Kiki
Andini (Mahasiswi, Komunitas Annisaa Ganesha)
Kesepakatan
normalisasi hubungan Israel-Uni Emirat Arab (UEA) telah tercapai dan diumumkan
pada Kamis (13/8) oleh Donald Trump dari Gedung Putih Washington DC. Isi
kesepakatan ini disebut sebagai Abraham
Accord yang mensyaratkan Israel menghentikan aneksasi wilayah Tepi Barat
Palestina. Normalisasi hubungan Israel dan UEA bukanlah hal yang bisa
diputuskan secara mendadak hanya karena wacana mencegah aneksasi Tepi Barat
saja. Namun, memang telah terjalin antarkeduanya kerja sama semi-rahasia
terutama di bidang intelijen sejak tahun 1970 dan bisnis penjualan produk dan
layanan pada 1994 setelah penandatanganan perjanjian perdamaian Oslo
Israel-Palestina. Adapun sebab lainnya, UEA sebagaimana negara Bahrain dan Arab
Saudi merasa terancam dengan keberadaan Iran yang semakin berkembang pesat
dengan adanya milisi proksi di Suriah, Yaman, Irak, dan Lebanon serta senjata
nuklirnya. Hal ini bisa menjadi penawaran yang menarik ketika Israel juga dapat
menyodorkan kemajuan teknologi yang paling mumpuni di Timur Tengah sehingga
kesepakatan ini akan mendorong UEA makmur di mata internasional. Normalisasi
hubungan keduanya itulah sejatinya sebagai akhir dari hubungan tak resmi yang
telah terjalin berpuluh-puluh tahun lamanya. Kesepakatan ini beresiko terhadap
jatuhnya martabat UEA di mata negara-negara Arab lainnya. Bagi UEA kesepakatan
ini adalah sebuah pertaruhan, namun dengan peluang yang sangat menguntungkan.
“Kesepakatan
ini tidak akan memengaruhi stabilitass rezim UEA. Akan tetapi mencerminkan
perubahan geopolitik di kawasan dimana citranya telah ternoda oleh
keterlibatannya dalam perang Yaman”, ujar Emile Hokayem dari Institut
Internasional Studi Strategis London.
Sekilas,
kesepakatan ini dianggap menguntungkan warga Tepi Barat Palestina dari diberhentikannnya
pencaplokan wilayah oleh Israel. Namun, Perdana Menteri Israel Benyamin
Netanyahu mengungkapkan bahwa pemberhentian aneksasi ini bersifat sementara dan
dapat dilakukan kembali dengan berkoordinasi bersama AS. Dibalik terjadinya
kesepakatan antara Israel dan UEA ini telah nampak adanya kepentingan-kepentingan
yang ingin kedua pihak dapatkan dan tentu saja keputusan ini tidak ada artinya
bagi warga Palestina. Ini bukanlah solusi tuntas dalam menyelesaikan aneksasi
yang dilakukan Israel. Keputusan ini juga ditanggapi negeri-negeri Islam
lainnya sebagai kemunafikan dan penghianatan UEA.
“Sejarah
dan negara-negara Arab tidak akan pernah melupakan dan memaafkan tindakan ini. UEA
berdalih kesepakatan itu untuk Palestina, sejatinya untuk kepentingan mereka
sendiri”, kata Kementerian Luar Negeri Turki dalam pernyataan persnya
menanggapi Abraham Accord.
Berbeda
dengan UEA, Arab Saudi menolak kesepakatan normalisasi hubungan ini. Israel
mensyaratkan dalam kesepakatan ini berupa akses jalur udara untuk maskapai
penerbangan komersial Israel dari Tel Aviv menuju Dubai dan Abu Dhabi. Jika
wilayah udara Riyadh dibuka maka waktu tempuh yang semula 6 jam kini dapat di
tempuh dalam waktu 3 jam saja. Kalau saja Arab Saudi menerimanya maka ini akan
menjadi kunci utama bagi negara-negara Arab lainnya untuk ikut menyepakati
normalisasi ini dan habislah tak tersisa harapan Palestina terhadap saudara
sesama muslimnya. Namun, Arab Saudi juga masih memiliki peluang dalam menerima
kesepakatan ini. Sebagaimana yang telah terjadi pada 2002 ketika Arab Saudi
meluncurkan Rencana Perdamaian Putra Mahkota Abdullah dalam KKT di Beirut dan
memberikan pengakuan penuh kepada Israel sebagai imbalan atas kembalinya
pasukan Israel ke perbatasan sebelum 1967.
Beginilah
kondisi dimana ikatan akidah Islam tidak lagi dijadikan prioritas utama dalam
menyelamatkan sesama saudara kaum muslimin. Sehingga keputusan-keputusan
diambil dengan memandang untung rugi layaknya seorang pebisnis. Kesepakatan ini
kemudian menjadi cermin bahwa tidak ada harapan lagi dalam penyelesaian masalah
dengan jalan ini. Ini hanya akan menjadi alat permainan untuk saling bersaing
mengunggulkan dan mengamankan negaranya sendiri. Segala macam cara dilakukan
untuk memperlihatkan pada dunia bahwa ini adalah hal yang wajar walaupun harus
melihat saudara muslimnya sendiri binasa karena kepentingan-kepentingan
materialistiknya. Pada akhirnya tidak ada solusi yang lebih logis selain menerapkan
syariat Islam secara keseluruhan. Dengan adanya persatuan ummat Islam yang
diikat dengan akidah/ideologi Islam dalam institusi politik Islam yakni
khilafah Islamiyyah maka perlindungan terhadap sesama muslim tidak akan lagi didasarkan
pada kepentingan-kepentingan yang bisa menyengsarakan ummat.
Post a Comment