By : Rianny Puspitasari
(Ibu Rumah Tangga dan Pendidik)
Isu poligami, meski keberadaannya selalu menjadi isu panas, namun merupakan hal yang umum. Berbeda dengan poliandri, kasus ini merupakan perihal yang tidak biasa terjadi di tengah masyarakat. Maka, ketika Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebut adanya laporan terkait Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan praktek poliandri, hal ini menjadi perbincangan hangat dan cukup membuat masyarakat menggelengkan kepala. Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama BKN, Paryono, mengungkapkan bahwa ASN yang melakukan poliandri bisa dikenai sanksi. Paling berat adalah berupa pemecatan. (wowkeren.com, 29/8).
Sebenarnya, kasus poliandri di Indonesia bukan hal yang sama sekali baru. Hanya saja, karena media baru mengangkatnya akhir-akhir ini, maka kasus ini mencuat. Perilaku yang sebetulnya dianggap tabu ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat akan halal dan haram masih kabur. Atau bisa jadi pula, mereka tahu keharamannya, namun mereka memilih tidak mengindahkannya, karena standar kehidupan mereka bukanlah halal-haram namun kesenangan materi dan jasadiyah semata. Itulah bukti mengakarnya pemikiran sekulerisme-liberalisme, dimana aspek turunannya adalah hedonisme. Masyakarat lebih mengedepankan kesenangan dan kepuasan dunia meski harus melanggar perintah agama. Nyatanya, perilaku ini pun merusak akhlak, moral, dan berbahaya bagi ketahanan keluarga.
Saat ini diakui atau tidak, perang pemikiran sedang terjadi. Orang-orang pembenci Islam melakukan berbagai upaya untuk menjauhkan umat Islam dari dien-nya, bahkan penghancuran institusi terkecil yakni keluarga pun tidak luput dari sasaran. Tentu ini sangat berbahaya, jika keluarga rusak, maka generasi yang dihasilkan pun akan cacat. Generasi gemilang pencetak peradaban mustahil lahir dari keluarga yang telah rusak tatanan kehidupannya, terlebih keluarga yang berpegang pada sekuleris-liberalis.
Islam telah mengatur perkara pernikahan, di dalamnya Allah hanya membolehkan poligami saja, tidak dengan poliandri. Dalam surat An-Nisa ayat 3, Allah berfirman, yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Sedangkan dalil keharaman poliandri, terdapat dalam As-Sunnah. Nabi saw. bersabda:
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka (pernikahan yang sah) wanita itu adalah bagi (wali) yang pertama dari keduanya.” (HR. Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi)
Hadis di atas menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami saja. Dari sini jelas bahwa Islam melarang praktek poliandri. Terlebih lagi, poliandri akan merusak nasab yang berefek domino pada hukum yang lain, seperti waris dan perwalian.
Mengembalikan pemahaman Islam terhadap umat merupakan perkara yang penting. Menjadikan Islam sebagai tolak ukur kehidupan merupakan hal yang wajib bagi seorang Muslim. Kita hidup di dunia hanyalah sementara, kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban. Ketika kita mengikuti aturan Sang Pencipta, kita akan selamat di akhirat kelak. Begitupun saat masih di dunia, menjauhkan kehidupan Islam justru mendatangkan kesengsaraan dan kekacauan. Sebaliknya, saat Islam diterapkan, bahkan mampu bertahan selama 1300 tahun, cahaya-lah yang melingkupi dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri.
Penerapan seluruh aturan Islam dalam kehidupan tentu tidak bisa hanya dilaksanakan oleh individu atau masyarakat saja. Perlu adanya sebuah institusi negara yang akan menerapkan Islam dalam semua aspek kehidupan. Dengan adanya sebuah negara yang menerapkan Islam, umat akan dijaga dari pemikiran-pemikiran rusak dan dilindungi dari hancurnya kehidupan. Institusi itu adalah Daulah Khilafah Islam, yang akan membawa keberkahan dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bishowab.