Penistaan Islam Kembali Terjadi, Buah Sistem Sekuler Demokrasi

Oleh: Sari Asih, S. Sos 
(Pengamat Sosial)

Pelecehan terhadap simbol-simbol Islam terjadi kembali, kali ini di Swedia dan Norwegia, dilakukan oleh demonstran anti Islam. Al-Qur'an dirobek-robek, dibakar bahkan diludahi. Sungguh hal ini membuat umat sedih sekaligus marah umat.

Tak hanya itu, di belahan bumi lainnya yaitu di Perancia, koran satir Prancis Charlie Hebdo, mencetak ulang karikatur Nabi Muhammad pada hari Selasa (1/9/2020), sehari sebelum digelarnya persidangan untuk mengadili tersangka pelaku terorisme yang menyerang kantor mereka pada 2015 silam (CnbcIndonesia, 4/9/2010).

Sungguh menyedihkan, pelecehan terhadap Islam dan simbolnya kerap berulang. Hal ini tak lain disebabkan oleh faham demokrasi sekuler yang diadopsi oleh negara Barat, yang salah satunya adalah ide kebebasan bertingkah laku, dan hak asasi manusia. Pelaku selalu berlindung dibalik hak-hak ini, sebagaimana yang dikemukanan oleh Presiden Perancis "Tidak pernah ada kewenangan presiden memberikan penilaian pada pilihan editorial jurnalis atau berita," katanya,  menekankan kesopanan dan rasa hormat tetap perlu ada, sehingga tak ada ungkapan bernada kebencian.

Sementara pemerintah negeri-negeri Muslim hanya bisa mengecam, tidak ada upaya yang jelas dan sungguh-sungguh untuk menghentikan pelecehan yang senantiasa berulang tersebut.

Begitulah ketika kaum muslimin tidak memiliki kekuatan politik, tidak memiliki junnah, mereka bukan hanya dihina, dilecehkan bahkan ditindas dan diperangi, maka untuk menghentikan pelecehan ini, Islam harus memiliki kekuatan politik, menghadirkan kembali junnahnya yakni perisai umat.

Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan khalifah Abdul Hamid  ketika menghadapi Perancis  yang pernah merancang pertunjukan drama yang diambil dari hasil karya Voltaire. Isinya bertema, “Muhammad atau Kefanatikan”. Di samping mencaci Rasulullah saw., drama tersebut menghina Zaid dan Zainab. Ketika Sultan Abdul Hamid, Khalifah Khilafahan Utsmani saat itu, mengetahui berita tersebut, melalui dutanya di Prancis, beliau segera mengancam Pemerintah Prancis supaya menghentikan pementasan drama tersebut. Beliau mengingatkan bahwa ada “tindakan politik” yang akan dihadapi Prancis jika tetap meneruskan dan mengizinkan pementasan tersebut. Prancis akhirnya membatalkannya.

Tidak berhenti sampai di situ. Perkumpulan teater tersebut lalu berangkat ke Inggris. Mereka merencanakan untuk menyelenggarakan pementasan drama itu di Inggris. Mengetahui itu, Khalifah Abdul Hamid pun mengancam Inggris. Inggris menolak ancaman tersebut. Alasannya, tiket sudah terjual habis dan pembatalan drama tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan (freedom) rakyatnya. Setelah mendengar sikap Inggris demikian, sang Khalifah menyampaikan, “Kalau begitu, saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!” Pemerintah Inggris pun ketakutan melihat keseriusan ancaman sang Khalifah. Mereka segera melupakan sesumbarnya tentang kebebasan. Pementasan drama itu pun akhirnya mereka batalkan juga (Lihat: Majalah al-Wa‘ie, No. 31, 2003).

Begitulah seharusnya reaksi penguasa muslim jika ajarannya dihina, membela dan melakukan tindakan nyata seperti yang dicontohkan pendahulunya, khalifah Abdul Hamid. Wallahu'alam-bishob.
Previous Post Next Post