Penyangan film Jejak Khilafah di Nusantara pada 1 Muharram 1442 atau 20 Agustus 2020 kemarin menjadi perbincangan hangat. Tidak dapat dipungkiri kata Khilafah kini menjadi tidak asing lagi dan sering menjadi bahan perbincangan baik di media sosial maupun di tengah masyarakat umum. Tagar #jejakkhilafahdinusantara juga sempat trending di media sosial twitter. Film #jejakkhilafahdinusantara ini mengungkapkan sejarah hubungan kekhilafahan Turki Utsmani dengan nusantara yang didasarkan pada penelitian ilmiah yang cukup panjang oleh sejarawan Nicko Pandawa.
Namun penayangan serentak film ini tidak berjalan mulus. Mulai dari adanya pemblokiran penayangan hingga munculnya pro kontra. Film yang dibuat oleh Nicko Pandawa dan Komunitas Literasi JKdN ini mengalami pemblokiran dengan alasan terdapat keluhan hukum dari pemerintah. Pemblokiran ini sontak menuai protes yang mempertanyakan alasan film tersebut diblokir.
Wasekjen MUI Tengku Zulkarnain atau yang akrab disapa Tengku Zul merasa geram dengan adanya pemblokiran film. Ia pun mendesak agar Presiden Joko Widodo memberikan alasan pemblokiran film dokumenter tersebut. Tengku Zul menilai, tindakan anti keagamaan kekinian mulai bermunculan dan semakin merajalela (galamedia.pikiran-rakyat.com, 21/8/20).
Film ini juga menuai penolakan dari berbagai pihak yang diawali dengan pernyataan Asisten peneliti Prof Peter Carey, Christopher Reinhart yang memberikan sanggahan atas klaim-klaim dalam film tersebut. Beliau menyatakan bahwa tidak ada bukti maupun dokumen yang menyatakan adanya hubungan Turki Utsmani dengan kesultanan di nusantara (Republika.co.id, 20/8/20).
Fenomena ini sontak memunculkan pertanyaan apa yang ditakutkan dari penayangan film JKdN ini. Sehingga mendapat respon yang negatif dari berbagai pihak. Padahal Khilafah jelas memiliki andil yang besar dalam meyebarkan dakwah islam ke nusantara.
Adanya jejak Khilafah di Nusantara antara lain terungkap dalam sambutan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI, 9 Februari 2015, di Yogyakarta. Saat itu beliau tegas mengungkapkan bahwa Raden Patah dikukuhkan oleh utusan Sultan Turki Utsmani sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawi (Perwakilan Khilafah Turki di Tanah Jawa).
Disertasi Dr. Kasori di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Di Bawah Panji Estergon: Hubungan Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak Pada Abad XV-XVI M (2020) makin menguatkan pernyataan Sri Sultan HB X tersebut. Dalam penelitiannya Kasori antara lain menyatakan, para raja atau sultan di Demak memerlukan gelar sultan dari Turki untuk menguatkan kedudukannya (Muslimahnews.com, 29/8/20).
Adanya hubungan Khilafah dengan Nusantara, khususnya kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara, juga ditegaskan Sejarawan UIN Bandung, Dr. Moeflich Hasbullah. Ia mengatakan bahwa Khilafah waktu itu adalah negeri adidaya yang sangat besar. Jadi sangat logis jika Nusantara mempunyai hubungan dengan Khilafah (Mediaumat.news, 24/8/20).
Pengaruh Khilafah Turki Utsmani juga telah diungkap Ermy Azziaty Rozali dalam disertasinya di Universitas Malaya Malaysia dan diterbitkan dengan judul Turki Uthmaniah: Persepsi dan Pengaruh Dalam Masyarakat Melayu (2016) (Hidayatullah.com, 23/8/20).
Sehingga bukti ini semakin menguatkan bahwa jelas ada hubungan antara Khilafah Utsmani dengan nusantara. Adapun upaya yang terus dilakukan orang-orang kafir dan munafik dalam mengaburkan fakta sejarah ini memang pasti akan selalu ada. Mereka akan terus berupaya membelokkan sejarah islam dan terus menyebarkan virus Islamofobia ke tengah masyarakat agar tetap mempertahankan kekuasaan mereka atas negeri-negeri muslim. Namun upaya-upaya ini tidak akan bisa membendung tegaknya Khilafah.
Buktinya dengan viralnya film ini, umat semakin melek kondisi umat muslim yang terus diserang dengan berbagai tuduhan ketika berupaya menegakkan Islam. Opini Khilafah juga semakin sering digaungkan serta semakin banyak umat yang tersadarkan akan kewajiban menerapkan Syariat Islam dalam bingkai negara. Sehingga tinggal menunggu waktu saja umat akan bangkit demi menerapkan Islam dalam naungan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Wallahu a’lam.
Post a Comment