Penghinaan terhadap Islam, Buah Sistem Sekuler



Oleh : Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti.” QS. ali-Imran ayat 118).

Ayat tersebut sungguh senada dengan realita hari ini. Dimana penghinaan terhadap Islam kembali marak terjadi. Seperti yang dilansir dari viva.co.id , (30/8/2020), di Oslo ibu kota Norwegia, seorang wanita anggota SIAN (Stop Islamisasi Norwegia / Stop Islamization of Norway) merobek halaman Alquran dan meludahinya. Bahkan ia dengan lugas mengatakan “Lihat, sekarang saya akan menodai Alquran.”
Kejadian serupa terjadi di belahan bumi Eropa lainnya, Swedia. Ratusan orang turun ke jalan di wilayah Malmo guna menghadiri aksi anti-Islam. Aksi tersebut berkelindan dengan kejadian sehari sebelumnya yaitu pengunjuk rasa membakar salinan Alquran. (detik.com, Sabtu 29 Agustus 2020).

Kejadian tersebut lugas mengutarakan kebencian dari para pembenci Islam. Tak henti-hentinya Islam dan seperangkat ajarannya menjadi sasaran nafsu mereka. Jelas, terjadi lagi dan lagi, karena umat hari ini tak memiliki naungan yang melindungi.

Naungan hari ini yang berpijak pada sekularisme tentunya tak bisa dijadikan pelindung. Bagaimana bisa, umat hendak berlindung di bawah naungan yang memisahkan agama dari kehidupan? Jelas, tak bisa. Sebaliknya akan menyuburkan ulah para pembenci Islam.

Kejadian ini juga menjadi bukti bahwa islamofobia menjadi penyakit yang sistematis di kalangan masyarakat Barat. Bahkan PM Norwegia, Erna Solberg menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kebebasan berekspresi (pikiran-rakyat.com, 2 September 2020). Nyata sekali mereka lebih menjunjung dan selalu mengatasnamakan kebebasan berekspresi pada kejadian ini dan semisalnya.

Sungguh tak layak menyandingkan aksi tersebut dengan kebebasan berekspresi. Karena jelas, tindakan tersebut merupakan penistaan terhadap kitab suci Alquran. Namun, pada kehidupan di sistem sekuler tak bisa ditampik jikalau kebebasan berekspresi menjadi acuan. Karena di sistem ini, sekularisme menjadi pijakannya. Manusia berhak membuat aturan untuk diterapkan di kehidupannya. Kebebasan berekspresi termaktub di dalamnya.

Dari kejadian ini, kaum Muslim tentu tak boleh tinggal diam. Ya, kaum Muslim yang dihina agamanya tapi hanya berdiam diri, oleh Buya Hamka disejajarkan dengan orang yang mati.  “Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.” (Buya Hamka).

Sehingga wajar apabila kejadian ini memunculkan kecaman dari negara kaum Muslim. Sebut saja Pakistan, Turki dan lainnya. Tetapi sadarkah bahwa penistaan ini kerap kali terjadi, bahkan dengan pelaku yang sama?

Oleh karena itu, sangat jelas bahwa kecaman saja tak cukup untuk memberhentikan tindakan ini. Seharusnya, insiden ini menjadi pemantik kesadaran kaum Muslim bahwa tak ada yang bisa melindungi umat, kecuali Sang Junnah. Serta memicu ghiroh kaum Muslim untuk memperjuangkan hadirnya.

Karena dengan adanya sang Junnah yakni Khilafah, mampu melahirkan masyarakat yang sehat. Adalah masyarakat yang menjaga kemurnian Islam, tetapi di sisi lain tetap menjaga kerukunan antar umat beragama. Seperti sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu laksana perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut dijelaskan oleh Imam an-Nawawi bahwasanya khalifah mencegah musuh menyerang kaum Muslim. Lebih lanjut, akan memerangi kaum kafir serta para pelaku kerusakan dan kezaliman. Jelas, dengan adanya sistem pemerintahan Islam, Khilafah, mampu melindungi harta, darah, nyawa serta ajaran Islam.

Dalam bingkai Khilafah, kerukunan umat beragama tercipta. Masyarakat non-Muslim mendapat hak yang sama dengan kaum Muslim. Walau dalam daulah Islam, tak pernah ada paksaan untuk memeluk Islam. Tentu sangat lekat di ingatan, tatkala Muhammad al-Fatih membebaskan Konstantinopel. Tak ada satu pun kaum Kristiani terluka, teraniaya serta dipaksa memeluk Islam. Allah Swt berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 256,yang artinya:  “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”

Bahkan lintasan sejarah agung Khilafah direkam oleh tinta sejarawan Barat, T.W. Arnold. “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen,” ungkap beliau dalam bukunya The Preaching of Islam.

Oleh karena itu, untuk meniadakan penistaan, penghinaan terhadap Islam serta semisalnya maka wajib bernaung dalam daulah Khilafah. Sebaliknya, selama kita bernaung di bawah sistem sekuler, kejadian-kejadian ini tumbuh subur, tak sirna karena ia buah sistem sekuler. Maukah kita terus di sajikan hidangan semacam ini?

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post