nyatanya jauh panggang dari api. Sekularisme neo liberalism pun begitu kental mewarnai dunia
pendidikan di negeri ini, mulai
dari urusan arah dan tujuan pendidikan, penetapan kurikulum dan strategi
pendidikan, pendanaan, hingga siapa stakeholder yang
semestinya terlibat dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.
Tak
bisa dinafikan, pendidikan hari ini sudah terkooptasi kepentingan kapitalisme global. Nyawanya tergantung pada
ketersediaan pekerja
murah yang minus visi ideologi. Pendidikan
hanya sekedar pabrik pencetak pekerja untuk
menyuplai kebutuhan tenaga kerja untuk memutar mesin
industry milik para kapitalis. Adapun
negara, yang semestinya jadi stakeholder utama, malah
menjadi regulator yang melayani kepentingan para
pengusaha. Tanpa
ragu lagi negara turut bermain dan berdagang mencari untung.
Wajar, jika layanan publik termasuk pendidikan
dipaksa masuk dalam mekanisme pasar. Menjadi komoditas yang dikapitalisasi dan
diperjualbelikan. Hingga pendidikan berkualitas pun makin mahal. Rakyat dipaksa berswadaya sebagai penyelenggara dan penyedia
bagi hak-hak mereka sendiri dan dengan visinya sendiri-sendiri. Ketika negara memberi perhatian pun, tetap saja orientasinya agar keberadaan kapitalisme tetap eksis.
Itulah yang ada di balik semua proyek
peningkatan kualitas pendidikan. Negara pun rela mengucurkan dana yang sangat besar, walaupun di tengah kondisi sulit akibat pandemi. Itu semua dilakukan demi membangun
citra dengan mengejar standar minimal
kompetensi output pendidikan
global.
Pendidikan dalam Perspektif Islam
Dalam Islam, pendidikan sebagai salah
satu pilar peradaban cemerlang, pencetak manusia unggul penyebar risalah Islam
ke seluruh alam dan pendidikan ditempatkan sebagai
salah satu hak publik yang wajib dipenuhi negara. Dan semua yang mendukung instrumen
pendidikan merupakan tanggung
jawab negara untuk menyediakan, dengan
kualitas memadai yang mampu mengantarkan pendidikan pada tujuan yang mulia.
Negara
wajib meminimalisir keterlibatan dan
ketergantungan pada swasta dalam penyelenggaraan pendidikan.
Negara pun harus memastikan arah dan tujuan
pendidikan berjalan sesuai yang seharusnya. Sedikit
pun tak boleh memberi celah intervensi, apalagi membiarkan upaya
kooptasi yang menjauhkan pendidikan dari tujuan sebenarnya.
Belajar
dari sejarah,
ketika sistem khilafah
tegak, maka sistem pendidikan yang diterapkan
bersama sistem hidup lainnya telah
berhasil mengantarkan kaum Muslimin
sebagai pelopor peradaban yang cemerlang. Generasi yang
lahir dari sistem pendidikan ini, akan
menjadi sosok inspiratif dan inovatif, sebagai Muslim sejati dengan
ketakwaan yang tinggi.
Dengan
ketakwaan yang tinggi inilah mereka akan siap
memberi kontribusi yang terbaik. Sebagai
investasi kebaikan untuk bekal di kehidupan
akhirat yang kekal. Wajar jika kemajuan yang
muncul sebagai hasil
sistem pendidikan Islam akan
membawa keberkahan, ramah terhadap alam, sangat beradab dan meninggikan nilai-nilai kemanusiaan. []
Post a Comment