(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Kasus covid 19 terus meningkat. Per tanggal 16 September 2020, ada 229 ribu kasus positif covid, 164 ribu yang sembuh, dan 9.100 orang meninggal dunia. Diantara yang meninggal, termasuk 115 dokter. Padahal satu orang dokter bisa memberikan pelayanan kesehatan kepada 300 ribu orang.
Di tengah kasus covid yang terus meningkat, Pilkada tetap ngotot untuk diselenggarakan. Banyak pengamat telah mewanti-wanti tentang kemungkinan adanya klaster baru, klaster Pilkada.
Dilansir dari kompas.com (17/09/2020) setiap tahapan Pilkada telah menjadi titik krusial dalam penyebaran covid. Tahap pertama yaitu tahap pendaftaran, dikabarkan Ketua dan komisioner KPU Agam serta anggota Bawaslu Agam positif Covid-19.
Sebelumnya, mereka telah menjalani tes usap atau swab test, setelah dua bakal calon kepala daerah dinyatakan positif Covid-19 usai mendaftar ke KPU Agam. Iring-iringan massa saat mengantar calon untuk mendaftar ditambah tak menjaga jarak, melegitimasi covid untuk menyebar ke siapa saja.
Tahap berikutnya yang krusial adalah tahap kampanye. KPU telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19. Di dalamnya diatur jenis-jenis kegiatan kampanye yang diperbolehkan. Diantaranya konser musik, rapat umum, pentas seni, panen raya, kegiatan olah raga massal, peringatan HUT partai, bazar amal, donor darah.
Terbayang jika semua kegiatan di atas terlaksana dan tanpa protokol kesehatan yang ketat, jelas akan membuat lonjakan kasus covid. Mustahil konser musik apalagi dangdut di lapangan terbuka bisa diatur jaraknya?
Polmatrix Indonesia mendapatkan data sebanyak 72,4 persen responden memilih opsi pilkada serentak ditunda (cirebon.pikiran-rakyat.com, 16/09/2020). Responden khawatir akan munculnya klaster baru Covid-19.
Ternyata keinginan sebagian responden yang bisa jadi juga mewakili rakyat awam seperti bertepuk sebelah tangan. Menkopolhukam mengisyaratkan tak mudah untuk menunda Pilkada. Banyak prosedur yang harus ditempuh, sementara Pilkada telah terjadwal pada 9 Desember 2020 dan telah mengalami beberapa kali penundaan.
PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan partai pengusung presiden saat ini, ngotot Pilkada tetap diselenggarakan. "Jika Pilkada ditunda, maka akan ada risiko politik. Sebab penundaan akan menciptakan ketidakpastian yang baru," ujar Hasto, Sekjen PDIP (cnnindonesia.com, 15/09/2020).
Ironis memang, Pilkada menjadi wajib hukumnya. Saking wajibnya, tak perlu mengindahkan keselamatan jiwa manusia. Yang penting agenda politik lanjut. Mengapa Pilkada harus dilaksanakan?
Pertama, Pilkada adalah anak kunci sistem demokrasi. Tak ada cara lain dalam memilih pemimpin dalam sistem demokrasi kecuali dengan pemilihan umum. Pilkada untuk memilih pemimpin daerah yang akan membantu pemerintah pusat dalam mengatur daerahnya.
Kedua, Pilkada akan memastikan aliran dana terus mengalir menghidupi mesin-mesin partai. Ibarat dapat doping, itulah dana Pilkada bagi partai-partai. Dapat dari pemerintah, dapat dari bakal calon (balon) yang diapun dapat dari para cukong. Jadi, Pilkada akan memberikan keuntungan kelompok tertentu.
Ketiga, Pilkada mempercepat kepastian siapa yang memimpin daerah. Sehingga bisa mengatur strategi untuk melanjutkan hubungan mesra antara penguasa dan pengusaha. Memuluskan hegemoni para kapital untuk terus mengeruk SDA serta sektor publik di daerah. Sehingga bisa segera mengembalikan dana besar yang telah dikeluarkan dari kantong pribadi dan cukong untuk pesta Pilkada.
Itulah keniscayaan berdemokrasi. Simbiosis mutualisme terjadi antara cukong dan balon. Dan sesaat setelah memenangkan Pilkada, akan rontok semua janji menyejahterakan rakyat, berganti menyejahterakan kapital dan menyengsarakan rakyat. Sebagai balas budi atas dana besar yang telah digelontorkan selama masa Pilkada.
Di sistem demokrasi, nyawa manusia memang tak berarti dibandingkan harta, pangkat, dan jabatan. Demi harta, nyawa rakyat pun rela dikorbankan. Kas negara tetap dikeluarkan untuk Pilkada, bahkan anggarannya bertambah dengan alasan pengadaan protokol kesehatan. Sementara penanganan covid masih amburadul. Jelas bukan mengutamakan kepentingan rakyat jika tetap ngotot Pilkada.
Berbeda dengan sistem Islam. Betapa mudahnya pemilihan pemimpin serta tak memerlukan dana besar. Cukup ditunjuk oleh seorang Khalifah maka menjadilah ia sebagai kepala daerah. Tanpa memberi sogokan atau upeti kepada Khalifah.
Harta sogokan sama dengan rasuah, haram hukumnya dalam Islam. Para pemimpin di sistem Islam sangat memahami hal ini. Sebab pondasi keimanan menancap kuat, bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan selama di dunia.
Umar bin Khattab adalah pemimpin terbaik sepanjang masa, setelah Rasulullah dan Abu Bakar. Ia telah menunjuk para wali atau gubernur yang memiliki gaya yang sama dengannya. Prinsip kenyangkan dulu perut rakyat, membuat para gubernur bahkan Umar sang kepala negara, hidup dalam kezuhudan Adalah Said bin Amir. Beliau adalah gubernur Syam yang ditunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikan Muawiyah. Awalnya Said justru menolak karena paham bahwa jabatan adalah fitnah. Namun karena Umar memaksa, Said pun menerima jabatan itu. Dia adalah gubernur yang namanya masuk dalam daftar penerima zakat. Semua gajinya habis dibagikan kepada masyarakat yang memerlukan.
Tentu kita merindukan sosok pemimpin seperti itu. Maka tak ada jalan lain selain berjuang bersama menegakkan sistem Islam kaffah yang diberkahi Allah SWT. Wallahu a'lam []
Post a Comment