Poliandri, Islam Solusinya?

Oleh: Novita Tristyaningsih

“Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (QS An-Nisa (4): 24).
     
Viralnya tren poliandri dikalangan ASN sangat kontroversial. Dilansir dari Republika.co.id, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo, mengungkapkan adanya fenomena baru pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN). Fenomena tersebut berupa ASN perempuan yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri.
     
Dia menyebut, dalam satu tahun ini ada sekitar lima laporan kasus poliandri. Setiap bulan, Kementerian PANRB bersama Badan Kepegawaian Nasional (BKN) hingga Kementerian Hukum dan HAM menggelar sidang untuk memutuskan perkara pelanggaran ASN, termasuk masalah keluarga tersebut. (Republika.co.id, 29/08/2020).
     
Anggota Komisi II DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) , Guspardi Gaus meminta pemerintah memberikan sanksi tegas kepada aparatur sipil negara (ASN) wanita yang memiliki lebih dari satu suami atau poliandri. Menurutnya, fenomena poliandri yang terjadi di kalangan ASN sebagaimana diungkap oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo, telah merendahkan harkat dan martabat ASN. Demikian dalam agama juga dilarang (CNN Indonesia, 2/9/2020).

Penyebab Poliandri    
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indriyati Suparno mengatakan, poliandri terjadi karena perempuan atau istri tidak merasa cukup terkait kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang dari pasangan, persoalan dukungan finansial, dan komunikasi yang tidak harmonis dan tidak hangat. Suatu tindakan menyeleweng, kata dia, selalu dimulai dari kondisi dalam hubungan suami-istri. (alinea.id, 5/4/2019).
     
Fenomena tersebut segelintir diantara banyaknya kasus poliandri. Sebelumnya juga pernah viral kasus poliandri di tengah kalangan masyarakat umum. Hal itu merupakan gambaran rusaknya masyarakat. Seharusnya perempuan merupakan madrasah pertama bagi anak-anak, memberikan contoh yang baik sesuai moral agama ternyata tidak mampu mengemban tugas tersebut.
     
Minimnya pengetahuan akan syari'at Islam ditambah dengan aqidah yang lemah mengakibatkan meningkatnya problematika hidup manusia dan tak kunjung selesai.   Hidup di dalam naungan Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan mewujudkan manusia yang tidak memiliki prinsip hidup tegas terhadap standar halal-haram. Tidak takut terhadap murka Allah SWT, hanya mengedepankan kepuasan nafsu belaka.
     
Tidak bisa dipungkiri, setiap manusia memiliki naluri untuk melestarikan keturunan (gharizah nau'). Akan tetapi, naluri ini dapat ditunda pemenuhannya. Muncul karena dorongan dari luar, baik karena tontonan maupun lingkungan sekitar. Lalainya peran negara dalam menjaga tata pergaulan lelaki dan perempuan diduga menjadi salah satu penyebab munculnya benih cinta terlarang diantara mereka. Di sisi lain juga, rumitnya kebijakan negara khusus ASN dalam mengatasi problem ketahanan keluarga, tidak menyentuh akar masalah.
     
Gaya hidup hedonis dalam sistem sekuler-liberal menuntut perempuan berbiaya tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Diduga tak cukup hanya mengandalkan pendapatan suami ataupun turut serta dalam bekerja, sehingga mengandalkan pendapatan dari dompet lelaki lain.
     
Di samping itu, kesibukan masing-masing antara suami-istri di luar rumah menjadi pemicu berkurangnya komunikasi serta keharmonisan dalam rumah tangga. Karena minimnya waktu bersama diantara suami-istri. Sehingga perempuan merasa kurang perhatian dan kasih sayang dari suaminya. Di sisi lain misalnya, perempuan mendapatkan perhatian khusus oleh lelaki lain. Sehingga kemunculan lelaki idaman lain tak dapat dielakkan. Oleh sebab itu, pentingnya ketaqwaan kepada Allah SWT dan masyarakat Islami yang dihasilkan dari maksimalnya peran negara dalam mengurus secara detail urusan rakyatnya.

Pandangan dan Solusi Islam Mengatasi Poliandri
Islam mengharamkan poliandri. Banyak dalil yang mengharamkannya, baik dari Al-Qur'an maupun hadits. Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya”. (HR Ahmad).
     
Penerapan poliandri akan menyebabkan ketidakjelasan nasab. Anak dinasabkan pada ayahnya. Jika seorang perempuan memiliki banyak suami, tidak jelas siapa ayah anak tersebut. Sedangkan nasab akan berdampak pada hukum yang lain terkait pernikahan, nafkah, dan waris.
     
Sistem Islam mampu mengatasi poliandri dengan kebijakan yang dibuat Khalifah tentu bersumber kepada hukum Syara'. Misal, dengan menerapkan sistem pergaulan lelaki dan perempuan. Interaksi lelaki dan perempuan yang bukan mahrom senantiasa terjaga dan hanya dibolehkan dalam interaksi tertentu yang dibolehkan oleh Syara'. Sehingga tidak merangsang gharizah nau'.
     
Di samping itu, negara juga berperan dalam menjaga aqidah rakyatnya dengan memberantas apapun yang bertentangan dengan hukum Syara'. Sehingga terwujud masyarakat Islami dan  bertaqwa kepada Allah SWT, maka seluruh perbuatannya senantiasa dijaga untuk meraih keridhaan Allah SWT.
     
Negara juga akan turut serta memberikan edukasi terkait wawasan tentang pernikahan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, pentingnya komunikasi antara suami-istri, bagaimana menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga, dan sebagainya.  
     
Dalam Sistem Islam, negara juga akan menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Baik dalam hal pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan yang layak untuk para kepala keluarga. Khalifah tidak akan membiarkan rakyatnya kekurangan hingga kelaparan. Negara menjamin kesejahteraan rakyat, terbukti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak ada rakyat yang berhak menerima zakat.
     
Sehingga jika seorang istri ingin bekerja, tentu saja prioritasnya bukan finansial, tetapi ingin menyalurkan keilmuannya demi meraih ridho Allah semata. Dengan catatan, tidak menelantarkan anak dan suami. Pun dalam hal waktu, tidak dihabiskan dengan bekerja di luar saja, tetapi tetap keluarga yang utama. Sehingga keharmonisan dalam rumah tangga tetap terjaga.
     
Terbukti ketahanan keluarga dalam Sistem Sekuler-liberal tidak akan mampu terwujud. Hanya Sistem Islam yang berasal dari sang Khaliq yang mampu mengatasi berbagai permasalahan manusia yang kian rumit, termasuk ketahanan keluarga. Maka sudah saatnya kita menerapkan Sistem Islam dalam bingkai Khilafah di seluruh aspek kehidupan agar rahmat Allah senantiasa tercurah dari langit dan bumi.
Wallahu A'lam bish-shawab
Previous Post Next Post