Oleh : Devita Deandra
(Aktivis Muslimah)
Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa program dai/penceramah bersertifikat segera digulirkan dalam waktu dekat. Ia menegaskan program tersebut sudah dibahas oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Fachrul menegaskan program tersebut bertujuan untuk mencetak dai yang berdakwah di tengah masyarakat tentang Islam rahmatan lil alamin. Ia pun berharap ke depannya masjid-masjid bisa diisi oleh para dai-dai bersertifikasi. Fachrul berharap, masjid nantinya tidak hanya sekadar menjadi sarana sebarkan iman dan takwa. Lebih dari itu, masjid bisa dijadikan sarana menguatkan kerukunan bangsa. Meski demikian, Fachrul menegaskan program dai bersertifikat ini sengaja tidak digelar secara mengikat. Program sertifikasi dai atau penceramah sempat dilontarkan oleh Fachrul pada akhir 2019 lalu. Program itu dibentuk guna menangkal gerakan radikalisme lewat mimbar masjid. Sertifikasi penceramah akan diterapkan mulai 2020. Program ini akan melibatkan ormas Islam yang ada di Indonesia. MUI sendiri sudah lebih dulu memulai program tersebut pada November 2019 lalu. (www.cnnindonesia.com, 13/08/2020)
Dalam pelaksaannya, Kemenag berperan sebagai fasilitator dan koordinator.
Beberapa instansi yang diikutsertakan dalam perencanaan program. Antara lain Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas keagamaan lainnya. Lemhanas dilibatkan untuk memberikan penguatan pada aspek ketahanan ideologi. Sementara keterlibatan BNPT, diperlukan untuk berbagi informasi tentang fenomena yang sedang terjadi di Indonesia dan seluruh dunia. BPIP berfungsi memberikan pemahaman tentang Pancasila, hubungan agama dan negara. Sementara MUI dan ormas keagamaan adalah lembaga otoritatif dalam penguatan di bidang Agama. (www.republika.co.id, 07/09/2020)
Program sertifikasi Dai kini menimbulkan kontroversi. MUI sendiri menyatakan tegas menolak program penceramah bersertifikat yang digulirkan kementerian Agama (Kemenag) yang tertuang dalam Surat pernyataan sikap MUI itu bernomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020. Surat itu diteken oleh Waketum MUI Muhyiddin Junaidi dan Sekjen MUI Anwar Abbas. Dalam surat pernyataan tersebut beberapa halaman yang menjadi poin penting penolakan sertifikasi Dai diantaranya, sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi Pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan. MUI Menghimbau kepada semua pihak agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, dai/muballigh dan hafizh serta tampilan fisik (performance) mereka, termasuk yang lantang menyuarakan amar makruf nahi munkar bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan ditengah kondisi wabah tengah melanda dan kasusnya semakin tak terkendali, resesi ekonomi pun mengancam negeri dan berbagai persoalan negeri lainnya, bukankah terlalu memaksa dengan mengadakan program sertifikasi Dai hanya karena alasan radikalisme mengancam negeri. Bahkan pemerintah sendiri tak mampu mendefinisikan radikalisme seperti apa yang dapat mengancam negeri ini. Hanya berstandarkan good looking, penguasaan bahasa Arab yang bagus, dan seorang hafiz. Radikalisme seakan disematkan kepada muslim yang taat dan keberadaannya dianggap mengancam NKRI. Lantas ada kepentingan apa hingga sertifikasi Dai seakan mendesak dan harus segera dilaksanakan. Bahkan Dai bersertifikat seakan dipersiapkan bukan hanya sebagai pendakwah semata namun menjadi alat untuk menyampaikan kepentingan penguasa terlihat dengan terllibatnya Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam program sertifikasi Dai yang tak memiliki otoritas dalam penilaian seorang Dai.
Padahal di dalam Islam sangat jelas bahwa setiap muslim bukan hanya Dai memiliki kewajiban dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan merupakan amal terbaik seorang muslim.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan bagi umat manusia, kalian perintahkan yang ma’ruf dan kalian larang yang mungkar, dan kalian pun beriman kepada Allah…” (Qs. Ali-‘Imran: 110)
Sebagai leading sector penanganan radikalisme agama, kemenag makin Nampak menyerang Islam dan memojokkan pemeluk Islam yang taat syariat. Sikap di atas pun, menegaskan agenda deradikalisasi hanya kedok menghambat kembali tegaknya Islam dalam naungan khilafah, jelas sekali rezim hari ini begitu memusuhi kaum muslim yang lantang menyuarakan perubahan lantang membongkar bobroknya sistem Demokrasi kapitalistik. Maka adanya deradikalisasi ini adalah bentuk dari melemahkan kaum muslim serta opini publik agar tak banyak masyarakat yang sadar akan kerusakan dan menuntut perubahan.
Dan sistem Islam (Khilafah) bukan ide yang dilarang, namun pelakunya dilarang menjadi ASN, dicap radikal dan dicekoki dengan Islam versi rezim melalui dai bersertifikat itu nantinya. Semua ini menegaskan kebijakan Kemenag makin ngawur, padahal dari sekian rakyat negeri ini jelas telah bosan dan tidak adanya lagi kepercayaan dengan janji manis Demokrasi. Maka hanya sistem Islamlah yang saat ini menjadi harapan kaum muslim yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini, untuk diterapkan. Sebab dengan Khilafah inilah maka akan ada perubahan nyata, bukan perubahan semu belaka, sebab hilangnya keberkahan dari langit dan bumi akibat ditolaknya hukum ilahi. Dan sudah seharusnya program sertifikasi Dai ini ditolak sebab sejatinya ini pelemahan kaum muslim dan dakwah syariah khilafah ditengah-tengah kegagalan rezim.
Wallhu’alam